Pikirannya bekerja, "Betul apa kata paman. Ayah juga berpesan seperti itu. kita tidak boleh menyusahkan orang lain."
Teringat akan itu, Sinto kembali menoleh ke arah makanan yang tersaji.
Sekali lagi Kotaro mengingatkan, "Coba ditelan saja makanan itu bila tidak enak rasanya."
"Baik paman."
Sedikit demi sedikit Anak itu mencoba menelannya. Terlihat Sinto berusaha keras menelan makanan itu. Hingga akhirnya habis juga makanan yang Ia ambil.
Melihat Anak itu sudah selesai makan, "Sinto. Ada pesan apakah untukmu dari Kakakku sebelum kejadian tadi?"
"Tidak ada Paman. Hanya pesan biasa saja," jawab Sinto seenaknya.
"Tidak mungkin. Tadi pagi-pagi sekali paman lihat dia masuk ke dalam kamarmu. Tidak mungkin tidak ada pesan yang penting disampaikan kepadamu," kata Kotaro sedikit mendesak keponakannya itu.
Sinto menarik nafas agak panjang, "Benar Paman tidak ada apa-apa. Justru Ia sengaja mengetes aku dengan melempar sebuah kunci kepadaku secara tiba-tiba."
"Kunci, kunci apakah itu?" cecar Kotaro hendak tahu.
"Kunci. Iya kunci kamarku sendirilah Paman," ucap Sinto sambil sedikit tertawa.
Melihat itu, Kotaro berkata, "Akhirnya keponakanku sudah bisa tertawa sedikit." Padahal Ia merasa penasaran sekali.
Sinto menggelengkan kepala. Lalu kembali Ia memejamkan matanya lagi.
"Tidurlah lagi Sinto. Perjalanan kita kurang lebih masih empat jam lagi."
Sinto membuka matanya sejenak lalu melihat ke arlojinya, "Tiga setengah jam lagi, Paman."
Setelah berkata demikian Ia kembali memejamkan kedua matanya.
****
Tak terasa perjalanan mereka akan tiba, Maka Kotaro membangunkan keponakannya itu dengan mengoyang tubuhnya sambi berkata, "Sinto bangunlah. Sebentar lagi kita akan tiba di Jakarta."
Sinto merenggangkan tubuhnya sejenak, sesungguhnya Ia tidak tidur pulas. Ia hanya memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Padahal Ia hendak mendengar apa yang di bicarakan pamannya pada saat Ia tidur. Tetapi selama Ia berpura-pura tidur, tidak ada suara sedikit pun yang keluar dari mulut Kotaro.
Akhirnya terasa juga pesawat itu turun dan menyentuh landasan. Tak lama kemudian pesawat itu benar-benar berhenti.
"Kita telah sampai. Kamu turunlah lebih dahulu," perintah Kotaro kepada Sinto.
Tampak Sinto agak enggan untuk segera turun.
Melihat hal itu, Pamannya berusaha mengingatkan kembali, "Janganlah seperti itu. Dia itu teman baik ayahmu. Dia sudah baik menerima dirimu tinggal di rumahnya. Sebaiknya Kamu menghormatinya seperti Dia menghormati ayahmu."
Akhirnya Kotaro lebih dahulu beranjak bangun dari tempat duduknya. Sebelum Ia benar-benar keluar dari pesawat itu. Ia kembali menoleh ke arah Sinto," Kamu juga jangan cuek. Dan juga jangan banyak omong."
"Tenang saja Paman. Aku tidak seperti anak-anak yang lain yang tidak tahu diri dan berterima kasih." Sahut Shinto kepada Pamannya.
"Bagus kalau begitu. Siapa dulu Pamannya." Ucap Kotaro dengan bangga.
*****
Kotaro sudah berdiri di luar pesawat, tanpa menoleh ke belakang Ia sedikit berteriak, "Hayo Sinto. Kita harus turun dari pesawat ini." sedangkan tangannya di lambaikan ke arah seseorang yang sedang berdiri menunggunya.
Dan sebelum turun, Kotaro berpesan kepada kapten pesawat itu, "Janganlah kalian kembali ke sana. Tunggulah di sini sampai ada perintah baru lagi."
Baru setelah itu Kotaro benar-benar turun dari pesawat tersebut.
Sinto menyusul di belakang Kotaro.
Di bawah, orang itu pun membalas lambaikan tangan Kotaro.
Tampak orang itu memakai setelan jas berwarna hitam. Memakai kacamata hitam dan berkepala pelontos.
Begitu Kotaro turun dari pesawat, orang tersebut segera membuka kedua tangannya lebar-lebar.
Kotaro dan orang itu saling berpelukan satu sama lain.
Setelah itu Sinto yang berada di belakang pamannya berkata, "Terimalah salam hormat saya paman."
Sambil membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat.
Orang yang menyambut kedatangan mereka berdua menoleh ke arah Sinto. Kemudian ia memberi salam kepada Sinto, "Selamat datang Tuan Muda."
Oran itu pun melakukan hal yang sama seperti Sinto.
Setelah mereka berdua menegakkan kembali tubuh mereka masing-masing, Kotaro segera memperkenalkan mereka berdua.
"Sinto ini Pak Bramana Putera."
"Bagaimana perjalananmu tadi?" tanya Pak Bramana Putera.
"Cukup melelahkan paman." Balas Sinto.
"Oh Iya, maaf. Saya baru dengar akan penembakan itu. Saya turut berduka cita," ucap orang itu lagi.
"Terima kasih paman," ucap Sinto lagi. Yang kali ini ia seperti ogah-ogahan meladeni orang itu.
"Sinto. Jangan seperti itu. Dia ini Brahmana Putra sahabat ayah kamu," tegur Kotaro.
"Sudahlah. Jangan seperti itu Kotaro. Kali saja dia baru pertama kali melakukan perjalanan jauh. Mungkin dia benar-benar kelelahan."
"Terima kasih paman." Balas Sinto lagi.
Tuan rumah itu segera mendekati Sinto, lalu ia menepuk bahu anak muda itu sambil berkata lagi, "Sinto. Mulai hari ini dan seterusnya. Kamu akan tinggal bersama kami di Jakarta. Semua keperluanmu. Mulai dari sekolah kamu di sini. Sampai surat perpindahannya, sudah kami urus. Baru besok kamu bisa masuk sekolah lagi."
Mereka berbicara sambil berjalan menjauh dari pesawat yang membawa kedua orang itu.
Kemudian tak jauh dari jarak mereka jalan, tampak di depan mereka sebuah mobil panjang seperti kepunyaan ayahnya. Lalu Sinto menoleh ke arah Brama Putra itu, "Apakah tuan Brama Putra melakukan usaha yang sama seperti ayah lakukan?!"
Ditanya seperti itu, oleh seorang anak yang berusia tujuh belas tahun bagi seorang Brama Putra sangat mengejutkan.
Buru-buru Paman Kotaro menegur Sinto dengan nada sedikit tinggi, "Kau sopan sedikit dengan tuan Brama Putra ini."
"Hei. Janganlah seperti itu dengan seorang anak kecil," kata Brama Putra. Ia sedikit membela Sinto. Karena Ia hendak mengambil hati anak itu.
Mendengar itu Shinto buru-buru berkata lagi, "Saya yang salah. Maafkan Saya. Janganlah Anda memarahi Paman Saya."
Sebelum masuk ke mobil. Brama Putra tersenyum, lalu menjawab pertanyaan anak bos besarnya itu, "Pasti. Kalau bisnis Om tidak seperti Ayahmu, belum tentu kita berdua saling kenal."
Setlah itu Ia membukakan pintu depan. Agar Sinto mau duduk di depan.
Sebelum Sinto masuk, Ia bertanya lagi, "Apakah bisnis om itu batu bara, kelapa sawit dan tembaga serta jalur seperti itu?"
Pak Brama Putera tersenyum lagi, lalu ia hanya mengangguk saja.
Tahun-tahun itu dengan melakukan bisnis batu bara saja dan hasil bumi seperti kelapa sawit dan yang lainnya memang mendatangkan keuntungan yang besar bagi setiap pengusaha yang melakukan bisnis tersebut.
Tetapi bagi pebisnis yang biasa di lakukan oleh mafia tulen. Perputaran uangnya cukup lambat. Hal inilah yang menyebabkan segelintir orang mulai melakukan kudeta terhadap kelompok Shiroi hingga pada akhirnya Kenjiwa harus tewas.
****
Setelah melihat anggukan dan senyuman dari Pak Brama. Sinto juga membalasnya dengan senyuman. Lalu ia segera masuk dan duduk di depan, di samping si sopir.
Sedangkan Brama Putera bersama Kotaro duduk di belakang.
Karena panjangnya mobil tersebut. Jarak duduk mereka jadi terlihat agak cukup jauh.