Satu minggu setelah dirawat di rumah sakit, Padmasari kembali ke rumah baru milik Amurwa Bhumi. Rumah yang dibangun beberapa bulan lalu, kini sudah siap untuk dihuni. Andika yang baru turun dari mobilnya menatap rumah besar yang ada di depannya. Matanya membelalak lebar, bahagua pada pemandangan yang ada di depannya. Andika benar-benar merasa bahagia ketika dia mendapatkan hutan hijau di sekeliling rumah Amurwa.
"Apakah ini rumah Uncle? aku juga boleh tinggal di sini bersama Uncle dan Mami?"
Amurwa mendekati Andika, lalu menganggukkan kepalanya. ia tersenyum sambil mengelus kepala Andika.
"Tentu saja kita akan tinggal di sini bersama kok. Kita bisa melakukan apapun di sini. Kau bisa bereksplorasi dan bermain dengan nyaman tanpa ada gangguan dari orang-orang yang bekerja pada Papa kamu, Andika. Kau harus tumbuh menjadi manusia yang tangguh tanpa ada intimidasi dari siapapun. Kau bisa mengembangkan bakat mu sesuai keinginanku dengan bimbingan dari mama kamu."
Andika memeluk Amurwabhumi. Ia bahagia ketika membayangkan kehidupan sederhana yang ia inginkan selama ini. Ia berharap ia benar-benar bisa mewujudkan semua impian Amurwa, menjadi manusia hebat tanpa intimidasi.
"Apakah Uncle yang akan menemani aku bermain sepanjang hari?"
"Tentu saja tapi tidak sepanjang hari. Aku hanya ada beberapa waktu luang saja. Selebihnya aku akan bekerja untuk mencukupi kebutuhan kita. Aku tahu kamu memiliki banyak sekali harta tetapi sebagai laki-laki yang bermartabat aku tidak mungkin mengandalkan pemberian hanya dari orang tua kamu. Aku masih memiliki harga diri dan aku harus berjuang untuk kehidupan kita sendiri. Apakah kau tidak keberatan?"
Padmasari yang sejak tadi melihat interaksi antara Andika dan Amurwa hanya bisa diam. Ia berharap apa yang dikatakan Amurwa selama ini akan benar-benar menjadi kenyataan bahwa amurwa tidak akan menyia-nyiakan anaknya seperti mantan suaminya.
Amurwa yang melihat Padmasari diam, kemudian mendekatinya. Ia pandang Padmasari kemudian ia ajak untuk memasuki rumahnya..
"Mari Nyonya, silakan masuk. Saya berharap nyonya bisa menikmati kehidupan baru di rumah yang sederhana ini. Rumah yang tidak terlalu besar yang saya bangun dengan hasil jerih payah sendiri lebih saya pilih daripada saya harus menempati rumah pemberian Tuan Kusuma yang ada di pusat kota. Semoga Nyonya tidak keberatan untuk tinggal bersama saya di sini."
Padmasari mengangguk lalu mengikuti langkah Amurwa dan Andika. Saat memasuki rumah itu tidak ada pelayan yang berbaris menyambut mereka seperti apa yang mereka alami saat tinggal di rumah tuan Kusuma, namun inilah yang membuat buat Padmasari merasa lega karena ia bisa lepas dari belenggu Kusuma Wardhana.
Setelah memasuki rumahnya mereka disambut oleh sepasang suami istri yang kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu membawakan semua barang dari tangan Amurwa Bhumi.
"Selamat datang di rumah ini, Nyonya dan Tuan. Saya Inah, pembantu rumah tangga yang bekerja pada Tuan Amurwa.
Amurwa mengangguk mendengar sambutan Inah. Yang tadi membawakan tas Nyonya dan Tuan adalah suami saya bernama Tono. Saya berharap Nyonya dan Tuan tetap betah di rumah ini.
"Terima kasih atas bantuan yang kau berikan kepada saya hari ini, Inah. Ke depan kita akan hidup bersama-sama bukan sebagai pembantu dan majikan. Saya dan kamu punya posisi yang sama di rumah ini." Inah mengangguk mendengar apa yang diucapkan oleh Padmasari. Ia bahagia karena majikan yang baru tidak arogan seperti majikan yang lama. Padmasari wanita yang tampak sangat berkelas itu memiliki tabiat yang sangat baik. Dia ramah kepadanya meski dia hanya seorang pelayan di rumah Amurwa.
Padmasari duduk di ruang tengah bersama dengan Andika yang kini mulai nampak kelelahan setelah pulang dari rumah sakit.
"Mami aku mengantuk sekali bolehkah aku tidur?" Padmasari memandang Amurwabhumi seolah meminta bantuan untuk menjawab pertanyaan Andika. Amurwa yang paham dengan arti pandangan Padmasari segera mendekat ke Andika dan mengajaknya duduk di pangkuannya. Amurwa mengelus kepala Andika lalu membisikkan kata-kata yang membuat Andika menganggukkan kepalanya menyetujui permintaan Amurwa Bhumi.
"Apakah kau ingin tidur di sini atau di kamarmu sendiri,Andika?"
"Aku ingin tidur di kamarku kalau ada Uncle."
Amurwa Bhumi kemudian mengangkat tubuh Andika dan menggendongnya menuju lantai dua dimana di sana sudah ia sediakan sebuah kamar khusus untuk Andika yang berada diantara kamarnya dan kamar Padmasari. Setelah memasuki kamar Andika, Amurwa Bhumi segera membaringkan tubuh Andika di ranjang. Ia kemudian mengelus-elus punggung Andika agar Andika segera terlelap. Paddmasari yang melihat kelakuan Amurwa Bhumi hanya bisa meneteskan air mata. Ia ingat penjelasan Tuan Kusuma Wardana kepadanya yang mengatakan bahwa Andika bukanlah darah dagingnya. Padmasari merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Tuan Kusuma tentang kehidupan dirinya. Ia sendiri tidak memiliki kenangan apapun pada kehidupan sebelumnya, kecuali hanya satu kenangan saat ia bersama dengan Maira, sahabat semasa SMA.
Setelah menyelesaikan kegiatannya meninabobokan Andika, Amurwa Bhumi segera keluar dari kamar Andika. Ia terpana menyaksikan Padmasari yang masih berdiri ditengah pintu memandangnya sambil menangis. Amurwa segera mendekat lalu mengulurkan tangannya dan menuntun Padmasari kedalam kamarnya. Padmasari tidak bisa berbuat banyak kecuali mengikuti apa yang di lakukan oleh Amurwa. Sampai di dalam kamar Padmasari duduk di ranjangnya sementara Amurwa Bhumi duduk di bawah sambil memegang tangan dan menatap wajah padmasari dengan lembut.
"Aku akan berusaha untuk mencari tahu siapa jati dirimu yang sebenarnya Padmasari."
Padmasari mengerutkan keningnya mendengar Amurwa Bumi memanggilnya dengan sebutan nama tanpa nyonya. Iya heran dengan kebiasaan baru Amurwa sekarang yang lebih memilih untuk memanggilnya Padmasari tanpa Nyonya. Itu membuat dia merasa menjadi sedikit lega karena tidak akan ada jarak diantara mereka berdua setelah ini.
Melihat perubahan wajah padmasari Amurwa Bhumi terpana. Ia merasa ada sesuatu yang salah yang ia ucapkan. Ia takut Padmasari tidak berkenan dipanggil namanya tanpa nyonya karena selama ini posisi di rumah keluarga Tuan Wardhana sebagai Nyonya besar.
"Maafkan aku, Nyonya telah lancang memanggilmu dengan sebutan nama saja."
Padmasari menggelengkan kepalanya lalu tersenyum.
"Tidak apa-apa. aku lebih senang kamu memanggil namaku saja tanpa nyonya. Tadi aku hanya terpana menyaksikan kamu menidurkan Andika dan mendengar kamu menyebut namaku begitu saja. Jangan panggil Nyonya. Panggil aku Padmasari seperti tadi. Itu kalau kau tidak keberatan."
Amura Bhumi mengangguk lalu mengelus punggung tangan Padmasari dan berdiri.
"Aku lebih suka Amurwa yang sekarang dibandingkan dengan Amurwa yang menjadi tangan kanan Tuan Kusuma Wardana mantan suamiku."
"Aku dan tangan kanan Tuan Kusuma Wardhana orang yang sama. Tidak ada bedanya sama sekali. Mengapa kau membedakanku?"
Padmasari tersenyum mendengar godaan Amurwa Bhumi. Ia merasa malu saat ini, berada di dalam kamar berdua dengan laki-laki yang bukan suaminya.