Dikira Menantu
Riza tersenyum saat merasakan sesuatu melingkar di tangannya. Ya, tangan Alicia melingkar di perutnya yang sispack.
Ini peratama kali bagi dirinya berboncengan dengan wanita selain Ana dan ibunya.
Meskipun Riza adalah sosok lelaki periang tapi, untuk urusan cinta ia terlalu ketinggalan.
Setibanya di rumah sakit Riza memarkirkan motornya.
"Thanks ya."
Alcia menyerahkan helm yang ia kenakan.
"Sama-sama, Bu."
Mereka berdua terdiam, suasan sangat cangung. Riza merasa bingung ia harus bersikap bagaimana?
Menunggu Alicia atau meninggalkannya. Begitu juga dengan Alicia ia merasa heran kenapa Riza diam saja.
"Kamu mau ikut?" tanya Alicia.
"Hah." Riza sedikit gugup CEO yang terkenal dingin tiba-tiba saja mengajak dirinya untuk ikut ke dalam.
"Riza? Riza Anugerah!" teriak Alicia.
"Ah. Iya ,Bu." Riza terkejut suara Alicia membangunkannya dari lamunan.
Tanpa menunggu lama bergegas Alicia berjalan menuju pintu utama rumah sakit di susul dengan Riza yang berjalan di belakangnya.
Langkah kaki Alicia yang cepat membuat Riza sedikit kelelahan.
"Memang wanita super Bu Alicia ini," gumam Riza sembari mengatur nafas.
Ulah konyol sekretaris pribadinya tersunging senyum di sudut bibir.
Langkah kaki Alicia terhenti saat berada di depan pintu utama dimana ibunya di rawat.
Melihat Alicia yang berhenti secepatnya Riza mengerem laju langkah kakinya jika tidak mungkin ia akan menapbrak Alicia.
Tangan Alicia memegang gagang pintu, rasa takut menghinggapi.
Ia takut kenyataan tak sesuai dengan harapan.
Perlahan ia membuka pintu, detak jantungnya pun berdetak sangat cepat.
"Alicia." Kalimat itu terdengar dari bibir seorang wanita yang duduk diatas ranjang.
"Mama." Alicia segera berlari dan memeluk mamanya dengan erat.
"Mama? Mama sehat kan? Mama jangan pingsa lagi, ya?" ucap Alicia dengan lembut.
Bagi Alicia menyebutkan kedaaan mamanya adalah pingsan. Ia tak mau jika harus mengatakan mamanya koma.
Mama adalah seseorang yang sangat penting dalam hidup.
Bahkan Dimata Alicia mama adalah sumber kekuatan.
"Siapa dia, Nak?" tanya Laura sambil tersenyum kearah Riza.
"Saya--," ucap Riza gugup. Ia sedikit malu mengatakan bahwa ia adalah sekretaris pribadi Alicia Monata
"Itu pacar aku , Ma," tutur Alicia. Ia sudah lelah jika ditanya Laura kapan akan menikah.
"Pacar?" Riza tersentak kaget apa maksud dari ucapan Alicia yang menyebut bahwa dirinya adalah kekasih seorang CEO cantik berkelakuan preman.
"Oh sini, Nak." Laura melambaikan tangan kearah Riza meminta dirinya untuk mendekat.
Pasrah, itu yang bisa Riza lakukan sekarang. Kakinya ia langkahkan mendekat ke ranjang pasien.
"Riza, Tante." Riza memperkenalkan diri.
Belum saja Laura bertanya siapa namanya dia sudah mejelaskan semua. Kelakuan Riza yang konyol mampu melukis indah senyum di wajah Laura.
Wanita itu tertawa terbahak-bahak melihat kekonyolan kekasih anak bungsunya. Ia bernyanyi bahkan mengeluarkan kata-kata gombal kepada Laura.
"Ya ampun, Riza, you so funny," ucap Laura terkekeh.
Sementara Alicia ia menduduk sambil menggelengkan kepala. Tak habis dikit dia kira Riza adalah seorang yang cool dan berwibawa nyatanya tidak.
"Tante, kenapa bintang sangat tinggi?" tanya Riza.
"Iya karena ada di langit," jawab Laura.
"Salah karena bintang hatiku ada di sebelahku. Cie cie," goda Riza.
Seketika tawa pecah, Laura tak henti-hentinya terbahak hingga mengeluarkan air mata.
Rasa bahagia melihat sang mama bisa tertawa lepas.
"Riza, kamu mau kan menikahi anak saya?" ucap Laura.
"Apa?" Dua bola mata Riza membulat sempurna. Benarkah Kata yang ia dengar tadi.
"Riza kenapa diam?"
Riza salah tingkah ia tak tau apa yang harus dia katakan sekarang. Siku tangannya menyikut lengan Alicia seakan memberi kode harus bagaimana dirinya mejanwab pernyataan yang di lontarkan oleh Laura.
"Ehm, Ma. Kita baru jadian satu bulan yang lalu enggak mungkin dong langsung nikah harus ada tahap pengenalan," kilah Alicia mencoba bernegosiasi dengan Laura.
"Tapi banyak kok di luar sana kenal langsung nikah. Lagian enggak bagus lama -lama pacara kayak credit mobil aja," cibir Laura ia tak mau anaknya mengelak lagi.
"Tante, benar kata ibu Alicia eh maksudnya Cia sayang kalau jodoh tak kemana," ujar Riza sembari melirik mata atasannya itu.
"Iya, Riza tapi dia ah sudahlah yang penting mama ingin kalian segera menikah. Paham."
Riza dan Alicia saling menganggukkan kepala. Lama mereka bertiga berbincang-bincang.
Hingga tanpa terasa jam menunjukkan pukul tiga sore.
"Cia aku pamit dulu ya sudah jam tiga sore," tutur Riza.
"Kenapa ini masih siang," ucap Laura.
"Tapi Tante bagaimana dengan pekerjaann saya." Riza menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Memang kamu kerja dimana, Za?"
"Ah dia kerja di perusahaan kita, Ma. Sebagai direktur," ujar Alicia bohong. Entah sudah berapa kebohongan dia hari ini.
"I--iya, Tante."
Setelah berpamitan Alicia mengantar Riza . Sepanjang jalan menuju parkiran mereka saling diam tak ada kata yang keluar dari mulut masing-masing.
Perasaan cangung menyelimuti Riza merasa tak enak hati akan kelakuannya tadi yang ia nilai tidak sopan.
"Bu, maafkan perilaku saya tadi," ujar Riza sengaja ia memulai obrolan.
"Iya enggak papa," kata Alicia singkat.
"Ini cewek kalau ngomong irit banget kalau sama duit gimana ya?" batin Riza sekilas ia pandangi wajah Alicia.
Wajah yang cantik namun seperti menyembunyikan sesuatu. Sifatnya selalu saja dingin hanya saat bersama mamanya sikapnya berubah drastis.
"Kenapa kamu lihatin wajah saya?"
Deg....
Detak jantung Riza seakan berhenti, coba bayangkan saat kamu sedang memandang wajah seseorang dan ternyata orang itu tahu.
Itulah yang dirasakan Riza antara malu dan bingung.
"E--engak saya lagi lihatin tembok kok, Bu." Riza terkekeh tangannya mengaruk rambut meski tak terasa gatal.
"Heh. Dasar," Alicia tersenyum menyeringai.
"Terima kasih banyak ya, Bu. Sudah mengantar saya sampai sini."
"Kamu jangan kepedean saya anterin kamu karena mama. Kalau enggak ngapain saya harus melakukan itu," cela Alicia.
Ucapan Alicia bak belati tajam dan menyakiti. Selama ini Riza tak percaya dengan rumor yang beredar tentang Alicia yang memiliki lidah seperti pisau belati.
"Mari Bu saya pamit dulu." Riza melangkahkan kaki menuju parkiran.
Alicia memutar badannya kembali ia berjalan menuju ruang dimana mamanya di rawat.
Namun, matanya menangkap papanya sedang berjalan menuju kamar Laura.
Akan tetapi yang lebih membuat Alicia terkejut. Abraham datang tak sendiri ia datang bersama Zena.
Wanita tak tahu malu penghancur rumah tangga orang.
Alicia mempercepat langkah kaki terbesit rasa takut didalam sanubari.
"Awas saja kalian berdua," gumamnya.
Ketika Zena hendak masuk kedalam ruang sesatu menariknya dari luar.
"Apa-apaan ini?" Zena mencoba melepaskan cengkraman Alicia.
"Ngapain lu mau kesini? Lu mau bikin sandiwara apa? Hah?"
"Santai aja, Bro. Gua ngak bakal ngomong apa-apa sama mama lu. Paling bikin mama lu jantungan," cibir Zena.
Perkataannya sungguh membuat Alicia ingin meremas bibirnya saat itu juga