Gulungan kertas itu diserahkan kepada istrinya. Sambil berkata, "Bawalah gulungan ini bersama dengan Sinto ke Jakarta. Di sana ada teman baikku yang setia sampai saat ini. Namanya Brama Putra. Oh iya, jangan lupa ajak juga Adikku Kotaro. Karena dia pernah bertemu dengan Brama Putra."
Setelah berkata demikian, di selipkan gulungan kertas itu ke dalam tangan Azumi. Lalu ia mendorong istrinya untuk segera keluar dari ruangan itu.
Wanita itu selalu menurut. Walau dalam keadaan apa pun.
Maka, ketika di dorong seperti itu. Azumi pun bergegas keluar. Sebelum wanita itu melewati pintu ruangan kerja suaminya. Kenjiwa berpesan lagi, "Sebaiknya kau keluar lewat belakang saja. Kebetulan sudah ada mobil yang akan membawa kalian pergi sewaktu-waktu."
"Oh iya. Sinto di mana ya?" tanya Azumi sambil mencari-cari.
"Sepertinya Dia masih berada di kamarnya. Sebaiknya kamu telepon saja dari sini. Dan aku telepon adikku juga dari sini."
Suami istri itu segera menggunakan kedua telepon yang berada di dalam ruang kerja Kenjiwa secara bersamaan.
Begitu selesai. Kedua orang itu bergegas keluar dari ruangan kerja Kenjiwa.
Tampak Sinto turun dari kamarnya. Sedangkan Kotaro terlihat sudah berjalan keluar menuju pintu belakang rumah itu.
Sinto hendak bertanya, tetapi Azumi mendorong tubuh putranya itu sama seperti yang dilakukan Kenjiwa terhadap dirinya.
Mereka bersama-sama keluar melalui pintu belakang. Memang di pintu belakang selalu ada mobil yang siap menunggu. Kalau sewaktu-waktu hendak di gunakan untuk keperluan mendadak.
Begitu melihat ketiga orang itu bergegas keluar dari pintu belakang rumah itu. si supir pun langsung masuk ke dalam mobil berukuran besar dan panjang. Lalu menyalakan mesinnya.
"Sinto kamu duduk di depan saja," kata Azumi.
Kotaro adik ayahnya segera membuka kan pintu depan untuknya.
Setelah Sinto masuk ke dalam mobil, barulah kedua orang dewasa itu berdua duduk di belakang.
Begitu mereka sudah duduk, Azumi berpesan kepada sopir itu, "Tolong antar kami ke bandara ya pak."
Tanpa perintah dua kali sopir itu segera menjalankan kendaraannya.
Sedangkan Azumi menoleh ke Kotaro, "Berikan ini kepada Sinto pada saat Ia berusia delapan belas tahun."
"Kita mau kemana?" tanya Kotaro dengan suara perlahan.
Sebelum Azumi sempat menjawab. Kendaraan yang membawa mereka bertiga telah keluar dan tepat melewati depan rumah mereka sendiri.
Sinto dengan mata kepala sendiri. Melihat ayah serta beberapa pengawalnya telah tewas bergelimpangan darah.
Mereka ditembaki oleh sekelompok orang bertopeng.
Melihat itu Shinto justru tidak berteriak histeris. Dan juga tidak menangis seperti anak-anak sebayanya. Karena Ia tidak mau menyusahkan ibu dan pamannya.
Itu dia lakukan semenjak Ia duduk di kelas satu SD. Ia sering kali di buli dan diolok-olok karena tubuhnya yang lebih kecil dari usianya. Tetapi Ia tidak pernah melawan. Dan juga tidak pernah mengadu kepada kedua orang tuanya.
Tetapi Anak itu menuruni bakat ayahnya. Setelah berlatih bela diri dan samurai Sinto bertubuh tegap dan berotot. Sekarang tinggi badannya melebih siapa pun, baik itu kedua orang tuanya maupun pamannya.
****
Begitu tiba di bandara. Sebelum turun dari kendaraan, Azumi baru berkata, "Kalian berdua pergilah ke Jakarta. Kalian akan di tampung oleh keluarga Brama Putra. Sepertinya dari jauh hari Ayahmu sudah merencanakan kepindahanmu ini, Nak."
Setelah berkata demikian. Azumi bergegas turun di ikuti oleh Kotaro.
Azumi membuka pintu mobil depan agar putranya mau turun. Lalu ia memeluk erat Sinto dan seperti biasa wanita itu mencium wajah anaknya.
"Mungkin ini untuk terakhir kalinya Aku berbuat demikian terhadapmu, Anakku." Katanya dalam hati sambil mengecup bibir putranya itu.
Setelah menciumi wajah dan bibir putranya. Azumi bergegas masuk ke dalam mobil kembali. Ia duduk di depan bekas tempat anaknya duduk. Lalu ia segera menguncinya.
Melihat itu Sinto justru berlari mendekati jendela mobil di samping Azumi sambil memukul-mukul kaca tersebut.
Sedangkan Azumi dari dalam melambaikan tangannya dan berkata pula kepada sopirnya, "Kita kembali ke rumah."
Sopir pun segera menginjak gas.
Kotaro segera menarik tubuh Sinto. Dan mereka berdua jatuh. Beruntung keduanya tidak mengalami luka yang serius.
Setelah mereka berdua bangkit berdiri, anak itu menoleh ke pamannya sambil berkata, "Kenapa Paman menghalangiku?"
"Sebaiknya kamu jangan kembali kesana. Kamu harus patuhi perintah ayahmu," kata Kotaro mengingatkan anak itu agar tidak membantah.
Dengan berjalan gontai Sinto menuruti perkataan pamannya. Mereka berdua segera menaiki pesawat yang sudah siap membawa mereka menuju Jakarta.
Pesawat itu adalah pesawat pribadi milik Kenjiwa.
Sinto mengambil tempat duduk di samping Jendela.
Pada saat pesawat itu mulai tinggal landas. Tampak dari jendela pesawat itu, nama bandara tersebut.
Nama bandara itu "Itami Osaka".
Jarak tempuh Osaka ke Jakarta memakan waktu sekitar tujuh jam perjalanan.
Sinto hanya sebentar saja mengalihkan pandangan ke pamannya. Lalu Ia memandang lagi keluar melalui jendela pesawat terbang itu.
"Sinto. Nanti sampai di Jakarta. Kita akan tinggal dengan paman Brama Putra. Beberapa tahun lalu, beliau pernah berkunjung ke rumahmu. Apakah kamu masih ingat padanya?" tanya paman kotaro kepada keponakannya itu.
Tetapi anak itu tidak menjawab. Malah balik bertanya, "Kenapa paman mau membawa Aku pergi dari rumah?!"
"Banyak hal yang belum kamu mengerti, Nak." Sahut pamannya itu sambil membetulkan posisi duduknya.
"Paman. Apakah paman tidak sedih dan tidak mau kembali ke rumah. Pasti keluarga paman akan mengalami hal yang sama seperti keluargaku."
Mendengar itu Kotaro terkejut sesaat dan tak terasa air matanya menitik keluar. Tetapi Kotaro segera menyeka kedua matanya itu. s
Kemudian pikirannya melayang ke rumahnya. Kotaro jadi teringat akan kejadian yang menimpa keluarga kakaknya Kenjiwa.
Ia menyaksikan juga dengan kedua matanya sendiri. Di mana tubuh Kenjiwa bermandikan darah akibat berondongan senjata dari sekelompok orang bertopeng.
Secara tidak langsung dan tidak sengaja timbul di dalam benak pikiran yang sama pada kedua pria yang beda usia itu.
"Siapa yang melakukan itu semua. Yang bertanggung jawab atas pembunuhan terencana itu. Biasanya. Beberapa hari ke depan. Akan ada pengakuan siapa yang bertanggung jawab."
Lama kelamaan Sinto tertidur. Dan di bawah alam sadarnya Ia terkenang kembali kejadian yang baru saja Ia lihat. Tak berapa lama kemudian di dalam tidurnya, anak berusia tujuh belas tahun lebih itu mulai sesegukan menangis. Tetapi tidak sampai keluar menjerit atau berteriak. Sepertinya rongga tenggorokan Anak itu tertahan sesuatu.
****
Setelah sekian lama tertidur. Akhirnya Ia terbangun lagi. Matanya kembali memandang ke awan melalui jendela pesawat.
"Baru tiga jam perjalanan. Sebaiknya kamu makan dulu," kata Kotaro kepada Sinto.
Ia hanya sejenak menoleh ke arah makanan yang sudah tersedia di hadapannya.
Kalau dalam keadaan biasa mungkin saat itu juga semua pasti akan segera di santapnya. Tetapi kali ini keadaannya berbeda. Dirinya sedang berduka, mana mungkin makanan seperti itu masuk ke dalam perutnya.
Ia pun menoleh kembali ke arah kaca.
"Makanlah sedikit. Kita tidak mungkin menyusahkan tuan rumah. Bila kita tiba di Jakarta nanti kamu jatuh sakit," kata pamannya mengingatkan.