Chereads / BIBI DAN DUNIA BAWAH / Chapter 27 - Masa Lalu Elia, Penyendiri

Chapter 27 - Masa Lalu Elia, Penyendiri

Theria tak yakin apakah Elia memahami kata-katanya atau tidak, tapi dia tetap memberikan waktu pada Elia untuk mengkajinya. Saat ini, Elia justru sedang sibuk dengan handphonenya. Dia mencoba menghubungi Max.

"Tidak akan berfungsi."

Kata-kata Theria jadi seperti mercon meledak di tengah malam untuk Elia.

"Kenapa?"

"Peralatan seperti itu tidak akan berfungsi di zona ini. Ingat, Mansion Melianor dikelilingi kekuatan magi yang bisa menghalangi fungsi peralatan digital."

Elia tampak sangat kesal.

"Kenapa nggak bilang dari tadi? lalu untuk apa kamu beri aku handphone ini?"

"Karena aku bisa."

Elia meletakkan handphonenya dengan kesal ke meja. Kegembiraannya lenyap seketika. Dia lalu melihat cahaya matahari yang jatuh di bukit seperti taburan gula halus di atas donat. Karena mereka menghadap ke utara, mereka hanya bisa melihat sebagian semburat senja melalui dinding kaca berketinggian tiga meter dan panjang tujuh meter di depan mereka.

"Maaf. Aku memang hanya bersenang-senang tadi."

Theria jadi merasa tak enak karena sudah menghancurkan harapan Elia.

"Kamu mau menghubungi Max bukan?"

Elia masih belum menjawab. Dia kesal bukan main. Theria lalu mencari cara untuk mencairkan suasana. Ini pertama kali baginya ada seseorang yang marah karena sesuatu yang menurutnya sepele. Dia tak menduga hal itu sangat berarti untuk Elia.

"Ada yang bisa kulakukan agar perasaanmu lebih baik?"

Theria mencoba membujuk. Elia tak menanggapi untuk beberapa lama, dia hanya memakan salad yang tersedia. Theria berpikir kalau Elia butuh waktu. Jadi dia tidak memaksa Elia untuk mengatakan keinginannya. Dia sendiri khawatir, jika terus mendesak hanya akan membuat Elia mengatakan keinginan yang tak bisa dikabulkannya. Baginya, dia sudah minta maaf dan tak perlu mengulanginya. Itu bisa memperburuk suasana.

Semburat warna matahari tenggelam di perbukitan tampak tenang. Seperti tidak ada masa lalu dan masa depan. Sinar itu seperti tercipta untuk memperbaiki suasana hati.

"Dia tidak sedang sengaja meninggalkanku di sini bukan?" Elia akhirnya mengungkapkan perasaannya.

"Kamu sepertinya sangat bergantung padanya. Aku mengamati kalian sejak kalian masuk ke toko. Max seperti seorang penjaga bagimu ataukah lebih?"

Elia menoleh. Dia tahu kalau Theria juga tak tahu jawaban atas pertanyaannya. Akan tetapi, Theria bisa saja memilih untuk membuat hatinya nyaman. Rupanya dia tidak melakukan itu.

"Ya, aku bergantung padanya sejak lama. Aku bertemu dengannya dulu saat usiaku 16 tahun. Ibuku membawanya ke rumah. Di awal pertemuan itu, aku tak menyukainya, karena aku mengira dia pacar muda ibuku." Elia tersenyum mengingat masa-masa itu, "Tapi ibu bilang, Max adalah orang yang bisa dipercaya, dia jadi penjagaku sejak hari itu. Sejak hari itu juga, ibu menjadi teramat sangat jarang menemuiku. Karena itulah, aku jadi lebih sering minta tolong pada Max jika aku butuh sesuatu yang tak bisa kutangani sendiri."

Theria menimbang-nimbang hubungan itu. Lebih dari penjaga, bisakah disamakan sebagai keluarga? aku rasa tidak. Mereka tidak memiliki hubungan darah. Kira-kira apa yang mengikat mereka? Benarkah hanya karena Bibi yang minta Max untuk menjaganya? Aku jadi penasaran akan seperti apa kelanjutan hubungan mereka setelah ini.

"Jadi, kamu tidak punya tempat bersandar selain dia?"

Elia menggeleng lemah.

"Ku kira kamu akan punya teman di kalangan manusia."

Kalimat itu membuat pancaran sinar di kedua mata Elia terasa sedih.

"Tak ada yang bisa disebut teman di antara mereka. Aku penyendiri. Mereka menyebutku anak pelacur, makanya aku jadi malas bergaul."

Theria bisa merasakan krisis hubungan kasih sayang dalam diri Elia. Dia kekurangan hubungan sosial dengan teman sebaya. Dia mungkin juga tidak punya hobi.

"Kalau begitu apa yang kamu lakukan untuk mengisi waktu?"

"Yah hanya .... nonton, sesekali membaca, traveling sesukaku, menggambar, pergi ke Bar Jam, atau mengganggu Max di studionya."

"Dari semua itu mana yang paling sering?"

"Sendirian di rumah."

"Kenapa? kenapa kamu tidak mencoba menemukan seseorang yang bisa kamu jadikan teman?"

"Dulu aku pernah mencoba, berusaha berbaur di sekolah, awalnya bisa dan lumayan juga aku punya beberapa orang teman sekelas untuk diajak bicara, tapi lama-lama mereka penasaran dengan keluargaku. Mereka menanyakan siapa ayah dan ibuku, di mana mereka bekerja, dan seperti apa rumahku, mereka terus minta untuk diajak bermain ke rumah. Aku pikir mengajak mereka bermain di rumah bukan ide buruk. Suatu hari aku mengajak mereka ke rumah. Mereka cerewet bertanya kok tidak ada foto keluarga. Kok rumah mu sepi? itu siapa? oh pembantu? dan banyak hal lain. Sejak saat itu, aku tidak ingin siapapun mendatangi rumahku. Aku jadi selektif terhadap siapa saja. Aku juga tidak bergaul dengan siapapun. Aku tidak memilih kegiatan yang akan membuatku harus berada di tempat yang ramai. Aku merasa tidak nyaman. Lalu ibu membawa Max ke rumah, di hari ulang tahunku. Otomatis itu membuatku mengangapnya sebagai hadiah. Dia lebih tua dariku, jadi dia juga sering bersikap seperti seorang kakak. Aku jadi terbiasa minta tolong padanya karena memang tidak ada siapapun selain dia. Dari Max aku bisa mengenal Jam dan beberapa kenalannya yang lain, tapi Max tidak pernah membiarkanku bergaul di Bar. Apalagi saat itu aku masih seorang siswa."

Elia tersenyum ketika mengakhiri ceritanya. Dia merasakan kelegaan tersendiri setelah mengatakan semuanya. Residu perasaan yang menumpuk di dadanya sepanjang hidup telah longsor sedikit.

Dari cerita itu, Theria mendapatkan kesimpulan arti penting Max bagi Elia. Dengan itu, dia tahu alasan kegelisahan Elia tak bisa menghubungi Max.

"Aku yakin dia sangat tahu kalau kamu bergantung padanya, jadi dia pasti kembali."

"Aku harap begitu, aku hanya khawatir," kata Elia dengan jujur. "Aku khawatir dia akan menghilang seperti ibu, tiba-tiba pergi dan kabar terakhir yang kudengar adalah kematiannya."

Kedua mata Elia tampak berkaca-kaca saat mengatakannya. Theria tidak mencegah Elia untuk menitikkan air mata. Elia menghapusnya dengan cepat ketika air mata mulai membendung pandangannya. Dia bersikap tidak ingin membiarkan air matanya jatuh di depan orang asing.

"Aku rasa Max juga mengkhawatirkanmu, buktinya dia sampai membawamu ke sini, membantumu mencari tahu apa yang terjadi pada ibumu. Jika dia tidak peduli pada keselamatanmu, dia pasti akan membiarkanmu lontang lantung di jalanan dengan ketidakpastian."

"Apa ini tempat yang sangat aman?"

Theria mengangguk.

"Aku pikir Max memutuskan untuk meninggalkanmu sementara waktu di sini karena dia ingin memastikan lebih dulu langkah apa yang bisa diambil."

"Aku juga ingin melakukannya, kenapa dia tidak melibatkanku? kenapa malah membuatku harus dijaga olehmu?"

Theria mempertimbangakn hal apa yang harus dikatakannya lebih dulu pada Elia.

"Karena kamu belum siap."

"Maksudnya?"

"Untuk mengikuti langkah Max, kamu juga harus diselimuti kekuatan magi lebih dulu."

"Apa tinggal di sini akan membuatku diselimuti kekuatan magi?"

"Ya. Seluruh lapisan tempat dan lingkungan Mansion diselimuti magi. Dengan begitu tubuhmu akan terbiasa. Ketika sudah terbiasa, kamu akan lebih mudah untuk menghadapi siapapun lawanmu."

"Max tidak mengatakan apapun soal itu."

"Aku yakin dia akan menjelaskannya nanti. Aku melihatnya pergi terburu-buru dan berpesan pada Madam Melianor agar memastikan kamu mengetahui dulu arti dunia bawah. Itulah kenapa Madam mulai mengajakmu bicara menggunakan kartu tarotnya."

Elia teringat kembali momen bicara dengan Melianor atau Sunshine di taman itu. Dia tahu Sunshine sengaja melakukannya, tapi tak tahu pasti apa tujuannya. Sekarang, kabut itu serasa sudah menyingkir.

"Madam mencoba mencari tahu apa yang terjadi padamu di luar kesadaranmu, karena disitulah letak kunci jawaban untuk menemukan alasan kematian ibumu, siapa yang terlibat dan lain sebagainya. Sekaligus juga mengenalkanmu pada dunia bawah. Terakhir, jika keadaan memaksa, kamu mungkin akan berada di zona ini selamanya, maka kamu harus dibuat terbiasa dengan atmosfernya. Sejauh ini kulihat kamu aman. Aku ditunjuk oleh Madam untuk mendampingimu dan melihat apakah tekadmu cukup kuat untuk menemukan alasan di balik kematian ibumu."

Elia mendengarkan dan mencerna setiap kata Theria dengan seksama.