~Ada banyak luka yang kau rasa.
Tapi ada begitu banyak cinta yang kau terima.
Bukankan sudah kubilang, bahwa Tuhan Maha Asyik?
Dia memberikan penawar yang sepadan untuk setiap luka yang kau rasakan.~
"Lei, kamu sudah tidur?"
Tidak ada jawaban. Gadis penggila seni itu masih betah bersembunyi di balik selimut.
"Yaudah, kalo kamu masih pengen sendiri. Kalo kamu butuh cerita, kamu tau kan, kemana harus cari aku, Lei?"
Nadhira hendak bangkit dari sisi ranjang, ketika tangan Leia tiba-tiba menahannya.
"Ra."
Wajahnya menyembul dari balik selimut bermotif katak.
"Apa?"
Nadhira tahu sahabatnya ini memiliki banyak sekali kisah. Tapi ia sama sekali tak ingin memaksa Leia bercerita jika itu membuat Leia tidak nyaman.
Kalau suasana hatinya membaik, Leia pasti akan bercerita panjang lebar dengan sedetail-detailnya.
"Mau kemana?"
"Sholat isya. Kenapa?"
"Ikut."
Dua gadis belia itu kemudian menyusuri lorong menuju satu kamar di bagian paling belakang, yang memang disediakan sebagai tempat beribadah. Hanya terhalang tembok setebal 10 inchi dengan taman kecil di belakang rumah.
Di sana, sudah ada dua mukena tersedia. Sementara di sudut ruangan, tiga Qur'an tersusun rapi, yang tiap harinya selalu berganti lembarannya.
Selepas wudhu, mereka segera memulai sholatnya. Seperti biasa, Nadhira yang menempati posisi imam.
**
"Ra, yang aku nggak ngerti sampe detik ini, kenapa sih, Papa harus jodohin aku sama sopir itu?"
Leia menyandarkan kepalanya pada bahu Nadhira yang tengah melipat mukena. Mengganggu pergerakan tangannya.
"Lei, pasti ada alasannya kenapa Papa minta Aryan buat nikahin kamu."
Nadhira menghentikan aktifitasnya.
"Iya, tapi apa alasannya? Kenapa harus dia?"
"Ya... Mungkin, Papa pengin mastiin ada yang Papa percaya buat jagain kamu setelah kepergian Papa."
Alasannya logis.
"Lho, aku kan punya kamu, Ra."
Leia menegakkan badan, lalu menatap sahabatnya.
Dan jawaban itu justru mendapat toyoran dari Nadhira. "Enak aja! Aku masih normal, Lei!"
"Dih!! Bukan itulah, Ra. Aku juga ogah kalo mesti nikah sama kamu. Amit-amit!" Leia mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri.
Gadis yang sama sekali tidak percaya dengan ramalan itu tertawa melihat tingkah konyol sahabatnya. Ia jadi bingung, kenapa bocah kekanakkan yang bersembunyi di badan gadis cantik dengan otak cemerlang itu bisa jadi sahabatnya.
"Maksud aku, Ra. Selama ini Papa juga kan tau, aku punya kamu, punya Bunda, Ayah. Apa lagi yang kurang? Kenapa harus libatin Aryan dalam kehidupan pribadiku?"
Nadhira menarik napas sebelum mulai berbicara. Sekarang dia mulai serius.
"Lei, bukan penjagaan seperti itu yang Papa maksud. Tapi, Papa ingin ada seseorang yang menjaga kamu sepenuh hati, selama 24 jam. Yang bisa mengerti dan memahami kamu luar dalam. Papa butuh, seseorang yang benar-benar bisa Papa percayai buat jagain harta berharganya ini."
Rianti yang sedari tadi memerhatikan dari balik pintu, akhirnya mendekat.
"Bunda boleh gabung?"
Tanyanya, membuat dua anak gadisnya menoleh serentak.
"Boleh dong, Bunda. Sini, duduk samping Leia."
Leia menepuk ruang kosong di sampingnya.
Wanita bersahaja itu tersenyum,
"Bunda duduk di tengah kalian saja. Biar ketularan aura mudanya."
Dan langsung mendapat pelukan dari mereka.
"Aah, Bunda. Bunda kan emang awet muda. Kita aja masih kalah cantiknya sama Bunda."
"Bunda mau cerita, boleh?"
Sorot matanya begitu teduh, menyalurkan berjuta ketenangan.
Keduanya mengangguk antusias.
"Dulu, Bunda ketemu sama Ayah waktu usia Bunda 16 tahun."
Leia dan Nadhira hening. Asyik menyimak kisah klasik orangtuanya.
"Bunda waktu itu masih sekolah menengah dan Ayah bekerja sebagai office boy di kantor tempat kakek bekerja."
"Jadi, Ayah dulu OB, Bun?" tanya Leia dan segera dibalas anggukan oleh Rianti.
Sebenarnya, Nadhira juga tak kalah terkejutnya dengan Leia mengenai masa lalu sang ayah. Hanya saja, gadis itu selalu berusaha mengontrol emosinya.
Rianti membenahi posisi duduk. Menyelonjorkan kaki tuanya yang cepat sekali merasa kesemutan.
"Bunda anak terakhir dari tujuh bersaudara. Jadi, pas Bunda seusia kalian, Kakek Nenek udah renta. Kakek berusia 70tahun dan Nenek 61 tahun."
"Bunda inget banget, setelah pensiun, Kakek jadi makin sering sakit-sakitan. Sedangkan di rumah ini cuman tinggal Bunda, Kakek, sama Nenek yang lumpuh setelah jatuh dari tangga. Saudara-saudara Bunda semuanya sudah punya keluarga sendiri sendiri. Paling, setahun dua kali main ke sini nengokin Kakek Nenek."
"Mungkin waktu itu Kakek terlalu memikirkan Bunda yang kerepotan merawat mereka. Padahal Bunda sama sekali enggak merasa direpotin. Akhirnya Kakek memutuskan buat ngenalin Bunda yang masih kelas 2 SMA sama seorang OB berusia dua puluh tujuh tahun."
Mata lentik Leia membulat, begitu juga Nadhira yang menganga.
"Bunda terima Ayah walaupun jarak usianya jauh begitu?" Leia begitu penasaran.
Alih alih menjawab, Rianti lebih memilih melanjutkan ceritanya.
"Awalnya Bunda nggak bisa terima sama keputusan Kakek. Bunda masih punya banyak cita-cita. Yang ada dipikiran Bunda, gimana nanti dengan impian Bunda kalau Bunda nikah diusia semuda itu?"
"Terus, Bun? Apa yang akhirnya buat Bunda luluh?" Nadhira tak kalah antusias.
"Bunda liat, Ayah memang lelaki yang baik. Ayah sering datang ke rumah jengukin Kakek. Sering ajak Kakek sama Nenek jalan jalan keluar rumah. Mendorong Nenek dengan kursi rodanya.
Karena memang manula seperti mereka butuh udara segar agar pikiran tetap semangat dan badan juga bisa lebih sehat. Sedangkan Bunda terlalu sibuk dengan urusan Bunda sendiri, jadi jarang bawa Kakek Nenek jalan jalan.
Kakek pernah cerita, kalo Ayah itu seorang yatim piatu dari kecil. Ayah besar di panti asuhan. Sejak usianya delapan tahun Ayah mengabdikan dirinya untuk melayani para manula di panti jompo dekat panti dimana Ayah tinggal. Itulah kenapa Ayah bisa telaten betul merawat Kakek Nenek.
Setelah tamat SMP, Ayah bekerja sebagai OB dan di sanalah Ayah bertemu calon mertuanya."
Pandangan Rianti menerawang, mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa kenangan yang menguap terbawa arus zaman.
"Bunda terima Ayah walaupun status sosial Bunda sama Ayah jelas jauh berbeda?"
Nadhira bertanya sambil sesekali melirik sahabatnya. Ingin tahu bagaimana reaksi Leia mendengar cerita Bunda.
Dan dijawab dengan anggukan oleh Rianti.
"Bunda juga nggak nyangka kenapa akhirnya Bunda bisa terima Ayah yang sama sekali bukan tipe pria idaman Bunda."
Rianti tertawa sebentar untuk kemudian berubah menjadi senyuman hangat, "Ayah hebat."
Nadhira bisa merasakan begitu besar cinta yang dimiliki Rianti. Terlihat jelas di manik matanya.
"Iya, Ayah memang lelaki yang hebat. Dia bisa menaklukkan hati Bunda."
Sahut Leia. Dan suara khasnya itu berhasil mengembalikan fokus Rianti. Tujuan utama mengapa ia menceritakan masa lalunya.
"Begitu juga Aryan, Lei. Dia berhak mendapat penerimaan dari kamu. Seorang ayah tidak akan sembarangan memilihkan pasangan seumur hidup untuk anaknya. Pasti Papa kamu sudah memikirkan banyak pertimbangan untuk keputusan sebesar ini.
Leia terdiam, wajahnya tertunduk dengan jemari yang memilin-milin ujung mukena.
"Leia percaya Bunda, kan?"
Tangan Rianti menyentuh dagu Leia. Membuat mata mereka saling bertatapan.
"Tapi, Bunda--"
"Lei, Bunda tahu ini berat buat kamu. Tapi coba kamu ikhlasin semuanya. Kenyataan ada bukan untuk dihindari, Lei. Kamu hanya perlu terima dengan hati yang lapang. InsyaAllah semuanya akan baik-baik saja. Kamu harus mencoba terima Aryan sebagai suamimu, bisa?"
Dan ruangan itu menjadi hening dalam waktu yang lama.
****
Malam menjelang tahun baru China, suasana kompleks yang mayoritas dihuni warga keturunan Tionghoa itu menjadi lebih ramai dari biasanya.
Mobil berbagai merk dari yang keluaran baru hingga model antik sekalipun hilir mudik memasuki perumahan elit di daerah Tangerang Selatan.
Ada dua satpam yang berdiri di pos jaga. Satu satpam bertugas mengambil lalu memeriksa kartu identitas yang disordorkan tamu, dan mencatatnya dalam buku catatan khusus sebagai prosedur keamanan yang diterapkan.
Dan satu lainnya bertugas menaikkan portal untuk memberi jalan kendaraan yang hendak masuk.
Tepat pada pukul sepuluh, mobil CRV hitam berhenti di pos jaga.
Kedua satpam itu lalu menyapa pengemudi di dalamnya dan membuka portal tanpa menanyakan kartu identitas. Mereka sudah hafal betul atau bahkan bisa dibilang akrab dengan si pengemudi, karena memang hampir setiap minggu mobil itu keluar masuk perumahan.
Sayangnya, ada yang terlewatkan oleh dua satpam itu. Mereka tidak menyadari bahwa bisa jadi orang yang dianggap akrab, justru yang akan menimbulkan kekacauan.
Mobil hitam dengan baret hampir di sepanjang badan mobil sebelah kanan itu berhenti di depan rumah kosong. Berjarak dua bangunan dari sebuah rumah bernuansa classic modern yang menjadi tujuan utamanya.
Sebelum keluar mobil, dipakainya jaket kulit, penutup muka, juga sarung tangan hitam yang diletakkan di jok belakang. Tak lupa juga diambilnya sebuah kertas yang sebelumnya sudah ia persiapkan.
Barulah si lelaki itu beranjak pergi dengan langkah tergesa setelah memastikan situasi aman.
Diambilnya secara sembarangan batu di halaman yang kemudian di bungkus dengan kertas yang ia bawa.
Semua terjadi begitu cepat. Secepat kilat menyambar, sebuah kaca pecah hingga berhamburan remukannya.
Pengemudi berkostum serba hitam itu langsung melesat pergi seiring teriakan yang menggema.
Malam itu, malam yang meriah berganti jadi malam yang penuh tanda tanya bagi penghuni di dalam rumah yang telah pecah kacanya.