Keesokan harinya latihan pun dimulai. Fadil berlari dengan bertelanjang dada, tanpa alas kaki dan hanya mengenakan celana panjang putih, mengelilingi gunung yang luasnya hampir sama dengan Gunung Bromo. Dia berlari sembari menarik grobak, sedangkan Sarah berdiri di atas gerobak sembari memegang rotan. Setiap kali ia melambat, Sarah langsung mencambuknya dengan rotan. Keringat bercampur darah mulai menetes, kedua kakinya terasa sakit dan nafasnya pun ngos-ngosan.
"Ayo cepat jalan!" Perintah gadis itu dengan suara lantangnya.
Tak hanya itu, sembari berlari Fadil harus mengalirkan energi Brajamusti ke seluruh tubuhnya. Sekian lama ia berlari, pemuda itu sudah mencapai batasnya. Dia berhasil menyelesaikan satu putaran setengah. Raut wajahnya pucat, kedua kakinya gemetar sembari menahan sakit pada punggungnya. Dan akhirnya dia pun pingsan. Melihat hal itu Sarah tak tega melihatnya, namun latihan yang ia lakukan tak seberapa di bandingkan dengan dirinya dulu, berlari sembari membawa batu besar.
Kemudian, Sarah menjulurkan kedua tangannya lalu menyembuhkan luka dan sebagian staminanya dengan sihir penyembuh. Tak berlangsung lama Luna pun muncul, ia memberikan sebuah kendi kecil berisi air segar. Setelah pemuda itu siuman dari pingsannya, ia langsung meminumnya hingga habis. Latihan pun berlanjut, selesai melakukan push up sebanyak tiga puluh kali, kini ia berlatih pukulan dengan sebuah samsak terbuat dari kayu. Dia tak sendiri dalam berlatih, melainkan di dampingi oleh Luna.
Pengalamannya dalam berlatih Wing Chun, membuat gadis itu memberikan beberapa latihan dalam pukulan. Saat matahari mulai terbenam, Fadil berlatih tendangan dengan Sarah. Dia menendang ke samping, mengenai samsak yang di pegang oleh Sarah. Kedua tangan dan kakinya mengalami luka memar, namun ia terus berlatih hingga mencapai batasnya. Pada pukul tujuh hingga tengah malam, pemuda itu berlatih mengayunkan katana ke depan.
"Empat ratus sembilan puluh sembilan, lima ratus." Kata Fadil sembari mengayunkan katana ke depan, dengan raut wajah yang sangat kelelahan.
"Ayo lima ratus lagi," perintah Sarah menatapnya dengan dingin dan menusuk.
"Hah!"
Kedua tangannya gemetar, tubuhnya mulai mencapai batasnya namun ia paksakan hingga waktu yang sudah di tentukan. Selesai menjalankan latihan, ia berjalan sempoyongan lalu berbaring di dalam tenda, yang sudah mereka siapkan selama dirinya berlatih. Sedangkan kedua gadis itu tidur di tenda sebelah, walau sebenarnya mereka berdua ingin tidur bersamanya dalam satu tenda. Pagi pun telah tiba, dengan raut wajah mengantuk lelaki itu di paksa berlari mengelilingi gunung seperti yang ia lakukan kemarin.
Tiga bulan kemudian, di sebuah padang rumput yang luas berlokasi antara pegunungan dan hutan. Fadil yang hanya mengnakan celana hitam, melakukan push up dengan tangan mengepal. Panasnya sinar matahari, di tambah beban gadis duduk di atas punggungnya, membuat pemuda itu harus ekstra kerja keras mengangkat tubuhnya. Kedua tangannya gemetar dan lecet, namun ia terus di paksa untuk melakukan push up hingga tiga puluh kali.
"Satu..satu..satu," ujar gadis itu menghitung setiap gerakkannya.
"Dua woi! Dua!" ucap lelaki itu dengan jengkel.
"Yang ngitung siapa?"
"Sarah."
"Jadi terserah?"
"Sarah," jawabnya.
Latihan neraka itu terus berlanjut, hingga tiga tahun lamanya. Tangisan, serta rasa sakit yang ia rasakan sudah menjadi sarapannya sehari-hari. Rasanya ia ingin melarikan diri, menjauh sejauh mungkin dari api neraka yang menjalar setiap harinya. Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang berhembus. Itulah yang di rasakan Fadil selama menjalani latihan menuju tahun ke empat. Tidak ada pilihan lain, selain menjalaninya walau ia tak sanggup.
Setiap malam, lelaki berlari menuruni gunung di penuhi oleh pohon dan kabut. Tak hanya itu, terdapat banyak jebakkan yang siang menerkamnya kapan saja. Dia berlari, sembari membawa katana, khawatir ada binatang buas menyerangnya secara tiba-tiba. Selesai berlatih menuruni gunung, malamnya dia bermeditasi di bawah guyuran air terjun. Kedua matanya terpejam, sembari berkonsentrasi mengalirkan seluruh energi Brajamusti ke seluruh tubuh.
Secara perlahan tubuhnya menjadi hangat, dinginnya tetesan air tak ia rasakan. Namun ketika konsentrasinya buyar, air itu seketika menjadi sedingin es. Setelah pukul tiga dini hari, meditasi pun telah berakhir lalu ia pun tidur selama tiga jam.Tiga jam kemudian latihan pun kembali berlanjut, selesai berlari, push up dan berlatih tinju pada sebuah samsak kayu, kini Fadil berlatih tanding dengan Sarah. Kemahiran Sarah dalam melakukan taijutsu, membuat lelaki itu berakhir menjadi samsak hidup.
"Ayo bangun sayang! Daratkan satu pukulan pada wajahku," perintah Sarah pada pemuda itu.
Fadil pun bangkit, lalu ia berlari untuk melancarjan serangan balasan sekuat tenanga, hingga akhirnya dia berhasil mendaratkan lima pukulan pada perut dan wajahnya, hingga mengalami luka memar. Dengan sihir penyembuh milik Luna, luka mereka berdua seketika menjadi sembuh. Tiga tahun telah berlalu, rambut Fadil semakin panjang, kumis tipis mulai terlihat dan jenggot pun mulai memanjang. Sorot matanya yang tajam, bagaikan seekor harimau yang akan menerkam mangsanya serta tubuh yang atletis membuat kedua gadis itu mulai tergila-gila. Siang dan malam, walau hujan turun dengan derasnya pemuda itu terus berlatih.
Selama tiga tahun, Fadil juga diajarkan memanah, berkuda dan juga menggunakan senjata api. Banyak teknik berpedang, dan juga taijutsu yang ia kuasai. Hingga pada akhirnya pemuda itu berhasil menguasai Brajamusti tingkat tiga. Pemuda itu telah berhasil menaklukkan rasa sakitnya. Dia dapat menghancurkan targetnya, dengan api Brajamusti dalam jangkauan sekepal tangan. Bahkan, ia dapat melakukan tendangan api putaran tiga ratus enam puluh drajat. Selama latihan, dia tidak lupa akan tujuan utamanya yaitu menciptakan bumbu rahasia.
Di waktu senggang pemuda itu memasak lalu meracik seluruh rempah-rempah sesuai apa yang ia lihat di Youtube. Apa yang ia lihat, dia modifikasi sedemikian rupa hingga tercipta maha karya kuliner yang lezat. Singkat cerita malam pun tiba, kedua gadis itu mengobrol sembari menatap api unggun. Kemudian mereka menghirup aroma nasi goreng, mereka melirik pada seorang pemuda berambut panjang, membawa dua piring kayu berlapis daun pisang dengan nasi goreng di atasnya.
"Sepertinya lezat," Ujar Sarah sembari menatap nasi goreng di hadapannya.
"Itadakimasu," ucap Luna sembari memakan nasi goreng itu dengan tangan.
Sesuap nasi goreng masuk ke dalam mulut mereka. Citra rasa khas rempah-remah, tekstur yang pas membuat kedua mata mereka tak berkedip dalam beberapa saat. Rasanya mereka seperti menikmati hidangan surga. Kedua gadis itu memakan nasi goreng dengan sangat lahap. Saking lahapnya, mereka berdua terlihat seperti serigala yang kelaparan. Bahkan kedua gadis itu menjilati permukaan daun pisang hingga bersih.
"Jadi bagaimana nasi goreng buatanku?"
"Entah bingung harus bagaimana harus mengatakannya. Tapi ini sangat enak sayang," puji Sarah.
"Itu benar Darling, ini adalah nasi goreng terbaik yang pernah aku makan. Poin seratus," puji Luna sembari memberikan dua jempol.
"Jadi nasi goreng buatanku layak jual?"
"Layak jual, bahkan lebih dari layak jual. Rasanya nasi goreng buatanmu, tidak pantas bersaing di pinggir jalan." Timbal Sarah melebih-lebihkan.
"Nasi goreng bintang enam ini, pantasnya bersaing di ajang internasional."
"Kalian memujiku terlalu berlebihan, siapa tau di luar sana ada yang lebih lezat."
"Memang benar, mungkin di luar sana ada seseorang yang lebih hebat. Tapi jika Darling yang memasaknya, bagiku masakan Darlinglah yang terbaik setelah mamahku." Ujar Luna membuat raut wajah pemuda itu sedikit memerah.
"Iya betul apa yang di katakan Luna, sampai kapanpun buatan sayangku yang terbaik."
"Stop, sudah cukup sampai disitu. Jika terus di lanjutkan, bisa-bisa aku diabetes." Timbal lelaki itu sembari menutup wajahnya yang memerah dengan telapak tangannya.
Kedua gadis itu saling berpandangan, lalu mereka berkata bahwa mereka akan terus menggodanya hingga mati dalam kebahagiaan. Candaan mereka berdua membuat lelaki itu semakin salah tingkah. Sedangkan kedua gadis itu tertawa melihat tingkahnya. Selesai menikmati hidangan makan malam, Fadil meletakkan ketiga piring itu di atas tanah. Sekali tatap tiga piring kayu itu terbakar oleh api Brajamusti. Mata kanannya terasa seperti terbakar, menembakkan pancaran energi Brajamusti dari matanya.
Dia belum terbiasa, menggunakan api Brajamusti dari matanya. Kemudian Luna menetesi mata kanannya, dengan air jernih dari dalam kendi dan seketika matanya terasa sejuk. Tiga jam telah berlalu, api yang membakar tiga piring itu tak kunjung padam. Sarah pun menimbun api itu dengan tanah, tetapi api itu tak kunjung padam bahkan oleh air sekali pun. Fadil teringat, sosok kakek-kakek menggunakan jubah putih, menemuinya di alam mimpi.
Kakek itu berdiri menatap dirinya, duduk berdua di pinggir danau dengan air yang jernih. Kedua tangannya, memegang panci terbuat dari kayu sedangkan dirinya membalas senyuman sembari duduk bersila di sampingnya.
"Selamat, sebentar lagi kamu akan mencapai level puncak." Ucapnya memberikan selamat.
"Kakek ini siapa?" tanya Fadil.
"Panggil saya aku Aki. Aku ini adalah penjaga inti api bumi, sekaligus guru kakekmu," jawabnya memperkenalkan diri.
"Wow! Benarkah? Jadi ada perlu apa sesepuh kemari?"
"Kedatanganku kemari, hanya untuk memastikan inti api bumi tidak jatuh ke tangan yang salah. Tapi sepertinya dugaanku salah, rupanya muridku sudah menurunkan ilmunya pada orang yang tepat."
"Entahlah, aku hanya menjalankan amanat-nya saja. Saya juga ragu, apakah ilmu ini berguna nantinya? Dan untuk apa diriku berlatih selama ini?"
"Semua ilmu di alam semesta ini berguna, hanya saja belum waktunya untuk menggunakannya. Sebaiknya kamu jalani saja, jangan terlalu di pikirkan. Mengalir saja bagaikan air mengalir, lagi pula tidak ada ruginya juga bukan?"
"Iya benar, jadi setelah aku mencapai tingkat puncak kemampuan apa yang aku dapat?"
Sesepuh menjelaskan, bahwa ia bisa menembakkan api hanya dengan sekali tatap, layaknya Amaterasu pada salah satu serial anime yang ia tonton. Api itu tak akan pernah padam, kecuali pemilik Ajian Brajamusti yang mematikannya sendiri. Dengan cara sekali tatap, sembari membayangkan proses padamnya api. Tubuhnya sangat kebal terhadap senjata tajam, peluru, anak panah bahkan senjata sihir sekalipun. Kemampuan pasifnya, memiliki kemapuan daya penyempuhan yang luar biasa.
Daya magisnya, bisa menyembuhkan berbagai penyakit baik medis maupun non medis tentunya atas izin Sang Pencipta. Dan juga bisa meregenerasi luka luar dan dalam. Pemuda itu, tak percaya dengan apa yang sesepuh katakan. Dia menganggap, apa yang kini ia alami hanyalah bunga tidur belaka. Namun setelah apa yang terjadi hari ini, akhirnya ia pun percaya. Rasanya ia bagaikan seorang pendekar, di anugrahi kekuatan Dewa.
Kemudian ia memadamkan api itu dengan pancaran energi Brajamusti dari matanya. Secara perlahan api pun mulai padam, kedua gadis itu terdiam sembari menatapnya dengan terkagum-kagum. Mereka tak menyangka, latihan penguasaan Ajian Brajamusti sebentar lagi akan berakhir.