Chereads / Obsesi Cinta / Chapter 2 - Cowok Aneh

Chapter 2 - Cowok Aneh

'Rayna, hari ini aku tidak menjemputmu pulang. Hari ini aku lembur. Tidak apa-apa kan kalau pulang sendiri?'

'Oke, jangan lupa makan ya.'

'Jangan pikirkan aku.'

"Tau ah, punya pacar gini amat. Nggak ada romantis-romantisnya," gerutu Ajeng yang

tengah membaca chat dari Leo, kekasihnya.

"Kenapa? Lagi nahan boker ya?" Ledek Rani, teman kerja Ajeng.

"Aish, gue lagi kesel sama si Leo. Heran deh gue, tuh cowok nggak ada romantis-romantisnya ke gue."

"Haish, dipikiran elo cuma Leo terus. Nggak ada yang lain apa?"

Ajeng langsung nyengir, "nggak ada," ucapnya kemudian.

Rani yang mendengar jawaban Ajeng memutar bola matanya malas.

"Siapa tau Leo punya gandengan baru di luar," celetuk Rani tiba-tiba.

"Nggak usah ngaco kalau ngomong," sungut Ajeng tak suka.

"Lah, bisa jadi kan."

"Tau ah,"

"Lah, aku cuma ...."

Rani tak melanjutkan ucapannya ketika melihat seorang lelaki memakai masker datang menghampirinya. Bukan, lebih tepatnya mereka berdua.

"Selamat siang, ada yang bisa dibantu," sapa Ajeng ramah.

"Coffe satu," ucapnya dengan suara berat, tatapan matanya terus mengarah ke Ajeng.

"Baik, ada lagi, Pak?"

"Tidak."

"Baik, Pak. Kalau begitu Bapak silahkan duduk, nanti akan kami antarkan pesanannya," ucap Ajeng lagi seraya tersenyum, namun lelaki itu masih bergeming di tempatnya, dan matanya masih betah menatap ke arah Ajeng.

Menyadari akan hal tersebut, Rani langsung menyenggol lengan Ajeng.

"Kenapa lagi?" tanya Ajeng jengah.

Rani tidak menjawab, namun matanya memberi isyarat, Ajeng pun mengikuti arah mata Rani, kemudian dahinya mengernyit.

"Bapak butuh bantuan?" tanya Ajeng, namun lelaki itu tak menjawab, entah apa yang sedang lelaki itu pikirkan sampai-sampai pertanyaan Ajeng dihiraukan.

"Pak?!" Panggil Ajeng dengan suara agak nyaring.

Seketika Lelaki itu terlonjak kaget, kemudian menatap Ajeng dengan tatapan menusuk. Bukan Ajeng namanya jika dia tak membalas tatapan tersebut.

Tatapan mereka bertemu, Ajeng

seperti pernah merasakan tatapan itu. Lelaki itu berdehem pelan untuk menetralkan suasana yang agak canggung.

"Ada yang bisa saya bantu—"

"Saya tunggu pesanan saya," potong Lelaki itu, kemudian melangkah pergi meninggalkan

meja kasir tersebut, sementara Ajeng dan Rani melongo dibuatnya.

"Aneh," gumam Ajeng.

"Iya," timpal Rani.

***

Rintik hujan terus mengguyur jalanan, Ajeng menghela napas panjang karena hujanlah yang membuatnya pulang terlambat. Sedang asik mengelap meja, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dengan pelan, membuat sang empunya tersentak kaget.

Ajeng langsung menoleh dan mendapati Rani sedang nyengir.

"Ngagetin aja," kata Ajeng sedikit syok.

"Ngagetin gimana, elonya aja yang lagi asyik ngelamun."

"Ya ... Ya ... Ya ... Terserah elo aja," jawab Ajeng setengah malas.

"Elo nggak pulang?" tanya Rani.

"Elo buta apa gimana, ini hujan woy. Masa iya gue pulang harus hujan-hujanan."

Rani hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Cowok elo nggak jemput?"

"Nggak usah mulai deh, Rani," ucap Ajeng dengan mata melotot.

Rani tertawa terbahak-bahak, kemudian menyenggol lengan Ajeng pelan.

"Bercanda, nggak usah ngambek kali."

Ajeng diam saja, terlalu malas menanggapi celotehan Rani. Selesai mengelap meja, Ajeng langsung melirik ke kanan dan kiri untuk memastikan bahwa hasil kerjanya memuaskan.

Ajeng mengerutkan keningnya ketika melihat sosok laki-laki yang tengah membaca buku di tempat yang paling ujung.

"Rani," panggil Ajeng.

"Hemm," jawab Rani yang sedang asyik dengan ponselnya.

"Itu bukannya cowok aneh yang tadi ya?"

Rani langsung memasukkan ponselnya, kemudian menoleh ke arah Ajeng.

"Cowok tadi yang mana? Perasaan tadi banyak pelanggan cowok deh."

"Yang itu loh, yang duduk paling ujung," tunjuk Ajeng pada Rani.

Rani langsung mengikuti arah telunjuk Ajeng. Kemudian memutar bola matanya malas.

"Terus?"

"Dia kenapa pakai masker ya?"

"Sejak kapan elo jadi kepo begini, elo naksir sama tuh cowok?" tanya Rani penuh selidik.

Ajeng langsung menatap Rani dengan tatapan horor. "Elo kalau ngomong jangan sembarangan, gue udah punya Leo," sungutnya kesal.

"Ya ... Siapa tahu kan. Hati tidak ada yang bisa nebak," ucap Rani sok bijak, "tapi kalau dipikir-pikir, tuh cowok kenapa ya pakai masker," gumam Rani.

"Entahlah," kata Ajeng sambil mengedikkan bahunya.

"Mungkin dia jelek, atau mukanya jerawatan. Iya nggak sih," celetuk Rani yang membuat

membuat Ajeng tiba-tiba terbahak.

"Itu mulut enggak bisa direm ya, entar didengar loh sama orangnya," kata Ajeng menakuti.

"Bodo amat, btw gue mau pulang. Jemputan gue udah datang. Bye!" Selesai berkata, Rani

langsung berlari meninggalkan Ajeng yang sedang melongo.

"Gue ikut!" Teriak Ajeng, namun sayangnya teriakan Ajeng tak didengar oleh Rani.

Teriakan Ajeng langsung mendapat tatapan aneh dari pengunjung Cafe tersebut. Seketika Ajeng menjadi gugup.

"Maaf," cicitnya sambil membungkukkan setengah badannya, kemudian Ajeng menyusul Rani.

Berharap Rani mau berbelas kasihan padanya untuk memberikan tumpangan.

"Rani!"

Merasa namanya dipanggil, Rani pun langsung menoleh.

'Pasti mau nebeng tuh anak,' gerutu Rani dalam hati.

"Gue ik—"

"Ada apa ya, Ajeng," kata Rani dengan suara lembut yang dibuat-buat, tapi matanya menatap horor pada Ajeng. Ajeng yang melihatnya pun mendengus kesal.

'Apa-apaan dia, suaranya dibuat-buat,' batin Ajeng menggerutu.

"Ah, nggak ada. Cuma mau bilang, sampai ketemu besok ya," ucap Ajeng sambil tersenyum, kemudian Ajeng menatap kekasih Rani, "kalau gitu, gue permisi. Silahkan dilanjutkan," selesai berkata, Ajeng langsung melenggang pergi meninggalkan mereka berdua dengan mulut komat-kamit, apalagi kalau bukan mengucapkan sumpah serapah yang ditujukan untuk Rani.

"Kenapa nggak diajak bareng?" Tanya Sandi, kekasih Rani.

"Dia sudah dijemput Kekasihnya," dusta Rani.

Sandi hanya mengangguk, kemudian

mempersilahkan Rani masuk ke dalam mobil miliknya.

***

"Kamu lagi di mana?"

"Kenapa tanya-tanya, kalau enggak jemput jangan tanya," geram Ajeng, sedangkan lelaki

yang ada di seberang sana terkekeh kecil.

"Nggak usah ngambek, cuma hari ini aja kok. Besok-besok nggak akan kayak gini lagi."

"Terserah."

"Jangan ngambek."

"Tau ah," ucap Ajeng, kemudian mematikan sambungan teleponnya secara sepihak.

Ajeng menghela napas panjang, semakin lama hujannya semakin deras. Ajeng bingung harus pulang naik apa, saat ini jalanan tampak sepi, bahkan taksi satupun tak ada yang lewat.

Ajeng

menengadahkan tangannya untuk memastikan bahwa hujannya hanya tinggal rintisan, namun sayangnya hujan itu kian deras.

"Butuh tumpangan?"

Ajeng langsung menoleh ke arah asal suara tersebut. Matanya mengerjap tak percaya saat menyadari seorang lelaki di sampingnya tengah menatapnya dengan tatapan dalam.

"Ehm ... saya sedang menunggu jemputan," jawab Ajeng sedikit gugup, pasalnya lelaki yang sedang berada di sampingnya adalah lelaki yang tadi menjadi bahan gibah antara Ajeng dan Rani.

"Jalanan sangat sepi, kau yakin akan menunggu sampai malam? Aku tunggu kau di mobil itu," ucap lelaki itu sambil menunjuk sebuah mobil yang menurut Ajeng sangat mahal.

Usai

mengatakan, lelaki itu pergi meninggalkan Ajeng yang sedang dilema.

Dengan ragu, Ajeng mengikuti Lelaki itu.

"Masuklah," ucap Lelaki itu yang tengah membuka pintu mobil untuk Ajeng. Ajeng hanya mengangguk, kemudian dia masuk ke dalam mobil.

Selama perjalanan, diantara mereka tak ada yang berbicara, mereka berdua sama-sama

membungkam mulut mereka.

Hingga tibalah mobil lelaki itu di pelataran rumah Ajeng, Ajeng pun segera turun.

"Terimakasih atas tumpangannya."

Lelaki itu hanya mengangguk. Ajeng menyempatkan diri untuk tersenyum, kemudian dia langsung masuk ke dalam rumahnya.

Sementara Lelaki itu langsung melepaskan masker dengan sedikit keras, ditatapnya tempat duduk yang Ajeng tempati tadi, kemudian dia menoleh ke rumah Ajeng.

Seketika Lelaki itu tersenyum menyeringai.

"Ajeng Rayna ...," gumamnya lirih disertai senyuman misterius.

Setelah memasuki rumahnya, Ajeng baru menyadari satu hal.

"Tunggu deh, perasaan tadi dia nggak nanya rumahku di mana? Tapi kok ...."

Bersambung.