Chereads / Anggasta / Chapter 1 - Menikah

Anggasta

🇮🇩Dina_Nurjanah_7988
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 6.8k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Menikah

Pagi ini tak secerah pagi sebelumnya, terhitung sejak tadi malam hujan terus turun seakan memperindah jalanan di kota-kota besar, membuat orang malas beraktivitas dan tak ingin beranjak dari kasur yang empuk di tutupi selimut yang lembut dan hangat, dan ditemani orang yang kita sayang, wah pasti nyaman sekali.

Kata orang memiliki pasangan sangatlah menyenangkan tapi bagiku tidak, pasanganku bukanlah orang yang aku suka dan aku inginkan, dia memaksa untuk masuk kedalam hidupnya dan membuatku terkurung dalam jeratnya berstatus sebagai istrinya.

Terhitung sudah dua bulan aku disini, menjadi nyonya Arbi Gemawan Muhazzab dan tinggal dirumah minimalis bertingkat satu yang tentu saja ini milik Arbi, suamiku. Aku benci Arbi. Bukan tanpa alasan aku membencinya.

Waktu itu bulan Januari, awal aku membencinya, saat itu....

Flashback on

Saat itu, aku baru saja pulang dari kesibukanku menjadi anak kuliahan semester tiga. Aku kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, disalah satu Universitas di Jakarta.

Aku terlahir dari keluarga yang cukup berada, tapi sialnya ketika itu ayahku mengalami krisis keuangan, perusahaannya mengalami rugi milyaran rupiah, hutang ayahku dimana-mana, perusahaan ayah saat itu sudah dipastikan akan bangkrut.

Tapi tenang, pahlawan kesiangan ayahku tiba-tiba saja datang dan menawarkan negosiasi agar perusahaan ayah tidak bangkrut dan dapat kembali beroperasi.

Masih teringat ketika aku turun dari taksi yang aku tumpangi tepat di depan rumahku, disana kulihat sudah ada tiga mobil mewah terparkir rapih bersama dengan Pria hitam tinggi yang mempunyai Otot besar saat aku menebak kalau itu adalah bodyguard dari depkoletor Bank yang ayahku hutangi. Aku yang penasaran, memutuskan untuk masuk kedalam rumahku tapi baru beberapa langkah aku masuk, langkahku terhenti ketika mendengar suara ayahku yang sedang berbicara dengan orang lain diruang tengah.

Aku berdiri di belakang tembok pemisah antara ruang tamu dengan ruang keluarga, samar-samar aku mendengar suara ayahku sedang memohon kepada seseorang yang tak ku ketahui wajahnya.

"Pak, Saya mohon jangan seperti ini, ini semua bisa dibicarakan baik-baik"

"Baik seperti apa maksudmu? Hutangmu banyak, harus bagaimana baiknya aku denganmu?"

Suara lelaki yang tak kukenal itu tidak terdengar santai namun bisa membuatku takut ketika mendengarnya, dari suara yang aku dengar sepertinya laki-laki ini sudah usia matang, aku tidak dapat melihatnya karena wajahnya tertutup tembok.

"Kapan kau melunasi nya ?! "

"Secepatnya pak "

"Bisakah anda memberi kepastiannya kapan ?!"

Aku terus menguping pembicaraan ayah dengan orang itu, kulihat wajah ayahku kebingungan menjawab pertanyaan orang itu.

"Kalau anda tidak bisa memberi kepastian, biar saya saja yang memberi kepastian. Saya dengar anda punya anak perempuan satu-satunya yang sangat cantik bukan?"

Aku kaget ketika orang itu membicarakan anak ayah yang hanya ada satu yaitu aku, hanya aku anak ayah satu-satunya, apa yang ingin dia lakukan denganku?!

"Memang ada apa dengan anak saya ?"

"Dialah kepastian dan jaminan dari segala hutang anda"

Aku menutup mulutku agar teriakanku tak terdengar. Ingin sekali aku memaki orang ini, seenaknya saja menjadikan orang sebagai jaminan, memagnya aku barang!.

Kutengok wajah Ayahku, dia juga tampak sama dengaku. Kaget dan tidak terima.

"Tapi pak.."

"Dua hari! Hanya dua hari saya beri anda waktu untuk melunasi hutang anda itu,jika tidak bisa maka anak perempuan anda itu harus mau menikah dan akan aku pastikan jika anakmu itu mau menikah maka aku akan membantumu membangun perusahaanmu kembali."

Tanpa sadar airmataku keluar begitu saja, aku membekap mulutku agar isak kan ku tidak terdengar oleh siapapun. Cukup! Aku putuskan untuk tidak mau menguping lagi. Orang itu gila dan jahat, aku memutuskan untuk pergi dari sana.

***

Dua haripun, berlalu ayahku sudah pasti tidak bisa melunasi hutangnya. Alhasil disinilah aku, di kamarku, ditemani dengan dua orang perias yang merias wajahku. Hari itu hari adalah hari pernikahanku Tanggal 1 Januari 2017. Tadi pagi, tanpa bicara tiba-tiba saja perias beserta gaun pengantin itu datang kerumahku.

Aku melihat wajah ibuku dari cermin di depanku, ia menangis tapi mencoba untuk tidak terlihat oleh ku, ku tengok wajahku, aku tersenyum kecut menertawai nasib burukku ini. Sedaritadi bahkan aku terus menyumpah serapahi orang yang membuatku jadi seperti ini. Ternyata aku salah, yang datang tempo hari waktu itu bukanlah depkoletor, tapi penanam saham terbanyak di perusahaan ayahku, dia marah besar karena ayahku tidak bisa mengembalikan uangnya dan ayahku bilang, dia ingin aku menikahi putra kandungnya yang saat itu kebetulan belum menikah. Tentu saja kebencianku semakin bertambah, anaknya yang belum minikah, tapi kenapa aku yang harus bertanggung jawab! Mungkin saja wanita didunia ini tidak suka dengan anaknya karena anaknya itu Jelek, atau mungkin punya sifat seperti ayahnya yang egois dan menyebalkan.

"Maaf ya sayang, Mamah sama papah gak bisa lindungin kamu. "

Ibuku tersenyum tegar sambil mengusap pundakku, aku tersenyum kecil dan mengusap tangan ibu dipundakku.

"Ngak apa-apa kok mah... " Ingin rasanya aku menangis tapi tidak bisa, aku tidak mau membuat ibu semakin sedih dan merasa bersalah.

"Nah sudah selesai, mbanya cantik banget" Ujar si perias yang tak kukenal namanya, aku hanya tersenyum seadanya dan mengucapkan terimakasih.

"Permisi, mobil yang akan membawa pengantin sudah tiba. Mohon untuk cepat, karena kita akan segera berangkat menuju tempat acara" Ujar lelaki berbadan tegap yang kuyakini bodyguard lelaki jahat itu.

Percaya atau tidak waktu itu bahkan aku sama sekali tidak tau nama ataupun wajah lelaki yang akan menikah denganku.

Aku, ayah dan ibu berjalan keluar menuju mobil yang akan membawaku ke acara laknat itu, acara pernikahanku.

***

Singkat cerita mobil yang membawaku berhenti tepat didepan lobi hotel mewah.

Kuakui ayah dari calon suamiku itu memang benar-benar orang yang sangat kaya, terlihat dari hotel yang ia sewa untuk pernikahan ini yang mewah dan berkelas.

Seketika aku tersenyum pahit ketika memikirkan "pernikahan dan suami"

Aku berjalan masuk kedalam ballroom hotel, ditemani ayah yang menggandeng tanganku. Tepat ketika aku masuk, disana sudah banyak tamu undangan dan ada satu Pria yang sudah menggunakan Texudo berwarna hitam yang duduk didepan penghulu menunggu kedatangnku, di samping Pria itu juga sudah duduk Pria tua yang aku yakini adalah si Pria yang tempo hari berkunjung kerumahku, yang sebentar lagi akan menjadi mertuaku.

Aku lihat dia tersenyum kearahku, benar-benarmembuatku muak dia lumayan manis dan tampan menurutku, tapi tetap saja saat itu semua itu tidak ada gunanya untukku, rasa benciku lebih besar dari pada rasa kagumku.

Aku terus berjalan lalu duduk tepat di sebelah calon suamiku.

Penghulupun mulai menunaikan tugasnya, yaitu menikahiku dengan pria itu.

Dan dari situlah kebencian ku padanya semakin bertambah setiap harinya sampai hari ini dan tidak berkurang sama sekali.

Flashback of

"Mas Arbi, Sarapan sudah siap"

"Oh iya bi, nanti saya turun"

Suasana pagi ini sama saja dengan pagi lainnya bagi Arbi, rutinitasnya tidak ada yang berubah yaitu menggambar Sketsa Pembangunan atau apapun yang berhububgan dengan pekerjaannya sebagai Arsitek, lalu pergi ke kantor pagi hari dan pulang kerumah saat malam hari.

Dia sudah menikah, tapi meskipun begitu tetap saja kehidupannya sama saja seperti pria belum menikah.

Arbi sedikit membenarkan letak dasinya lalu berjalan keluar kamar, menuruni tangga dan duduk di meja makan yang diatasnya sudah tersaji banyak makanan lezat.

Dia menghelah nafas, inilah yang dia maksud dengan kehidupan seperti pria belum menikah, setiap pagi dia akan menemui meja makan yang kosong, lalu dia akan makan sendiri layaknya dulu sebel dia menikah.

Dia tau kalau istrinya tidak pernah mau makan bersama atau dekat dengannya, bahkan dia selalu menghindarinya, tapi dia mencoba untuk maklum dan diam saja. Tapi untuk kali ini dan seterusnya, sepertinya dia sudah tidak bisa lagi mentelorir tingkah laku istrinya itu.

"Bi, Sahna...."

"Mba Sahna masih di kamarnya Mas" sahut Bi imah, pembantu yang bekerja disini.

"Tolong panggil dia kesini ya bi" Suruh Arbi lalu meminum kopinya.

"Saya sudah memanggilnya Mas, tapi Mba Sahna nya..." Ucap Bi imah menggantung.

"Yaudah biar saya aja"

Arbi menyesap Kopinya sekali lagi, lalu berdiri dari duduknya dan menaiki tangga.

Arbi menaiki satu persatu anak tangga menuju ke kamar milik istrinya yang berada dilantai dua, tepat di sebelah kamarnya, selama dua bulan ini juga mereka tidak pernah tidur dalam satu kamar bahkan dari sejak malam pertama mereka, Sahna sudah menolaknya mentah-mentah.

***

Disinilah Sahna, berdiri di teras kamarnya yang menampilkan View pepohonan dan atap-atap rumah orang lain. Kegiatan pagi yang rutin dia lakukan setelah dia menikah dengan suaminya, dia akan keluar dari kamarnya ketika mobil Arbi sudah pergi dan melewati gerbang rumah ini.

"Tumben dia belum pergi, biasanya jam segini dia kan udah pergi" gumam Sahna bingung ketika masih melihat mobil Arbi yang tak kunjung berjalan.

Dia mulai merasakan keanehan dengan situasi hari ini, biasanya tepat jam 07.00 mobil Arbi sudah meninggalkan rumah, tapi sekarang mobil itu masih terparkir rapih di tempatnya, padahal ini sudah hampir jam tujuh pagi.

Sahna begitu asik melihat dan menghirup udara segar dari balkon kamarnya, sampai tiba-tiba saja ada orang yang mengetuk pintu kamarnya.

"Sahna, Buka pintunya"

Suara ini... Seperti... Itu suara Arbi! Mau apa dia ke kamarku ?!

Sahna tidak membuka pintunya yang dia lakukan malah naik ke kasur dan menutup seluruh badanya dengan selimut.

Klek...

Arbi membuka pintu kamar istrinya karena Sahna tak kunjung membukanya.

Matanya melihat kearah kasur dimana ada Sahna yang masih terbaring. Arbi mencoba mendekatinya, matanya melihat sekeliling kamar istrinya dan sedetik kemudian matanya menyipit menatap pintu Balkon yang terbuka lebar seketika senyum miring tercetak jelas di wajah arbi, dia seperti mecium gelagat permainan istrinya yang saat ini sedang mencoba mengelabuhinya.

Dia yakin sekali kalau saat ini pasti Sahna hanya pura-pura tidur saja, dia juga selalu tau kalau wanita itu selalu bangun pagi dan berdiri diatas balkon kamarnya, untuk melihat dan memastikan dirinya sudah pergi atau belum.

Arbi duduk di tepi ranjang istrinya dengan tangan bersidekap dan senyum jahil diwajahnya.

"Ekhm!" Arbi berdehem keras, bermaksud untuk menyindir istrinya.

"Saya tau kamu cuma pura pura tidur" Ujar Arbi namun tak ada jawaban. "Jadi mau bangun sendiri atau saya banguni ?" sambung Arbi dan lagi-lagi tidak ada sahutan.

"Oh jadi mau saya bangunin" Ledek Arbi masih belum menyerah membangunkan Sahna.

Arbi membungkukkan sedikit badannya lalu membuka perlahan selimut yang menutupi wajah Sahna.

Srak!

Dengan gerakan cepat Sahna membuka selimutnya dengan mata membulat kaget.

Keduanya saling menatap satu sama lain, Jarak antara Arbi dan Sahna sangat dekat, hanya terpaut jarak beberapa centi saja untuk kedua hidung mereka saling bersentuhan.

"Ngapain kamu kesini ?!" teriaknya Sahna dan langsung mendorong tubuh Arbi dari hadapannya membuat pria itu hampir saja terjungkal kebelakang.

Arbi mengulurkan tangannya. "Ayo bangun, kita sarapan bareng" Ujarnya.

Sahna dengan cepat langsung menepis tangan kekar itu dan menatap Arbi sinis.

"Saya belum lapar, silakan sarapan duluan aja" Sahut Sahna sambil membuang muka.

"Kamu mau kita sarapan dikamar ? " Arbi tidak menggubris omongan Sahna. Dia sudah memutuskan, apapun yang terjadi dia akan sarapan bersama istrinya.

"Saya sudah bilang saya gak laper!" tukas Sahna dengan suara yang sedikit meninggi.

Sahna menuruni kasurnya lalu berjalan kearah pintu dan membuka pintu kamarnya. Pandangannya kembali tertuju pada Arbi.

"Jangan ganggu saya, kamu tau kalau saya benci kamu. Jadi bisa sekarang kamu keluar ?! "

Arbi tak sekalipun menjawabnya, pria itu malah memandang istrinya. Ucapan dan tatapan Sahna tak berubah bagi Arbi, sepertinya wanita ini tak pernah sekalipun tidak membencinya, kebenciannya semakin hari bukan berkurang malah semakin bertambah.

"Sampai kapan kita mau terus begini, Sahna ?" Tanya Arbi begitu lirih dengan tatapan yang sendu.

"Kamu tau kalau saya... "

"Saya Tau! Saya tau kamu benci saya. Saya tau itu! Tapi mau sampai kapan kita begini ?! Setidaknya hargai saya sebagai suami kamu."

Arbi nyaris frustasi ketika mengatakannya, kenapa Sahna terus-menerus mengingatkannya kalau wanita itu membencinya.

Arbi berjalan mendekat dengan tatapan sendunya. "Ayolah Sahna, jangan seperti ini. Saya minta maaf kalau kamu benci menikah dengan saya. Maaf Sahna, saya minta Maaf"

Sahna hampir saja menangis ketika mendengar ucapan lirih dari Arbi, dia tau kalau Arbi juga pasti tersiksa dengan menikah dengannya, dia juga pasti terpaksa menikah dengannya. Tapi entah kenapa, setiap dia mengingat hari itu, lalu melihat wajah Arbi, rasa bencinya kembali muncul, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak membenci Arbi.

Keduanya Diam beberapa saat, sampai Sekar membuka suara.

"Baiklah, tunggu di bawah. Saya mau mandi dulu"

Arbi pun setuju, dia keluar setelahnya dengan senyum diwajahnya.

Brakkk!

Sahna menutup pintunya keras hingga menimbulkan bunyi yang membuat kaget tepat begitu Arbi keluar dari kamar.

Arbi hanya bisa menggeleng lemah sepertinya pernikahan akan sulit. Benar-benar sulit.

***

Keduanya benar-benar makan disatu Meja yang sama pagi ini. Wajah Sahna terlihat Fresh dan Cantik tanpa riasan Make-up.

Keduanya makan dalam diam, tanpa ada niatan dari Sahna untuk memulai pembicaraan. Sahna tampak biasa saja sementara Arbi terlihat canggung dan bingung, dia bingung untuk mencari topik pembicaraan untuk membuat mereka berdua terlibat pembicaraan.

"Kamu kuliah hari ini ?" Tanya Arbi, setelah menemukan topik pembicaraan.

Sahna hanya mengangguk tanpa melihat wajah Arbi.

"Jam berapa ? Mungkin saya bisa nganterin kamu dulu sebelum berangkat ke kantor"

Tak ada sahutan. Sahna hanya diam dan terus menyantap makanannya, membuat Arbi lagi-lagi menghelah nafas kecewa karena sepertinya istrinya itu benar-benar tidak mau diantar olehnya.

Arbi menyerah. Dia tidak lagi bertanya, karena sepertinya Sahna memang tidak mau bicara dengannya.

Pagi ini terasa sangat canggung, tapi meski begitu dia cukup bersyukur karena untuk pertama kalinya dia bisa sedekat ini dengan Sahna istrinya dan ini cukup baik untuk hubungan mereka.

"Kalau begitu Saya berangkat dulu, kamu nanti hati-hati berangkat kuliahnya" ujarnya penuh perhatian.

arbi terlihat sibuk membenarkan dasi dan mengancing lengan baju panjangnya.

"Saya pergi"

Cup!

Sapuan Hangat dari bibirnya tiba-tiba saja Arbi berikan dikening istrinya.

"Assallmualikum" Pamitnya.

Arbi berjalan keluar dari rumahnya dengan Jas dan tas yang tersampir dilengannya.

Sahna masih terdiam, memandang kepergian Javas dari meja makannya.

"Waallaikumsallam"

Sahut Sahna lihir setelah mendengr suara mobil Javas berjalan pergi meninggalkan pekarangan rumahnya.