Jam weker di dalam kamar itu berdering keras sekali, sehingga membuat Sinto terbangun. Dan tangannya mengambil weker itu, lalu ia membuka matanya dan melirik ke arah jam weker tersebut, "Ah ternyata masih pagi. Baru pukul lima pagi." Gumamnya pelan sambil tangannya mengembalikan weker itu ke tempatnya lagi.
Ia mencoba mengulet. Tetapi ia masih merasakan sakit di sekitar pinggangnya. Lalu ia teringat kembali kejadian semalam di parkiran mal itu.
"Apakah ada hubungannya dengan kematian ayahku ya?" gumamnya perlahan. Lalu ia mengingat-ingat lagi, "Sepertinya tidak. Kenapa justru yang di kejar malah keluarganya om Bram, ya. Kenapa bukannya aku."
Sinto terlihat berpikir keras. Ia diam sejenak, lalu ia teringat kembali, "Oh ya. Kan kemarin sebelum kejadian itu ada Paman Kotaro di mal tersebut. Apakah jangan-jangan ini semua perbuatan Paman Kotaro ya. Atau paman Kotaro yang di kejar-kejar, lalu mereka kehilangan jejak. Terus mereka melihat aku di parkiran."
Lalu lanjutnya lagi, "Aneh." Ucapnya sambil mengambil remote TV.
Kemudian ia segera mencari saluran berita di jepang. Ia sangat berharap berita kematian ayahnya sudah muncul di televisi. Terutama sekali siapa yang bertanggung jawab.
"Berarti. di Jepang Osaka. Waktu saat ini kurang lebih. Antara dua hingga dua jam setengah. Jadi sekarang di sana sudah pukul tujuh pagi." Gumamnya sambil mengambil ponselnya, lalu ia kembali mencoba menghubungi ibunya sendiri.
Berkali-kali ia coba hubungi. Tetapi di seberang sana tidak ada yang mengangkatnya.
"Semoga mama baik-baik saja." ucapnya dalam hati sambil kembali menaruh ponsel itu pada tempatnya.
Tangannya yang lain sambil menekan-nekan nomor tombol remote televisi. Tetapi sekali lagi sia-sia. Tidak ada berita mengenai kematian ayahnya.
Ia pun keluar kamar. Untuk menghirup udara segar. Dengan masih terasa sakit ia sedikit melakukan gerakan olah raga.
Pada saat ia berjalan ke samping balkon kamarnya. Tak sengaja ia melihat sopir ayahnya sedang berbincang-bincang dengan seseorang. Karena ia dapat membaca gerak bibir seseorang. Maka ia lupa berlindung. Tetapi malah mendekatkan dirinya ke pagar untuk menegaskan gerakan bibir kedua orang yang sedang berbincang-bincang itu.
Ia terkejut ketika melihat gerakan bibir itu menyebut-nyebut dirinya. Dan perlindungan. "Apa maksudnya dengan perlindungan dan diriku?" ucap Sinto dalam hatinya.
Tetapi, tiba-tiba teman si sopir itu menoleh ke atas. Ke arah Sinto. Setelah itu ia sepertinya buru-buru pamit dan segera pergi dari situ.
Walau pun ketahuan, Sinto tidak lari atau tidak salah tingkah. Tetapi ia malah berteriak, "Paman, hari ini siapa yang antar aku sekolah?"
"Aku sendiri." Jawab sopir itu dengan berteriak pula.
"Paman. Jam masuk sekolah aku. Jam berapa ya?" tanya Sinto lagi. Sambil menggerak-gerakkan badanya dengan berolah raga.
"Jam tujuh, tuan muda. Tapi tuan muda harus sudah turun paling lambat jam enam lima belas. Takut macet tuan!" balas sopir itu lagi.
Sinto pun menunjukkan ibu jarinya ke arah sopir itu.
Ia pun masih menggerak-gerakkan tubuhnya lagi beberapa saat, lalu ia segera masuk kembali ke dalam kamarnya.
Pada saat ia hendak masuk ke dalam kamar. Dari tangga yang letaknya persis di sebelah kamar terdengar suara mama angkatnya, "Loh kok anak mama sudah bangun sih. Bukannya semalam badannya terlihat memar." Tak lama kemudian muncul Resty di hadapan Sinto.
"Iya ma, terima kasih. Karena semalam sudah membantu membalurkan seluruh tubuhku dengan minyak itu. sekarang sudah tidak terasa sakit lagi." Ucap Sinto dengan suara yang agak bergetar sedikit.
"Masa sih." Ucap Resty sambil tangannya mencubit bagian tubuh anak muda itu yang semalam begitu terasa sakit.
Begitu dicubit Sinto hendak menjerit kesakitan. Tetapi Resty segera mendekat mulut anak itu sambil berkata, "Maaf. Mama hanya tes saja. Jika jeritanmu ini terdengar sama Bram. Bisa berabe urusannya."
Sinto pun mengangguk pelan. Begitu tangan wanita itu di lepas dari mulutnya. Entah kenapa dia pun segera membalas mencubit tubuh wanita yang masih terlihat sexy dan langsing di usianya. Dan wanita itu pun juga hendak menjerit. Tetapi kali ini pemuda itu yang menutup mulutnya.
Dengan cepat Resty menarik pelan tangan anak itu dari mulutnya. Karena bersamaan dengan itu terdengar suara Dinda putrinya.
Begitu Dinda tiba di atas, "Loh, kok mama juga ada di sini?" tanyanya dengan tatapan mata curiga.
"Kak Dinda. Janganlah curiga seperti itu, mamamu baru saja sampai dan aku baru saja selesi olah raga." Kata Sinto dengan nada halus.
"Dek. Sekali lagi maafkan kakak ya." Ucap Dinda dengan nada memelas.
"Pasti dong." Ucap Resty sambil membelai kedua kepala anak itu.
Setelah berbuat demikian, "Sebaiknya kamu mandi sana. Selesai mandi, turunlah. Kita sarapan bersama-sama." ucap Resty sambil membalikkan tubuhnya hendak turun.
Tetapi Sinto berkata, "Ma. barusan kata paman sopir, aku harus sudah siap jam enam lewat lima belas."
"Baiklah kalau begitu. Nanti mama siapkan bekal roti saja ya." Setelah itu Resty sungguh-sungguh turun kembali.
Sedangkan Dinda masih berada di atas di depan kamar anak itu.
"Kak. Aku mau mandi dulu." Ucap Sinto sambil tersenyum.
Dengan agak kikuk. Dinda berkata, "Baiklah. Eh. Sebaiknya aku turun saja. Nanti kita bisakan untuk ngobrol lagi."
Sinto hanya mengangguk saja sambil melemparkan senyumnya. Setelah itu ia menutup pintu kamarnya sendiri. Tak lama kemudian terdengar suara air yang mengucur keluar.
Selesai mandi dan berpakaian seragam yang telah disediakan di dalam lemari baju. Ia melirik ke arah jam di dinding. Masih pukul enam kurang lima.
Ia pun bersiap memakai kaus kaki dan menyiapkan sepatu yang di letakkan di depan kamarnya.
Setelah itu ia kembali masuk dan mencoba mencari lagi saluran televisi di jepang.
Tetapi setelah lima menit berlalu tidak ada juga, akhirnya ia mematikan lagi televisi yang besar itu.
Bersamaan dengan itu terdengar suara mamanya dari bawah, "Sinto. Rotinya sudah siap ya. Jika mau sarapan masih keburu tuh. Masih ada waktu lima belas menit lagi."
Sinto pun menyahut, "Terima kasih ma."
Ia pun bergegas merapikan tempat tidur dan kamar itu. barulah ia berlari turun.
"Selamat pagi pa, ma." sapa Sinto kepada kedua orang tua angkatnya itu.
Kembali Bram hanya menjawab, "Hem."
Sedangkan Resty mencium kening Sinto. Lalu ia berkata, "Di makan dong rotinya."
"Iya Sinto. Mama sudah repot loh membuatnya untukmu." Ucap Tina yang keluar dari dapur.
"Pagi ka. Maaf ka. Aku sudah telat. Biar aku bawa saja rotinya." Kata Sinto sambil mengambil dua tangkap roti berisi daging asap dan telur dadar.
Melihat itu Dinda segera mengambil sebuah kotak makan dan berkata, "Rotinya dimasukkan sini saja."
Bramana yang mendengar dan melihat kelakuan mereka bertiga berkata, dengan nada menyindir, "Tidak seperti itu juga kali."
Sinto yang mendengar itu malah menjawab dengan nada penuh suka cita, "Terima kasih sekali lagi. Karena kalian semua dapat menerimaku dengan baik dan penuh cinta." Setelah berkata demikian Sinto bergegas keluar.
Tetapi lagi-lagi Resty berlari mengejarnya sambil berkata, "Nak. Ini botol minumnya."
Sinto yang sudah duduk di atas mobil di sebelah sopir menoleh. Lalu ia turun lagi dan mengambilnya dari tangan wanita itu.
Ia pun kembali masuk ke dalam mobil itu.
"Selamat pagi, paman," sapa Sinto setelah sopir itu telah menjalankan kendaraannya.
"Pagi." Balasnya dengan suara datar.
"Maaf paman. Apakah kita tidak bisa berbincang-bincang sejenak?"
Sopir itu tersenyum, lalu menunjuk ke sebuah alat yang berada di dekat spidometer mobil itu.
Melihat itu, Sinto segera membuka tas dan mengeluarkan secarik kertas serta pena. Lalu ia menulis sejenak, tulisan itu berbunyi, "Alat penyadap." Dan diperlihatkan kepada sopir itu.
Sopir itu melihat sekilas, lalu mengangguk pelan.
Kemudian Sinto menulis lagi, "Nama paman siapa?" dan ditunjukkan lagi.
Tetapi kali ini sopir itu tidak segera menjawabnya.
****
Tepat jam tujuh kurang sepuluh menit mobil itu sudah tiba di depan pintu gerbang sekolah baru. .
"Terima kasih paman." ucap Sinto sebelum buka pintu mobil itu.
Lalu sopir itu berkata, "Tunggu sebentar." Sambil tangannya mengambil kertas dan bolpoin dari tangan Sinto.
Ia segera menulisnya dan ditunjukkan kepada Sinto, "Nama saya Jaya."
Sebelum anak itu turun dari mobil, "Jangan telat ya, nanti jam dua, paman kembali datang menjemput kamu."
"Siap paman. Dan terima kasih Paman..." tetapi Sinto tidak melanjutkannya. Karena Jaya sopirnya itu segera meletakan jari telunjuknya di depan bibirnya sendiri.
Akhirnya Sinto hanya mengangguk saja. Lalu ia keluar dari mobil itu dan memandangi sekolah barunya tersebut.
Di saat ia masih memandang sekolah itu, tiba-tiba ada suara seseorang yang datang mendekat.
"Halo!" sapa orang itu yang membuat Sinto terkejut.
Sinto menoleh ke arah anak itu. Kulitnya berwarna cokelat. Giginya terlihat putih. Sedangkan rambutnya agak ikal.
"Perkenalkan nama saya Rinto. Saya berasal dari Nigeria." Katanya sambil menyeringai.
Mendengar nama Nigeria, Sinto semakin tercengang.
"Hei, kok bengong?" tanya anak yang bernama Rinto itu.
"Oh, saya tahu. Kamu bingungkan. Kalau kulit saya seperti ini. Pada hal saya dari Nigeria." ucap Rinto sambil tersenyum.
Ketika hendak memberi penjelasan lagi, tiba-tiba terdengar suara bel sekolah berbunyi.
"Aku duluan." ucap Rinto sambil menepuk bahu Sinto.
"Saya Sinto!" teriaknya. Ketika anak itu melambaikan tangan ke arahnya.
****
Sinto pun bergegas masuk ke dalam gedung itu dan mencari-cari ruang kelasnya.
Ketika ia sedang mencari-cari. Saat itu ia berpapasan dengan seorang wanita.
Wanita itu membawa beberapa buku dan mendekati Sinto, "Kamu sedang apa di sini."
Sinto seperti biasa membungkukkan setengah badan ke arah wanita itu. lalu katanya, "Maaf, saya sedang mencari ruang kelas ini." sambil tangannya menunjukkan secarik kertas kepada wanita itu.
"Oh ini kelas 2A1 SMA di lantai II. Mari ikut saya. Kebetulan saya wali kelasnya," kata wanita itu sambil mempersilahkan Sinto untuk naik ke atas tangga yang berada tidak jauh dari mereka.
Mereka segera jalan bersama menuju ke kelas, "Perkenalkan, nama saya Bu Evelin."
"Saya Sinto, bu."
"Sinto, anak angkat pak Brama, ya." Tebak ibu guru itu sambil tersenyum.
"Betul bu, tapi tolong jangan beritahu identitas saya di sekolah ini, ya. Saya tidak mau tergantung dengan nama besar tuan Bramana." Pinta Sinto.
"Baiklah. Pasti itu akan Ibu lakukan sebisa mungkin nak." Setelah berkata demikian. Mereka telah tiba di depan sebuah kelas.
Kemudian Bu Evelin membuka pintu kelas itu, "Nak, ini kelasnya."