Chereads / (Bukan) Kekasih Pilihan / Chapter 8 - Kepada Pria Yang Diami Sudut Gelap Dalam Hatiku

Chapter 8 - Kepada Pria Yang Diami Sudut Gelap Dalam Hatiku

~ Perihal perasaan yang datang tanpa di undang.

Aku bisa apa, jika ternyata cinta ini berlabuh pada hati yang telah kau miliki?~

Tepat pukul sepuluh lewat lima belas menit, ketika pria berkumis tipis itu tanpa sadar tertidur di sofa panjang di ruang tamu, suara gemeretak kaca tertimpa benda keras terdengar mengejutkan.

Aryan terlonjak. Beberapa detik kemudian memijit pelipis. gerakan tubuh yang terlalu terburu buru karena reflek, membut kepalanya berputar-putar.

Didetik selanjutnya, sakit di kepalanya lenyap begitu saja saat indera penglihatannya menangkap ada ribuan pecahan kaca yang berserakan di dalam rumah.

"Astaghfirullah! Ada apa ini?"

Sedikit terhuyung, Aryan mendekat pada jendela yang telah pecah kacanya.

Ada batu berbalut kertas di sana.

Hati-hati, diambilnya kertas pembungkus itu.

Rasa penasaran semakin menyeruak dari dalam dirinya.

Dan semakin bingung sekaligus khawatir setelah membuka lembar tersebut yang ternyata adalah sebuah pesan.

"APAKAH KAMU TIDAK MERASA ADA YANG JANGGAL DENGAN KEMATIAN TJANDRA?

WASPADALAH!

KARENA BISA JADI LEIA YANG AKAN JADI KORBAN SELANJUTNYA."

Tulisan tangan dengan tinta merah itu terbaca jelas meski kertas telah lusuh. Membuat darah dalam tubuh Aryan berdesir hebat.

Siapa yang menerornya?

Siapa yang memiliki masalah dengan dirinya dan Leia?

Otak Aryan kini penuh tanda tanya.

Di mana Leia?

Hingga terdengar ketukan pelan yang mengembalikkan kewarasannya. Dengan tergesa, dibukanya pintu utama dan tanpa aba-aba Aryan memeluk seorang gadis yang tengah berdiri di depan pintu. 

"Kamu kemana saja tidak ada kabar seharian? Kamu boleh benci aku seumur hidupmu, tapi tolong... Jangan buat aku khawatir kayak gini!"

Leia membeku. Begitu juga Nadhira.

Ada yang tidak benar di sini.

Cukup lama suasana menjadi canggung, sampai Aryan melepas pelukannya.

"Eh, Maaf, aku nggak sengaja." Matanya kini hanya tertuju pada sosok yang selama ini telah mencuri hatinya.

"Mba Nadhira."

Dan demi memutus kecanggungan diantara ketiganya, Nadhira berceletuk, "Aduh! Kayaknya aku salah deh, ada di sini! Lei, aku pulang aja, yah."

"Eeh, jangan dong, Ra. Kamu di sini aja." Tahan Leia sembari memegang lengan Nadhira.

"Iya, Mba. Sudah jam segini, nggak baik perempuan keluar malam-malam," pungkas Aryan turut menahan kepulangan Nadhira.

Semua penahanan itu membuat Nadhira semakin kehilangan jalan keluar untuk pelarian dari suasana tidak menyenangkan ini.

Ditambah tatapan mata Leia yang menyiratkan beribu permohonan.

Apa boleh buat, suka atau tidak Nadhira kini terpenjara pada rasa yang selama ini selalu ia hindari.

***

Adalah hari Ahad, gerimis yang tiada henti meriwis hingga petang menjelang.

Sedikit berlari, gadis kecil bergamis kuning dengan motif bunga meletakkan ransel merah muda-nya di atas untuk menghalangi kepalanya dari  tumpahan air langit.

Langkahnya terhenti di bawah pohon lebat di samping bangunan bercat merah dengan plang bertuliskan tulisan mandarin.

Delapan meter dari posisinya berdiri, anak gadis berusia sebaya berdiri menatap langit. Seolah hujan yang turun kian deras itu tidak akan pernah membuatnya merasa takut dan memutuskan untuk berteduh.

Dengan polosnya, Nadhira kecil menghampiri.

"Hujan-hujanan bisa buat kamu sakit." Polos gadis itu.

Ransel bergambar Elsa Frozen yang semula berada di atasnya, kini berpindah ke atas kepala gadis bergaun merah.

"Biar saja! Aku sedang marah pada Tuhan!" Tanpa menoleh, gadis itu menampik benda di atasnya. Membuat sang pemilik tas terkejut dan sedikit kecewa.

"Bunda bilang, kita tidak boleh marah untuk semua kehendak Allah. Karena Allah tahu yang terbaik buat kita."

Gadis dengan bandana berhias bunga itu menoleh ke lawan bicaranya.

"Tidak. Tuhan jahat! Tuhan ambil Mama dari Leia."

Tatapan matanya tajam, sarat akan kemarahan.

Nadhira mengembuskan napas, kesal. Kenapa gadis ini begitu keras kepala?

"Ayo ikut aku," Ajak Nadhira menarik tangan Leia.

"Kemana?" Leia masih bergeming.

"Kita Ngadu sama Allah. Kita cari jawabannya lewat sholat, kenapa Allah ambil Mama dari kamu."

"Sholat?"

"Kata Bunda, Sholat itu bisa membuat kita lebih tenang. Itu cara orang beriman untuk mengatasi amarah."

Alis Leia bertaut, "Iman itu... apa?"

"Iman itu, sesuatu yang membuat hati kita selalu merasa tenang." Nadhira menyentuh dada Leia.

Sorot matanya teduh, membuat siapapun yang melihatnya akan dengan mudah mengiyakan apapun yang dia katakan.

Tanpa memahami, bahwa keyakinan yang ia bicarakan, tak sama dengan kepercayaan yang ada dalam bayangan Leia.

Dua anak gadis dengan selisih usia hanya lima bulan itu berjalan sambil bergandeng tangan di bawah guyuran hujan, menuju bangunan sederhana di ujung gang. Tempat para hamba mengadu pada Sang Pencipta.

Pada Tuhan yang telah menakdirkan setiap pertemuan.

Pertemuan yang membawa mereka pada sebuah hubungan yang mengikat erat. Sebuah hubungan yang akhirnya membuat mereka menerima segala perbedaan.

Persahabatan.

Nadhira terduduk lesu di samping ranjang. Sementara di sebelahnya, Leia terlihat begitu lelap dengan buaian mimpi.

Mengingat kembali kali pertama ia bertemu dengan gadis rapuh itu. Gadis yang telah menyimpan sejuta kepiluannya sendiri sejak kecil.

Air mata menetes saling bersusulan. Semakin Nadhira coba menghentikannya, derasnya air mata semakin tak bisa ia tahan.

Rasa bersalah begitu setia menggelayuti hati dan pikirannya.

Ini tidak benar!

Sangatlah wajar jika Aryan begitu mengkhawatirkan Leia. Wajar jika saat bertemu, mereka saling berpeluk mesra.

Lalu, kenapa di sudut gelap dalam hatinya ada perasaan tidak terima?

Bagaimana bisa dia menyimpan rasa untuk suami dari sahabatnya sendiri?

Jika ada award untuk sahabat terjahat di dunia, pastilah Nadhira yang paling pantas menyandangnya.

"Astaghfirullah hal adzim...," gumamnya lirih, kemudian memutuskan untuk beranjak dari kamar. Dia butuh ketenangan.

Rumah yang besar dengan penghuni hanya tiga orang, juga lampu yang sebagian besar dipadamkan ketika malam, membuat rumah Leia menjadi terlihat suram untuk Nadhira.

Terlalu banyak sudut gelap dan tak terjamah kaki manusia.

"Ah, mikir apa sih, Ra?"

Nadhira menggeleng, coba menghalau pikiran-pikiran negatif yang menghantuinya.

Kedua kakinya lalu melangkah menuju tempat yang selalu ia tuju setiap berada di rumah Leia.

Nadhira bersyukur, karena meskipun almarhum Pak Tjandra dan Leia belum genap satu tahun menjadi mualaf, tapi sejak dulu mereka begitu menjunjung tinggi toleransi beragama. Sampai menyediakan ruang khusus untuk tamu muslimnya yang hendak beribadah.

Ruangan itu cukup luas, sekitar 4x4 meter, letaknya dekat taman di halaman belakang dengan sebuah air mancur di tengahnya.

Bangunan bercat putih kombinasi gold itu terpisah dari bangunan utama. Hanya setapak bebatuan yang menghubungkan sebagai jalan.

Tepat saat jemari lentik Nadhira menggeser pintu kaca, sekelebat bayangan terlihat di ujung taman.

Sejenak rasa takut menyeruak memenuhi hati dan kepalanya. Bayangan-bayangan buruk pada adegan film yang pernah ia tonton berputar-putar menghantui.

Terbesit rasa takut dan keinginan untuk segera lari menjauh.

Tapi tidak!

Gadis itu kemudian ingat bahwa dia punya Allah yang senantiasa menjaga dan mengawasinya.

Di ambilnya stick baseball di sudut ruangan.

Sembari terus melangkah dengan hati-hati, bibir mungilnya tanpa henti merapalkan do'a.

Tak putus harap bahwa Tuhan yang ia percaya tak akan membiarkannya terluka.

Semakin dekat dengan bayangan hitam, kengerian dalam diri Nadhira semakin bertambah berkali-kali lipat.

Lagi-lagi tidak! Gadis itu tidak mundur.

Sudah terlalu jauh dia melangkah, dan sudah tak ada kesempatan baginya untuk melarikan diri.

Saat jarak antara Nadhira dan bayangan itu cukup dekat, dengan sekuat tenaga gadis itu mengayunkan tongkat ke arah bayangan asing di depannya.

Sambil menutup mata, tanpa ampun Nadhira memukul-mukulkan tongkat itu pada sosok yang ternyata adalah seorang pria.

"Rasakan! Dasar maling!" Teriak Nadhira di tengah pukulannya.

"Allahu Akbar! Allahu Akbar!" Takbirnya, memohon kekuatan pada Tuhan di tengah embusan napasnya yang kian memberat.

Ternyata memukul orang bisa menguras tenaga sebanyak ini.

"Aduh! Mba. Ini saya, Mba!" Seru pria yang kini meringkuk, melidungi kepalanya dari pukulan Nadhira yang membabi buta.

"Mba Nadhira!! Berhenti, Mba. Ini saya, Aryan!"

Dan demi mendengar nama itu, tongkat yang semula tergenggam erat di tangan, meluncur begitu saja seiring Nadhira yang seperti kehilangan seluruh tenaganya.

"A-aryan?"

****

Suasana berbeda terlihat di ruang makan.

Meja yang biasanya hanya memiliki satu penghuni, akhirnya diisi oleh tiga anak manusia.

Leia melirik ke arah Aryan, ada banyak luka lebam di wajah tampannya.

Hah, tampan?

Leia menggeleng. Tidak setuju dengan sisi otaknya yang menganggap Aryan itu tampan.

Gadis itu beralih ke arah Nadhira. Sang sahabat yang hari ini mengenakan outfit simple tunik sederhana berwarna saleem dipadukan pasmina instan berwarna senada, kali ini lebih banyak diam dan menundukkan kepala.

Leia menggeleng. Tak bisa lagi dia menahan tawa yang sejak tadi mati-matian ditahan.

"Kalian itu kenapa, sih? Masih belum bisa lupain kejadian semalem?"

Bukannya menjawab, dua pasang mata yang bersebrangan itu malah saling bersitatap. Memicu debaran ganjil, yang anehnya debaran itu tidaklah asing bagi mereka berdua.

"Males ah diem-dieman begini!" seru Leia, beranjak dari kursi.

"E-eh, mau kemana, Lei?" Nadhira turut berdiri.

Ditariknya lengan Nadhira hingga berada tepat di depan wajah Aryan.

"Kayaknya kalian perlu maaf-maafan, deh. Gih!"

Pria itu berdiri.

Bingung harus bagaimana. Menjabat tangan Nadhira seperti keinginan Leia, dan membiarkan perasaan aneh itu menguasai dirinya.

Atau, tinggal pergi saja. Lupakan semuanya seolah olah tidak pernah terjadi apa-apa di antara dia dan Nadhira. Karena memang tidak pernah ada apa-apa di antara mereka. Hatinya saja yang tidak tahu diri, masih menyimpan kekaguman itu bahkan saat dirinya sudah beristri.

Sedikit ragu, Nadhira mengulurkan tangannya, "Maaf, Yan. Semalam aku pikir kamu maling."

Di sampingnya, Leia hampir saja kelepasan tertawa. Ternyata seorang Nadhira bisa berbuat konyol juga.

Namun buru-buru ia tahan ketika mendapat pelototan dari sahabatnya.

"Saya sudah maafin Mba Nadhira, bahkan sebelum Mba meminta maaf. Jadi, nggak usah di perpanjang lagi..,"

"Assalamu'alaikum."

Dua gadis itu saling bertatapan dengan perasaan bingung. Apakah semarah itu Aryan pada Nadhira?

Mengapa Aryan buru buru pergi? Dia bahkan tidak menunggu Leia maupun Nadhira membalas salamnya.