Hari ini kantor terlihat sibuk dari hari hari sebelumnya. Len's Publisher sedikit demi sedikit kembali menggeliat dan bangkit dari keterpurukan. Di bawah pimpinan Aryan dan Leia, dalam kurun waktu tiga bulan perusahan penerbitan itu sudah berhasil mencetak lima judul novel bergenre remaja berkat event-event yang mereka adakan diberbagai forum kepenulisan berbasis online.
Akhir-akhir ini, novel berisi kisah percintaan remaja yang dekat dengan kehidupan sehari-hari memang sedang banyak digandrungi para pembaca. Tentu saja pembaca berusia remaja pula.
Beberapa kali Aryan mengecek langsung ke bagian percetakan untuk memastikan semua dalam kondisi aman. Jangan sampai ada kesalahan cetak. Baik tulisan yang kurang jelas akibat kekurangan tinta atau human error, maupun karena mesin cetak yang tidak berfungsi semestinya.
Yah, dalam pekerjaan Aryan memang tipe perfectionist.
Di ruang yang berbeda, Leia terlihat sibuk membantu mengkoreksi hasil pekerjaan editor. Atau yang akrab disebut sebagai proof reader.
Sebagai seseorang yang menjabat sebagai pimpinan utama perusahaan, sebenarnya proof reader bukanlah tugas atau tanggung jawab Leia.
Tapi entahlah, hari ini gadis dengan kemeja panjang kebesaran berpadu celana bahan kulot itu ingin sekali menyibukkan diri.
Terbukti dari jam pertama masuk kantor, Leia sama sekali belum berhenti melakukan sesuatu. Ada saja benda yang tergenggam di tangannya.
"Makan siang, yuk."
Leia menoleh sebentar.
Ada Aryan berdiri tepat di sampingnya sekarang.
"Maaf, tapi aku masih sibuk." Leia kembali mengarahkan pandangannya pada layar pc.
"Ayolah... Ini sudah lewat jam dua belas siang. Aku tahu kamu itu gadis pekerja keras. Tapi aku juga nggak mau kalau sampai istriku jatuh sakit hanya karena asik bekerja."
'Istri? Cih... Yang benar saja!'
Leia mengumpat dalam hati. Kesal, mengingat bagaimana tadi malam Aryan memperlakukannya.
Sekarang tanpa rasa bersalah, pria itu masih berani memanggil Leia dengan sebutan istri?
Dasar pria!
"Kamu kenapa sih, Lei? Tadi pagi kamu cuma diem aja pas berangkat ke kantor. Dari tadi juga kamu susah banget di ajak bicara. Sibuk katamu. Dan sekarang, waktunya istirahat, kamu masih nggak mau juga. Kamu kenapa, sih?"
Leia menggeleng. Lalu melirik sebentar ke arah Firman, editor yang dari tadi berada di sebelahnya.
Gadis itu berusaha mengontrol emosi, jangan sampai amarahnya meledak sekarang. Meskipun kantor sedang sepi karena memasuki jam istirahat, dan Firman di sebelahnya juga memakai earphone sekarang. Tapi tetap saja, bagi Leia tidak etis rasanya membicarakan hal pribadi di tempat kerja.
"Lei. Ngomong, dong. Jangan diem kayak gini. Jangan bikin aku serba salah."
"Lei..."
"Leia...."
"Kaleia..."
"Kaleia Tjahyadi...."
Aryan terus memaksa sedangkan Leia tetap kekeuh tidak mau bicara.
Terus saja begitu sampai Leia jengah dan akhirnya angkat bicara.
"Apa sih, Yan? nggak inget semalam kamu gimana? Iya, kamu dateng nyamperin aku di kamar tamu. Tapi apa? Cuma bilang maaf terus 'mimpi yang indah ya, Leia' sambil belai kepala. Itu doang! Dan sekarang, kamu panggil panggil aku dengan sebutan istri? Dasar cowok nggak peka!!"
Leia mengatur napas. Lega akhirnya bisa meluapkan segala uneg-uneg yang terpendam sejak tadi malam.
Untuk sesaat Aryan diam terpaku, susah payah ia menelan ludah kemudian bersuara meskipun sebenarnya dia sendiri tak tahu apa yang harus dikatakan.
"Lei, Maaf. Tapi, kita ngobrol di luar aja, yuk."
Begitu juga dengan Firman yang buru-buru bangkit dari kursinya lantas segera mencari alasan agar terbebas dari awkward moment yang terjadi.
"Kak Lei, saya permisi ke kamar mandi dulu."
Lantas buru-buru pergi tanpa menunggu jawaban. Asal tahu saja, earphone yang sedari tadi bertengger di kepala sebenarnya tidak bersuara. Bagaimana bersuara, jika kabelnya saja tidak terhubung.
Bukan bermaksud untuk kepo, tapi kepalang tanggung pemuda duapuluh tahunan itu sudah mencium aroma-aroma aneh dari gelagat mereka berdua sejak tadi. Daripada rasa penasaran yang sudah menggunung itu semakin memuncak tanpa tahu kelanjutannya, tidak ada salahnya kan kalau dia ingin tahu sampai tuntas?
Yah, sengaja Firman pasang earphone sebagai formalitas agar dua bos yang sedang 'bermasalah' itu tidak merasah risih akan kehadirannya.
Kampret bener, kan kelakuan Firman?
**
Leia berjalan menyusuri lorong lantai dua dengan segenap rasa kesal yang masih mengganjal di hati.
Sepeninggal Firman dari ruang editor, Leia turut keluar meninggalkan Aryan yang masih melongo macam kambing dongo.
Gadis itu berhenti setelah mendengar selentingan perihal kehidupan pribadinya yang tengah menjadi santapan hangat para si pemilik mulut nyinyir.
Dan di sinilah Leia sekarang, berdiri di samping pintu sambil memasang telinga mendengar percakapan beberapa karyawannya.
"Benar, yah. Si supir itu semakin nggak tahu diri. Selaluu saja buntutin kemana Ibu Leia pergi."
"Mungkin, buat mastiin kalo bu Leia enggak mencari-cari informasi yang mengancam posisinya sekarang."
"Iya, bener juga. Dia pasti ketakutan kalau sampe bu Leia tahu yang sebenarnya terjadi. Wahh, bukan cuma pernikahannya yang terancam, tapi juga dia bisa jadi dipenjara!"
Dan semua percakapan itu membuat kepala Leia terasa mau pecah.
Entah kalimat sadis apalagi yang keluar dari mulut manis mereka, gadis itu sudah tak peduli. Dadanya sudah terlalu sesak dengan berbagai asumsi yang dibuatnya sendiri.
Buru-buru Leia mengambil langkah seribu. Tidak ada satu tempatpun di dunia ini yang bisa dijadikan tujuan ketika hatinya tengah kalut saat ini kecuali Nadhira.
Ya, Nadhira.
Gadis dengan tatapan teduh itu selalu mampu mencipta beribu kesejukan di hati Leia yang penuh keragu-raguan.
Sayangnya, ada yang luput dari penglihatan Leia. Sepeninggal gadis itu dari kantor, pria paruh baya dengan jas hitam khas mendekat ke arah segerombol karyawati itu.
Seraya menyerahkan amplop cokelat tebal, pria itu tersenyum penuh kemenangan.
"Kerja Bagus. Berkat kalian, hubungan Leia dan Aryan jadi bermasalah. Sebentar lagi, apapun yang dikatakan Aryan, pasti tidak akan pernah bisa Leia percaya."
***
"Lei, tunggu!"
Yang empunya nama tak menghiraukan.
Tak peduli jika Aryan terus membuntutinya sampai sejauh ini. Yang dia tahu, dia harus menambah kecepatan berjalannya agar bisa terhindar dari kejaran Aryan.
Rumah Nadhira yang berada di antara gang sempit, mau tidak mau membuat Leia memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan harus menyusuri jalan setapak sepanjang lima belas meter.
"Tunggu, Lei. Aku cuma mau kasih tahu kamu ini."
Aryan berhasil menjangkau, buru-buru dia menghentikan langkah Leia dan menggenggam pergelangan tangannya.
Satu tangan lainnya menyodorkan berkas yang sedari tadi dia genggam.
"Lei, pliss."
Jengah dengan semua paksaan Aryan, Gadis itu akhirnya mengalah.
Lagipula, siapa juga yang suka jika drama rumahtangga bersama suaminya menjadi tontonan gratis banyak orang sekitar?
"Apa?"
Walaupun cuma tiga huruf dengan ekspresi yang datar pula, tetap saja itu bisa dikatakan sebagai respon, kan?
Dan, yah walaupun cuma kata 'apa' setidaknya itu membuat senyum di wajah Aryan merekah dan kembali bersemangat.
"Aku tadi pagi lupa memberitahumu ini. Aku butuh tanda tanganmu di sini."
Ekor mata Leia mengikuti kemana arah jari Aryan menunjuk.
"Apa itu?"
Gadis itu masih mempertahankan ekspresi datarnya.
"Surat persetujuan. Aku butuh tanda tanganmu sebagai syarat uji lab forensik jenazah pak Tjandra," jelas Aryan begitu bersemangat.
"Uji forensik?!"
Lalu seluruh indera milik Leia tak lagi menangkap apapun yang tengah dibicarakan Aryan.
Fokusnya kini hanya tertuju pada adegan dramatis di depan mata.
__________________________