Pagi itu, adalah hari di mana akan diadakan pertemuan antar anggota klan mafia di seluruh jepang. Bukan saja dari jepang tetapi hampir dari seluruh dunia. Semua klan mafia ini dikendalikan oleh sebuah klan mafia lainnya yang bernama, "Klan Shiroi, yang artinya putih."
Klan Shiroi di pimpin oleh seorang yang bernama Kenjiwa yang memiliki wajah biasa-biasa saja. Tetapi keahliannya melobi dan mengatur organisasi sangat diluar dugaan semua orang. Karena dengan kepandaiannya melobi itulah Dia dap merangkul semua mafia di seluruh Jepang dan sebagian besar di dunia. Dari timur ke barat.
Selain keahlian itu. Kenjiwa juga memiliki keahlian lainnya. Yaitu keahlian menembak dan keahlian menggunakan samurai.
Dalam ajang tahunan memperebutkan gelar samurai terbaik di Jepang. Kenjiwa sang pimpinan klan Shiroi itu telah menjuarai gelar tersebut lima kali berturut-turut
Ia memiliki satu orang istri yang berusia empat puluh tiga tahun dan satu orang putra berusia tujuh tahun yang akan genap empat bulan lagi.
Nama istrinya Azumi. serta nama putranya Sinto.
Semua klan mafia di Jepang dan dari beberapa utusan negara-negara lainnya sudah berkumpul. Hanya saja Kenjiwa belum terlihat atau belum hadir. Biasanya Ia yang paling dahulu hadir dan tepat waktu.
Karena keterlambatan Kenjiwa ini, membuat para anggota yang hadir mulai berkasak-kusuk.
****
Sedangkan di tempat lain.
Saat itu Kenjiwa mengetuk pintu kamar putranya. Sambil mengetuk Kenjiwa memanggil putranya, "Sinto. Tolong buka pintunya. Ada yang hendak ayah bicarakan kepadamu, nak."
"Tunggu sebentar, Ayah." Sahut Sinto dari dalam kamarnya.
Tak lama kemudian, Sinto membuka pintu kamarnya sambil berkata, "Silakan masuk Ayah."
Kenjiwa pun menerobos masuk dan langsung menutup kembali pintu kamar anaknya itu.
Melihat hal itu Sinto terasa heran. Tetapi Ia tidak berani bertanya apa-apa.
Begitu Kenjiwa berada di dalam kamar Sinto. Ia memandang ke jendela kamar anak itu. ternyata jendela itu masih tertutup dengan gorden.
"Bagus," katanya ketika sang ayah melihat bahwa jendela kamar anaknya itu masih terkunci dan tertutup rapat.
"Ada apa ayah?" tanya Sinto penasaran. Melihat tidak tanduk Ayahnya tidak seperti biasa.
Ia pun mengeluarkan sebuah map. Sambil menyerahkan map itu ke tangan Sinto. Kenjiwa berkata, "Simpan map ini baik-baik. Terserah kamu mau simpan di mana. Kelak kalau kamu membutuhkan map ini gunakan saja ya."
Karena Sinto anak yang berbakti Ia menerima saja map itu tanpa bertanya apa-apa. Lalu ia menyimpan map tersebut di laci meja belajarnya.
Ketika ayahnya melihat itu, "Sebaiknya kamu masukkan ke kotak itu saja. Biar aman. Lagi pula hanya kamu yang tahu kodenya."
"Baiklah ayah," kata Sinto sambil memindahkan map itu ke dalam sebuah kotak box. Lalu di kuncinya dengan beberapa angkat yang hanya Sinto saja yang tahu. Kemudian kotak box tersebut di simpat ke laci lemari belajarnya.
Setelah map itu aman di kamar Sinto, "Bagus. Terima kasih telah menuruti perintah ayah." Katanya dengan wajah yang terlihat sangat puas dan bahagia.
Sepertinya Kenjiwa teringat sesuatu. Lalu katanya lagi kepada anak itu, "Sinto. Ini ada kunci lemari kamar ayah. Jika kamu perlu apa-apa. Atau ada keperluan mendesak. Buka saja." Ucapnya sambil melempar sebuah anak kunci ke arah putranya itu.
Dengan gerakan cepat Sinto menerimanya.
"Bagus. Gerakanmu sudah semakin cepat," puji Kenjiwa sambil menepuk bahu putra satu-satunya itu.
"Ayah. Ada apakah ini semua?" tanya Sinto yang pada akhirnya tak tahan juga untuk bertanya.
"Nak. Beberapa bulan lagi kamu sudah berusia delapan belas tahun. Wajar toh jika aku yang sebagai ayahmu hendak memindahkan tanggung jawabku sedikit demi sedikit kepadamu. Karena kamu adalah satu-satunya anak Ayah," ucap Kenjiwa sambil tersenyum. Senyum yang kecut.
Selang beberapa saat terdengar suara burung gagak-gagak.
Mendengar suara burung gagak di pagi hari seperti itu, apa lagi tepat di atas rumah mereka. Wajah kedua pria yang beda usia itu terlihat agak terkejut dan keheranan.
Kenjiwa bergegas membuka gorden dan jendela kamar putranya itu. lalu mendongak ke langit.
Tampak dua ekor burung gagak masih berputar-putar sambil berkoak-koak.
"Konon katanya sih. Kalau terdengar suara burung gagak. Pasti akan ada musibah," kata Sinto dalam hati.
Lalu lanjutnya lagi, "Semoga tidak ada apa-apa dalam keluarga ini."
Agak lama juga Kenjiwa menatap ke arah kedua ekor burung gagak itu.
"Ayah," tegur Sinto.
Teguran itu membuat Kenjiwa terkejut. Lalu cepat-cepat menoleh ke arah putranya.
"Ah. Maafkan Ayahmu nak," kata Kenjiwa sambil bergegas menutup kembali jendela kamar anak itu.
Setelah berbuat demikian Kenjiwa bergegas keluar dari kamar Sinto kembali ke kamarnya sendiri.
Setibanya di kamar sendiri, ia melihat wajah Azumi istrinya yang begitu pucat.
"Suamiku. Sebaiknya Kau jangan pergi ke pertemuan. Sepertinya suara burung gagak itu pertanda tidak baik untukmu menghadiri pertemuan tersebut," kata Azumi dengan nada khawatir.
Lalu ia menambahkan kembali, "Coba kamu ingat lagi pertemuan pertama di tahun ini. kamu bersama beberapa orangmu hampir celaka. Beruntung Tuhan masih melindungi kalian."
Kenjiwa tersenyum. Senyum yang dipaksakan. Lalu dengan suara pelan dan hati-hati sekali, "Azumi istriku. Sebaiknya kamu fokus saja kepada Sinto anak kita. Dia sudah besar. Beberapa bulan lagi berusia delapan belas tahun," kata Kenjiwa yang mencoba mengalihkan pembicaraan.
****
Setelah itu Kenjiwa pun bersiap-siap untuk berangkat. Karena Ia merasa dirinya sudah telat datang. Padahal perjalanan dari rumahnya ke tempat pertemuan itu hanya memakan waktu lima belas menit saja.
Pada saat Ia hendak keluar rumah. Telepon di rumahnya terus berdering.
Ia menoleh ke atas. Lalu ke belakang. Tetapi tidak ada siapa-siapa.
Akhirnya dengan enggan Kenjiwa menerima telepon itu. Dan terdengar suara di seberang sana.
"Halo!" sapanya kepada si penelepon.
Setelah Kenjiwa meletakkan gagang telepon. Di sebelahnya sudah berdiri istrinya yang bernama Azumi.
"Ancaman lagi," tanyanya dengan suara perlahan
Lelaki itu tidak dapat berbicara.
Wanita itu terkejut melihat wajah suaminya yang begitu gugup dan tangannya terlihat sedikit gemetar.
Kemudian Azumi menenangkannya. Dengan berkata, "Tenanglah. Ada apa sih. Sampai Kau terlihat seperti ini."
Sesungguhnya telepon itu, akhir-akhir ini sering ia terima. Tetapi Ia selalu mengabaikannya. Tetapi kali ini ia merasa ancaman tersebut serius. Kenapa Kenjiwa menganggap ini semua serius? Karena berhubungan dengan suara bunyi gagak.
Kenjiwa menarik nafas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri. Setelah tenang ia teringat akan sesuatu. Kemudian ia menarik tangan Azumi istrinya untuk ikut dirinya ke dalam ruangan kerjanya.
Karena selama ini, tidak ada satu pun orang yang boleh memasuki ruang kerjanya. Bahkan istri dan anaknya tidak di perbolehkan sama sekali untuk masuk.
Melihat dirinya di bawa masuk ke dalam ruang kerjanya, Azumi tidak dapat berkomentar apa-apa. Terlebih lagi pada saat Kenjiwa menarik sebuah laci yang ada di meja kerjanya. Tampak Ia mengeluarkan sebuah gulungan kertas berukuran sedang.