Chereads / Ketika Dia Pergi Sebentar / Chapter 2 - Mengenal Prasetyo

Chapter 2 - Mengenal Prasetyo

Setelah selepas mandi, Prasetyo berniat untuk menghubungi kekasihnya yang bernama Devi. Jarak rumah Prasetyo dengan Devi cukup jauh, mungkin menempuh jarak sekitar 45 menit. Berhubung Prasetyo juga tidak memiliki motor, setiap kali mereka berdua bertemu, selalu saja Devi datang untuk menjemput Prasetyo. Sungguh, pengorbanannya bukan main, kan?

Kali ini Prasetyo ingin memberi tahu Devi soal masalah kerja yang di tawari oleh Pak Sul, ia ingin menceritakan semuanya dan bagaimana langkah-langkah yang harus ia lakukan. Devi sendiri sekarang berusia 19 tahun, dan baru saja lulus dari bangku SMA. Berhubung Prasetyo sewaktu SD masuknya terlambat jadi ia sekarang lulus di usia 20 tahun.

Di masa kecil Prasetyo dulu sempat ada problem yang mengakibatkannya telat masuk ke SD. Ayah dari Prasetyo bertengkar hebat dengan Ibunya, sampai pada akhirnya Ibunya memutuskan untuk bercerai dengannya. Bukan masa kecil yang indah, di saat teman-teman sebayanya bisa menikmati moment bersama keluarga, Prasetyo malah menghabiskannya dengan terus merenung dan memikirkan apa yang sebenarnya terjadi. Karena Ibunya tak tega dengan hal itu, maka Ibunya menitipkan ke Pak Sul dan Ibu Rini. Karena di sana juga terdapat banyak orang, jadi Prasetyo bisa lebih terhibur dan bisa bermain bersama. Bukan ikut dengan Ibunya yang hanya sebagai pembantu di rumah mewah, yang kerjaan Prasetyo hanya berdiam diri di kamar yang berukuran kecil.

"Nek, nanti si Devi mau ke sini. Kalo aku ketiduran tolong bangunin ya" kata Prasetyo kepada nenek Ibu Rini yang juga tinggal bersama Pak Sul dan juga Ibu Rini.

Prasetyo kalau minta apa-apa selalu mengadu ke nenek yang bernama Tinah, karena jika langsung mengobrol dengan Pak Sul atau Ibu Rini ia tidak enak atau sungkan.

"Habis maghrib kok malah tidur, Pra?" jawab Nenek.

"Iyaa, semalem begadang nonton bola. Tadi pagi juga nggak bisa tidur. Nanti bangunin ya kalo si Devi udah sampai sini"

"Yaudah, ndang tidur" jawab Nenek itu kembali, ia seperti mengetahui kondisi Prasetyo yang memang mengantuk dan Nenek juga sudah hafal jika si Devi kesìni selalu sehabis maghrib.

Baru saja Prasetyo memejamkan matanya, dorongan tangan dari sang Nenek cukup mengganggunya, "Pra, si Devi udah nunggu di depan. Bangun!" kata Nenek dengan terus menggoyang goyangkan tubuh Prasetyo.

"Kok cepet banget sih, Nek. Padahal baru saja merem sebentar"

"Iya cepet sana temuin dia, kasihan udah jauh-jauh ke sini malah kamu tinggal tidur"

Prasetyo mulai bangkit dari tempat tidurnya, "Iyaa, ini juga bangun"

"Kamu ini laki-laki, yang bersemangat dan berwibawa sedikit dong. Udah baik tuh si Devi mau ke sini, harusnya kamu yang ke sana, Pra" Nenek memang sangat cerewet dan juga tegas, ia selalu bersemangat dalam menjalani hidupnya. Bahkan, yang memasak di rumah ini pun Nenek semua. Ya meskipun terkadang Ibu Rini juga membantunya.

"Siap komandan!" ledek Prasetyo, sebelum menemui Devi di depan. Prasetyo berjalan terlebih dahulu ke kamar mandi untuk cuci muka, agar tidak terlihat jika baru saja bangun dari tidur.

Devi merupakan keluarga yang cukup sederhana, nasibnya sama dengan Prasetyo yang orang tuanya berpisah. Dan sekarang Devi tinggal bersama Ibu dan juga adiknya, Ibu Devi mempunyai sebuah bisnis yang cukup menguntungkan, bisa menghidupi Devi bersama adiknya. Bisnisnya adalah kosmetik, yang pasti ada saja pembelinya dari dalam kota maupun luar kota.

Devi juga mempunyai prinsip yang sama dengan Pra atau yang di sebut Prasetyo. Ia sehabis lulus dari SMA juga ingin bekerja, entah itu berjualan atau bekerja ikut orang. Yang jelas ia ingin membantu ekonomi keluarganya dan juga menyekolahkan adiknya hingga ke bangku kuliah.

"Apa kabar?" kata Pra yang sekarang berada di depan.

"Baik, kenapa kok aku di suruh ke sini? Ada hal penting?"

"Ada" jawab Pra singkat.

"Masalah apa emangnya, Pra? Kok mendadak banget kayak gini?" tanya Devi penasaran apa yang ingin di katakan Pra.

Karena tidak enak jika di dengar oleh Pak Sul dan juga istrinya, Pra mengajak Devi untuk membicarakannya di sebuah taman yang letaknya tak jauh dari kediaman Pak Sul.

Pak Sul di sini juga kontrak, bukan rumahnya sendiri. Entah apa yang membuat beliau tidak bisa membeli rumah, padahal gajinya dan bisnis lainnya juga sangat menguntungkan. Ada satu hal yang tak begitu di mengerti oleh Pra, ketika mendapatkan sedikit uang, Pak Sul selalu saja mengajak satu kampung untuk menginap di sebuah wisata dan membiayai semuanya, mulai dari transportasi, makanan, serta biaya untuk menginap. Mungkin karena hal itulah yang membuat Pak Sul tidak bisa membeli rumah, padahal tetangga-tetangganya sudah memiliki rumah semua, tetapi kenapa Pak Sul malah bersikap rendah hati seperti itu?

"Kita jalan ke taman aja ya, motornya di sini aja gak masalah. Nggak enak kalo ngobrolnya di rumah ini" penjelasan Pra yang membuat Devi semakin penasaran dan tak mengerti apa yang di inginkan Pra.

"Maksudnya gimana sih, Pra? Aku gak paham" jawab Devi yang berkata terus terang.

"Nanti juga paham ketika sampai di taman, Dev. Sabar dulu yaa"

Pra memiliki sifat yang temperamental, ia sering kali emosi dengan alasan yang tidak jelas. Kalau bukan seperti apa yang di inginkan, ia selalu marah-marah. Untung saja si Devi memiliki sifat yang sabar akan marahan dari Pra.

Devi paham, setiap manusia juga pasti memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Menurut Devi kekurangan Pra adalah gampang emosi, dan kelebihannya sangat banyak sekali.

Pra dan Devi mulai berjalan menuju ke arah taman, berhubung ini juga bertepatan dengan malam minggu maka kondisi taman saat ini juga di penuhi dengan pedagang. Ada beraneka ragam pedagang di sini, mulai yang menawarkan kuliner, baju, mainan anak, hingga ada yang berjualan stiker. Pokoknya kalau udah malem minggu, di taman ini penuh sesak dengan muda mudi, pasangan suami istri, dan juga beberapa remaja yang hanya nongkrong.

"Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan, Pra?" Devi masih saja terus mendesak Pra agar mengatakannya sekarang.

"Bentar lagi kan mau sampai, sabar. Dikit lagi" jawab Pra dengan tenang.

Devi menghembuskan napas beratnya, "Hmmm, baiklah"

"Kamu sudah makan? Mau makan apa?" tanya Pra yang dengan gayanya menawarkan makanan, padahal ia sendiri hanya membawa uang 10 ribu rupiah. Dia selalu hapal Devi, pasti ia sudah makan di rumah, jadi uang 10 ribu itu mereka gunakan hanya untuk membeli camilan dan Devi yang bagian untuk membeli minumannya.

"Aku sudah makan di rumah, Pra" kata Devi.

"Enaknya beli camilan apa? Kan nggak enal jika ngobrol tanpa membawa makanan apapun"

Devi nampak bingung kali ini, "Terserahh" jawabnya singkat.

"Dasar cewek, kenapa sih kalo di tanya selalu jawab terserah?" batin Pra yang juga bingung dengan camilan apa yang akan di beli.