Chereads / Nisekai / Chapter 29 - Pengakuan cinta

Chapter 29 - Pengakuan cinta

Mereka berdua berjalan meninggalkan pemuda itu seorang diri. Kedua gadis itu membicarakan hal penting, tanpa di ketahui oleh Fadil. Fadil penasaran, dengan apa yang mereka berdua bicarakan namun ia memutuskan untuk tidak mencaritahu. Satu tahun telah berlalu, latihan pun semakin sulit di jalani. Setiap pagi lelaki itu memanjang tebing, siangnya beradu pedang, malamnya berlari hala rintang layaknya seorang ninja.

Setiap lima hari sekali, Fadil berlatih tanding dengan mata tertutup, baik pedang maupun taijutsu. Sarah yang menjadi lawannya dalam bertanding, di pakaikan sebuah lonceng kecil pada kalungnya. Berkali-kali ia menjadi sasaran tinju, namun kali ini tubuhnya tidak terlalu merasakan sakit. Hingga akhirnya secara perlahan ia berhasil bertahan dan membalas serangannya. Sarah pun terpental ketika lelaki itu berhasil meninju rahangnya. Sontak, Fadil pun langsung membuka penutup matanya, dan berlari menghampiri gadis itu yang sedang terkapar di tanah.

"Maafkan aku Sarah, sungguh aku tidak ada niatan melukaimu," ujarnya sembari meneteskan air mata.

"Jangan menangis sayangnku, aku mengerti. Lagi pula lukaku tidak terlalu parah," ujarnya sembari mengusap air matanya.

"Kalau begitu biar aku sembuhkan," ujarnya sembari merapatkan jarinya.

Pancaran energi Brajamusti, keluar dari telapak tangannya menyembuhkan luka memar secara perlahan. Seluruh luka di tubuhnya menjadi sembuh, tubuhnya terasa ringan seperti kapas. Gadis itu berdiri, lalu tersenyum manis kepadanya dan ia mencium keningnya.

"Terimakasih sayang, lukaku sudah sembuh sekarang. Ayo kita lanjutkan latihannya," ujarnya sembari menjulurkan tangan.

"Iya," timbalnya dengan singkat sembari meraih tangannya.

Selesai beristirahat latihan pun berlanjut, kini ia menebas samsak terbuat dari kayu, menggunakan dua bilah katana dengan bahan yang sama. Keringat menucur dengan derasnya, urat-urat mulai terlihat serta otot dadanya yang bidang, memancarkan pesona seorang pendekar. Sebelum mata hari terbenam, dia memanjat tebing seorang diri hingga sampai ke puncak. Sedangkan kedua gadis itu mengawasinya dari bawah. Singkat cerita malam pun tiba, mereka berlari mengintari pohon sembari beradu pedang dengan katana terbuat dari kayu.

Lalu mereka bertiga berlatih melempar suriken, melompat pohon dari satu pohon ke pohon yang lain. Walau malam ini turun derasnya, latihan terus berlanjut hingga waktu yang sudah di tentukan. Tak terasa, tinggal satu tahun lagi Fadil berlatih. Pemuda berbaring di atas rumput, sembari menatap langit biru. Dia sangat merindukan rumah dan juga keluarganya. Kemudian kedua gadis itu datang menghampirinya, mereka berdua ikut berbaring di sampingnya.

"Berbaring sembari menatap langit, memang paling nikmat," kata Sarah.

"Apalagi di temani secangkir kopi," ujar Fadil berbaring diantara mereka berdua.

"Andai bisa merasakannya setiap hari," ucap gadis berambut putih.

"Rasanya itu tidak mungkin, cepat atau lambat kita harus kembali. Lagi pula latihan Fadil sudah selesai, walau setahun lebih cepat."

"Iya kamu benar, setelah kita kembali aku harus mencukur rambutku."

Kemudian Luna pun melirik ke arah Fadil, lalu ia pun tersenyum manis kepadanya walau ia tak melihatnya. Dia pun teringat, perbincangannya dengan Sarah saat malam hari di bawah naungan cahaya api unggun. Sarah bertanya mengenai arti kata Darling yang sebenarnya. Luna dengan polosnya, memberitahu arti kata Darling tersebut. Darling merupakan sebutan romantis pada pasangannya, lalu ia menundukkan pandangannya.

Gadis berambut putih meminta maaf, karena dia merasa telah merebut Fadil darinya. Sarah pun bertanya, mengenai jadiannya mereka berdua lalu Luna menceritakan saat awal perkenalannya dengan Fadil. Dia tertawa terbahak-bahak, lalu ia menjelaskan bahwa itu hanyalah perkenalan biasa bukan peresmian dalam suatu hubungan khusus. Luna sangat malu, ia tersipu malu dengan raut wajahnya yang datar. Kini dia tau perasaan Luna yang sebenarnya terhadap orang yang ia cintai.

Sekali lagi, Luna meminta maaf karena sudah mencintai orang yang salah. Dengan petuah bijaknya dia berkata, bahwa tidak ada yang salah dalam mencintai seseorang, semua telah di atur oleh Sang Pencipta. Dan dia juga berkata, bahwa dirinya merasa tidak di rebut olehnya. Malahan ia merasa senang jika Luna benar-benar mencintainya. Luna pun heran mendengarnya, sebab setiap wanita di dunia ini akan marah jika orang yang dia cintai di rebut atau bahkan mendua. Sarah menatap ke arahnya, sorot matanya indah sembari tersenyum manis kepadanya. Lalu dia berkata.

"Sebelumnya, aku sempat berpikir seperti itu. Rasanya diriku bagaikan seekor harimau, yang ingin menguasai sebuah gunung untuk diriku seorang. Tapi diriku merasa seperti orang serakah, jadi kuputuskan untuk membaginya. Dua harimau dalam satu gunung, tidak buruk bukan? Lagi pula, gunung untuk kita berdua sangat luas. Jadi tidak perlu kamu pikirkan, walau kelak akan ada konlflik kecil," ujarnya dengan santai.

"Begitu rupanya, ternyata kamu gadis yang baik. Kukira, setelah mendengar pengakuanku kamu akan marah." Timbalnya membuat gadis itu tersenyum.

"Kamu terlalu melebih-lebihkan, masih banyak kesalahan dan keegoisanku yang sering ku perbuat."

"Jadi apa yang harus aku lakukan?"

"Setelah latihan ini berakhir, kamu ungkapkan saja perasaan cintamu pada Fadil. Sekalian aku ingin tau, sebenarnya siapa yang dia suka. Setiap kali dia memujiku, selalu saja di barengi olehmu."

"Itu benar," kata Luna.

Begitulah kilas balik ingatan Luna, saat menatap pemuda itu. Jantungnya berdebar begitu kencang, ia menarik nafas dalam-dalam lalu menghebuskannya. Secara perlahan gadis itu mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya. Kemudian Luna pun berdiri, lalu mereka berdua menatapnya.

"Fadil ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ucapnya sembari menundukan pandangannya dengan tersipu malu.

"Iya?" ujarnya sembari berdiri dan berhadapan dengan gadis itu.

"Sebelumnya aku minta maaf, kukira waktu itu kamu ingin menjalani ikatan khusus denganku. Ternyata itu hanya perkenalan biasa, sungguh bodoh diriku ini."

"Sudah jangan kamu pikirkan, setiap orang pasti melakukan kesalahan." Ujarnya memenangkan.

"Sayang diam! Dengarkan ucapannya sampai selesai," kata Sarah memotong pembicaraan.

"Sudah lama aku ingin mengatakannya, sebenarnya aku menyukaimu semenjak pertama kubertemu denganmu. Jantungku berdebar begitu kencang, setiap malam aku selalu gelisah memikirkanmu. Kupikir, aku tidak akan bertemu lagi denganmu. Tapi semenjak bertemu denganmu kembali, rasanya seperti sebuah ikatan takdir. Aku ingin berbicara denganmu, namun tak tau caranya. Dua belas tahun lamanya, hidupku selalu menyendiri. Berbicara dengan lelaki pun tak berani, dan juga aku bukanlah gadis sepurna seperti Sarah. Tapi rasa cintaku bukanlah suatu kebohongan, sungguh aku mencintaimu." Ujar gadis berambut putih mengungkapkan isi hatinya.

"Ingat, aku juga sangat mencintaimu walau kamu enggan untuk mengatakannya. Jadi diantara kami berdua, siapa yang kamu suka?" tanya gadis itu meminta kepastian.

Wajahnya yang merah padam, secara perlahan kembali seperti biasanya lalu ia membalikkan badan, sembari menatap ke depan dengan rasa bimbang. Dia tidak tau untuk siapa hati ini berlabuh. Setiap kali bersama Sarah, ia selalu teringat akan sosok Luna dan begitu juga sebaliknya. Jika memilih salah satu, maka kehidupan menyenangkan sebelumnya akan terasa berbeda. Juga dia tak ingin menyakiti salah satunya terutama diri sendiri.

Memilih, bukanlah suatu perkara yang mudah apalagi masalah hati. Pemuda itu merasa nyaman saat bersama mereka berdua. Berbeda saat kehidupannya semasa sekolah, yang penuh dengan penindasan dan ketidak adilan. Apalagi dia sama sekali, belum pernah merasakan yang namanya pacaran. Penolakkan sudah menjadi sarapan sehari-hari semasa sekolah. Para siswi, selalu memandang rendah dirinya karena sifatnya dan juga penampilannya yang culun.

Mereka, lebih menyukai sesuatu yang keren dan juga garang. Sedangkan kepintaran berada pada posisi ke dua, kecuali saat ulangan bisa setara dengan keriteria tersebut. Para siswa di sekolahnya membawa motor seperti Ninja, FU sedangkan dirinya hanya membawa motor supra putih. Di saat yang lain menikmati masa remaja dengan tawuran, nongkrong dan berfoto ria. Fadil menikmati waktunya di rumah, membantu kedua orang tuanya berdagang dan juga memainkan ponselnya.

Di saat yang lain, mendapatkan indeks prestasi yang tinggi. Pemuda itu hanya mendapatkan indeks prestasi yang standar. Jika dia tidak di ganggu dalam satu semester, biasanya dirinya mendapatkan peringkat tertinggi di kelas. Celana di penuhi oleh permen karet, bermandikan lumpur dan comberan serta kenangan buruk lainnya, membuat dirinya tak percaya diri. Dalam lamunannya, ia bercermin apakah ia pantas untuk di cintai. Sarah pun berjalan mendekat, lalu memegang pundaknya.

"Sudah katakan saja, kami siap menerima apapun jawabanmu." Ujarnya dengan tutur katanya yang lembut.

Pemuda itu mengangkat kepalanya, lalu ia berbalik badan menghadap kedua gadis itu. Sarah dan Luna pun terdiam, menunggu jawaban dari orang yang mereka cintai. Lalu, ia menyuruh kedua gadis itu untuk duduk berhadapan, sebab menurutnya perasaan lebih tercurahkan jika duduk berdekatan.

"Sebelumnya terimakasih, atas perasaan tulus kalian kepadaku. Aku sangat senang sekali, sebab ini pertama kalinya bagiku mendapatkan pengakuan cinta dari dua gadis sekaligus. Sejujurnya aku bingung, akan perasaanku yang sebenarnya. Ketika bersama Sarah, aku selalu memikirkanmu Luna. Dan di saat aku bersama Luna, aku teringat akan sosokmu Sarah. Sungguh aku ini lelaki labil bukan? Yang pasti, aku merasa nyaman saat bersama kalian berdua. Semenjak kehadiran kalian, hidupku penuh warna. Aku, bukanlah lelaki yang pantas untuk di cintai. Selama dua belas tahun, aku hanyalah seorang pesuruh. Uang pun aku masih minta, tampangku tidaklah tampan, dan semua yang aku miliki hanyalah pemberian. Sungguh diriku hanyalah seorang pecundang," ujarnya mulai berlinang air mata.

Tetesan air mata yang tulus, membuat kedua gadis itu ikut menangis. Hati mereka tersentuh, mendengar apa yang dia katakan. Lalu pemuda itu melanjutkan perkataannya.

"Sepertinya aku menyukai kalian berdua. Terdengar sangat gila bukan? Tapi akan lebih baik, jika kamu Luna bersama seorang lelaki yang lebih tampan dan kaya. Dan Sarah, mungkin bersama seorang bangsawan tampan di negeri kayangan. Setelah ini berakhir, sebaiknya kalian kembali ke tempat masing-masing. Mungkin di luar sana, akan ada lelaki yang lebih baik di bandingkan aku." Ucapnya sembari tersenyum.

Mereka berdua mengangkat tangannya, lalu menampar kedua pipinya agak kencang hingga Fadil pun terkejut. Kedua gadis itu menatap kesal sembari berlinang air mata, akibat apa yang telah dia ucapkan. Kedua pipinya merah serta sakit yang ia rasakan.

"Apa yang kamu katakan?! Kau tidak dengar, apa yang kukatakan saat di kamar dan kini kukatakan? Aku sangat mencintaimu. Setampan apapun bangsawan di kayangan, jika bukan orang yang aku cintai. Lebih baik aku mati, atau pergi jauh dari dunia ini dari pada aku bersama dengan orang yang tidak aku cintai!" kata Sarah sembari menangis histeris.

"Aku tidak pernah menikah selain dirimu Darling. Kaulah,satu-satunya pria yang aku cintai Darling," ucapnya sembari menangis histeris.

"Tapi aku ini hanyalah seorang pecundang, orang biasa tidak punya apa-apa selain dari pemberian, juga banyak kurangnya dalam diriku," timbalnya merendahkan diri sendiri.

"Tidak peduli seberapa pecundangnya dirimu, atau seberapa kurangnya dirimu. Aku akan selalu mencintaimu, sangat mencintaimu. Dengan sekuat tenaga kuberusaha untuk menutupi kekuranganmu," kata Sarah.

"Darling, aku juga punya kekurangan tapi jika bersama-sama kekurangan kita bisa tertutupi." Kata gadis berambut putih.

Kemudian mereka bertiga pun berpelukkan dengan sangat erat sembari menangis histeris. Berkali-kali kedua gadis itu berkata, "aku mencintaimu" sedangkan pemuda itu berkata, "Sarah aku menyayangimu, dan aku juga menyayangimu.Kalian berdua adalah orang yang paling aku sayangi" sembari memeluk mereka dengan erat. Fadil pun berjanji, bahwa ia akan membahagiakan mereka berdua dengan cinta dan ketulusan yang ia miliki.

Tangisan pun telah berakhir, berganti dengan tawa kebahagiaan. Mereka bertiga saling menggenggam tangan, lalu berbaring di atas rumput hijau menikmati waktu damai.