Chereads / Nisekai / Chapter 5 - Warisan

Chapter 5 - Warisan

Sisa umurnya yang sedikit, Sang Kakek ingin terus mendengar kisahnya. Andaikan dirinya berumur panjang, beliau ingin sekali menjadi saksi pernikahannya di masa depan. Dengan begitu, puncak kebahagiaan berhasil dia dapatkan.

Namun ekspentasi tak sesuai dengan realita, dan beliau pun sadar akan hal itu. Kini baginya, melihat senyumannya itu sudah cukup membuat Sang Kakek bahagian. Lalu dia bertanya, kepada Fadil mengenai rencananya setelah lulus.

Fadil pun memberitahu, bahwa dirinya kepikiran untuk berkuliah. Tapi dia sempat berpikir untuk bekerja, sebab dirinya ingin menjadi seorang pria mandiri yang bisa mengurus dirinya sendiri. Itulah yang ia katakan pada kakeknya, yang sedang berbaring lemah di atas kasur.

Kakeknya pun sangat bangga, mendengar pemikiran cucunya yang sudah beranjak dewasa. Dia yakin bahwa Fadil dapat melakukannya, juga menjadi seorang yang berguna di masa depan. Sebelum malaikat maut datang menjemput ada hal penting harus beliau sampaikan.

"Fadil mumpung kakek masih hidup, ada hal yang harus kakek sampaikan."

"Jangan berkata seperti itu kek, Fadil yakin kakek bisa sembuh,"ujarnya dengan berlinang air mata.

"Kakek tau, ini hanya sekedar untuk berjaga-jaga jika malaikat maut itu sudah berada di sini. Kakek harap, kamu bisa menyimaknya dengan baik," kata Sang Kakek sembari tersenyum.

"Baik kek."

"Suatu hari nanti, jika impianmu terwujud jangan pernah lupakan orang-orang yang sudah membantu mewujudkan impianmu cucuku. Bantulah mereka jika kamu mampu, juga kakek mohon bahagiakan kedua orang tuamu. Sebab kedua orang tuamu lebih banyak berkorban."

"Iya pasti aku lakukan kek."

"Oh iya ada satu lagi, yang harus kakek sampaikan padamu."

"Apa itu kek?"

"Apa kamu tau Ajian Brajamusti? Apa itu?"

Sang Kakek pun bercerita, bahwa Brajamusti merupakan ilmu kanuragan yang biasa di gunakan para pendekar zaman dulu untuk bertarung dan berperang. Siapapun yang memiliki ajian tersebut, maka dia akan memiliki kemampuan tinju yang luar biasa. Ada tiga tingkatan dalam penguasaan ilmu Brajamusti.

Pengguna Ajian Brajamusti tingkat pertama, kedua tangannya mengeluarkan sinar merah menyala. Ketika di pukulkan dan mengenai target, seperti besi maka besi tersebut akan bengkok. Jika pukulan tersebut mengenai manusia, maka kulitnya akan mengalami luka bakar yang tidak terlalu parah.

Pada tingkat yang ke dua, kedua tangan pengguna Ajian Brajamusti akan memerah seperti besi yang sedang di tempa. Jika pukulan tersebut mengenai target seperti besi dan baja akan meleleh. Dan jika terkena manusia, kayu dan batu maka di gambarkan seperti terkena lava panas yang baru keluar dari gunung berapi.

Selanjutnya adalah tingkat ketiga. Berbeda dengan dua tingkatan sebelumnya, pengguna Ajian Brajamusti pada tinggakan ini dapat menembakkan energi supranatural dari jarak jauh.

Jarak serangnya, hingga target terlihat seukuran kepalan tangannya. Maka jarak sejauh itu masih bisa terkena serangan ajian tersebut. Jika pemilik ajian tersebut, sudah mencapai tingkat tertinggi dari tiga level sebelumnya.

Pengguna Ajian tersebut, dapat mengenai target hanya sekali tatap layaknya serangan Amaterasu dalam serial Naruto. Bedanya, api Amaterasu berwarna hitam, sedangkan Brajamusti berwarna merah.

Selain itu kehebatan ajian Brajamusti, dapat menyembuhkan segala penyakit. Tentu saja semua itu atas kehendak Sang Pencipta. Begitulah penjelasan Sang Kakek pada cucunya.

Beliau sendiri telah mencapai tingkat tiga, dan dia ingin mewariskan ilmu tersebut kepada Fadil. Mendengar permintaannya ia pun terdiam, menimbang-nimbang apakah harus menerimanya atau tidak. Dirinya tak yakin ilmu itu akan berguna di kemudian hari, lalu kakeknya pun tersenyum dan ia pun berkata.

"Semua ilmu di dunia ini sangatlah berguna, hanya saja ilmu itu akan terpakai di waktu yang tepat. Jadi apa kamu mau menerimanya? Jujur saja, kakek sangat khawatir jika kamu tidak memilikinya."

"Kenapa Kek?"

"Di dunia ini ada banyak sekali pengguna ilmu supranatural. Mereka hidup diantara masyarakat normal, dan jarang untuk di temui. Juga banyak sekali penganut aliran hitam, melakukan berbagai kejahatan. Kakek khawatir impianmu akan terhambat, oleh orang-orang seperti mereka. Setidaknya dengan memiliki ajian tersebut, kamu bisa menjaga diri," ujarnya kepada cucunya.

"Baik kek, akan aku terima."

Mendengar hal itu kakeknya sangat senang, lalu dia menggenggam tangan cucunya. Beliau pun memejamkan mata, sembari berkonsentrasi memindahkan Ajian Brajamusti kepada cucunya. Kedua tangannya memerah bagaikan bara api, terdapat retakkan seperti lava yang akan menyembur keluar.

Fadil merasa tangannya seperti di aliri listrik, sama halnya dengan baterai ponsel yang sedang di isi daya.

Lima belas menit telah berlalu, cahaya di kedua tangan Sang Kakek mulai menghilang. Pemindahan Ajian Brajamusti telah sukses di pindahkan. Raut wajah Sang Kakek semakin pucat, dia menatap cucunya sembari tersenyum.

"Kunci untuk menguasai serta mengendalikan Ajian Brajamusti adalah keberanian."

"Keberanian?"

"Iya, keberanian membela yang lemah serta menegakkan kebenaran. Tapi jika kau tidak melakukannya, tidak masalah asal kau bijak dalam menggunakannya."

"Sungguh aku tidak mengerti perkataan kakek. Sekarang aku tidak merasakan apapun," ujarnya sembari mengepalkan kedua tagannya.

"Untuk merasakan energi supranatural, sempatkan waktu untuk bermeditasi. Sembari bermeditasi, jangan lupa untuk berzikir dan berkonsentrasi. Waktu yang paling baik untuk melakukannya adalah pada saat pukul enam pagi. Di waktu tersebut, energi alam yang keluar sedang tinggi-tingginya. Ingatlah pesan kakek yang kedua Fadil."

"Iya kek pasti Fadil akan lakukan."

Tiba-tiba tubuh Sang Kakek mulai mengejang, kedua matanya terbuka sangat lebar, serta raut wajahnya semakin pucat. Fadil pun langsung berlari, memanggil ibunya yang sedang berjaga di warung. Ibunya beserta beberapa warga, berlarian menemui Sang Kakek.

Beberapa warga berinisiatif memanggil mantri di kediamannya tak jauh dari sini. Sebelum menjelang akhir hayatnya, Sang Kakek berpesan agar dirinya fokus mewujudkan impiannya.

Mendengar hal itu Fadil pun menangis histeris, sembari memegang tangannya yang pucat. Dia pun berjanji pada Sang Kakek, bahwa dirinya pasti akan menjalankan amanat yang di berikan. Dan akhirnya Sang Kakek menghembuskan nafas terakhir.

Seluruh keluarga serta beberapa warga, yang mengingat jasanya menangis histeris. Mereka tak menyangka, Sunaryo pria yang di kenal baik hati dan dermawan menghembuskan nafas terakhirnya di usia 75 tahun. Orang yang menjadi tempat berkeluh kesah telah tiada, kedua cucunya merasa kehilangan.

Kedua orang tuanya, memeluk kedua anaknya dengan sangat erat.

Mereka berdua berkata bahwa mereka tidak sendirian. Masih ada mereka yang selalu peduli dan menyanginya sejak lahir. Namun tangisan mereka tak kunjung reda, malahan semakin menjadi-jadi.

Beberapa warga yang melihatnya merasa simpati. Mereka mencoba menghibur, dengan perkataan bijak. Walau tak berhasil mereda tangisan mereka berdua, setidaknya mereka telah menunjukkan kepeduliannya.

Satu persatu warga mulai berdatangan, mereka semua bergotong-royong mengurusi pemakaman. Kedua orang tua Fadil, tiada henti memanjatkan doa pada Sang Kakek yang sedang terbujur kaku di atas kasur. Kuburan telah selesai di gali, sudah saatnya bagi Sang Kakek untuk diantar ke tempat peristirahatan terakhir.

Ketika Sang Kakek di masukkan ke dalam liang lahat, Fadil pun menangis histeris. Dia tak kuasa, di tinggal oleh Sang Kakek.

Tina pun memeluk kakaknya, lalu menyemangatinya agar dirinya kuat menerima kenyataan.

Selesai menguburkannya, Fadil pun tak berhenti menatap batu nisan yang menancap di tanah. Air mata mengalir membasahi pipi, lalu ia mengucap janji di depan makam Sang Kakek bahwa dirinya akan mewujudkan impiannya.

Selesai mengucap janji, dia pun berjalan di dampingi oleh Sang Adik kembali pulang. Rasa duka yang menyelimuti dirinya tak terbendung, ia pun berjalan sembari meneteskan air mata.