Jupiter menelan ludahnya dengan sikap yang terlihat gugup saat mendengar Putri menanyakan soal luka di pundak. Masalahnya ia tak memilikinya. Jupiter pun tersenyum dan memegang tangan Putri lagi.
"Kamu gak usah khawatir. Kakak gak pa-pa kok!" ujar Jupiter lagi masih tersenyum. Jupiter adalah pria yang manis, ia pintar sekali meluluhkan hati orang lain. Jupiter lalu meletakkan telapak tangan Putri di pipinya sambil menciumnya sesekali dengan senyuman manisnya.
Putri pun ikut tersenyum dan terus memandang Jupiter yang begitu mencintainya.
"Terima kasih,Kak," ucap Putri separuh bergumam. Kedua alis Jupiter naik bersamaan dan tersenyum lagi.
"Untuk apa?" Sebelah tangan Putri yang tengah memakai infus lantas memegang pipi Jupiter yang satunya lagi.
"Kakak selalu jadi penyelamat Putri. Putri sayang banget sama Kak Jupiter," gumamnya dengan suara lembut. Jupiter begitu terenyuh menatap Putri dan mendekat lalu mencium keningnya penuh kasih sayang. Terbersit rasa sakit di hati Jupiter saat Putri malah berterima kasih padanya daripada Ares. Tapi ia sudah berjanji pada adiknya akan mengakui itu. Hanya saja itu membuatnya sesak.
"Kata dokter, kamu bisa pulang nanti sore." Jupiter menarik selimut Putri untuk menyelimutinya. Putri tampak berpikir sejenak sebelum menarik napas lagi.
"Bisa gak, Putri nginep di rumah Kakak aja?" pinta Putri masih dengan suara lemah.
"Kenapa?" tanya Jupiter dengan kening mengernyit. Putri menggigit bibir bawahnya dan sedikit tersenyum aneh.
"Nanti kalau Papa tau, Putri diculik dan tertembak gimana?" Jupiter sedikit tertegun dan berpikir. Putri benar, orang tua mereka tak boleh tahu apa yang terjadi. Bryan Alexander bukan pria ramah jika anak-anaknya terluka. Tak cuma akan terjadi masalah yang lebih besar, namun juga Jupiter bisa kena getahnya. Harusnya ia yang menjadi perisai buat Putri.
"Uhm ... kalo gitu Kakak hubungi dulu Aunty Nisa untuk minta ijin." Putri tersenyum dan mengangguk.
"Bentar ya Sayang, Kakak keluar sebentar!" Jupiter berdiri lalu mencium kening Putri dan keluar untuk menelepon. Jupiter menghela napas berat dan kesal sambil mondar-mandir di depan ruang perawatan Putri.
Ia bahkan tak memasukkan Putri ke Celestial Royal Park Hospital agar tak bertemu Nathan Giandra yang sekarang menjadi wakil pimpinan rumah sakit besar itu. Jika tidak, Nathan pasti melapor pada Mars, ayahnya dan Bryan, ayah Putri.
"Shit ... Ares! Uh, gue harus gimana sekarang? Gue harus ngomong apa?" Jupiter dengan kesal menggaruk kepalanya lalu berdiri menyandarkan punggungnya di dinding. Bukan Deanisa yang ia hubungi tapi Ares. Jupiter masih cemas pada Ares. Adiknya itu belum memberi kabar sama sekali.
"Kenapa ponselnya malah mati?" gumam Jupiter mengernyitkan kening.
***
Tanpa ijin, Ares mengambil gelas wiski milik Andrew dan meminum minumannya. Sementara Andrew masih berdiri di depan sebuah dinding sambil membelakangi Ares dengan kedua tangan di pinggangnya.
"Apa kamu gila mencariku kemari?" ujar Andrew dengan nada kesal dan cenderung marah. Ares sudah biasa menghadapi Andrew yang kasar dan emosional jadi ia bersikap begitu santai.
"Salahmu kamu tidak mengizinkan aku datang ke rumahmu. Padahal aku membawa Nana Tantria bersamaku!" Andrew langsung berbalik dengan wajah marah pada Ares dan menendang meja di depannya sampai bergeser. Ares masih memegang gelas dengan bola mata mulai naik sedikit menengadah pada Andrew.
"Jangan bawa-bawa Nenekku!" tunjuk Andrew kesal pada Ares. Ares menaikkan ujung bibirnya melihat Andrew dan menghabiskan minuman beralkohol itu dalam sekali tegak.
"Nana Tantria juga Nenekku tapi dia terus menanyakanmu. Kapan kamu mau pulang?" Andrew makin kesal dan marah. Ia mengambil senjata dan mengarahkannya pada Ares.
"Pergi! Jangan pernah mencariku lagi!" Ares bergeming dan diam saja melihat Andrew yang bisa saja meledakkan kepalanya kapan saja.
"Kamu mau membunuhku?"
"Iya, aku akan meledakkan kepalamu, pergi dari sini! Ini bukan tempatmu!" moncong senjata itu bahkan sedikit diayunkan ke arah pintu tanda bahwa Ares harus pergi.
"Andy ..."
"Namaku bukan Andy!" hardik Andrew berteriak masih menodongkan senjatanya.
"Masa aku harus memanggilmu – Ardeth El Ardor! Yang benar saja!" sahut Ares mengejek. Andrew menyengir dan makin maju sampai ujung senjatanya menekan sisi kening Ares.
"Aku bilang pergi ... sebelum mereka melihatmu ada di sini. Atau aku sendiri yang akan melempar mayatmu dari jendela kecil itu ke jalanan di bawah, pilih!" Ares mengangguk dan mengangkat kedua tangannya. Ia pun berdiri dan tetap menghadap Andrew meski kepalanya masih ditodong senjata. Ia tahu jika Andrew tak segila itu akan membunuhnya.
"Kita tetap harus bicara!" Andrew menggelengkan kepalanya. Ia menjauhkan senjata itu dari Ares dan kembali mendekat.
"Kamu bisa menggagalkan misiku, Ares. Aku tinggal sedikit lagi bisa menangkap El Leon dan kamu menggagalkan rencanaku. Sekarang pergi dari sini sebelum aku benar-benar membunuhmu!" Andrew mendorong pundak Ares agar ia langsung berjalan ke pintu keluar. Ia bahkan tak peduli jika Ares mengaduh kesakitan karena bahunya yang terluka akibat tembakan.
"Aahkkk ... Jezz, Man!"
"Oke ... oke, aku keluar!" Andrew mendengus kesal dan Ares berbalik lagi pada Andrew saat ia di depan pintu.
"Terima kasih atas bantuanmu tadi sore. Putri baik-baik saja sekarang!" Andrew mendengus dengan ujung bibirnya terangkat sinis.
"Aku tidak peduli dengan kisah cintamu, Ares King. Jauhkan gadismu dariku!" Andrew langsung menutup pintu dengan menggesernya tepat di depan hidung Ares. Ares menarik napasnya dengan kesal. Andrew benar-benar tak bisa diajak bicara.
"Dasar polisi gila!" umpatnya sambil berjalan keluar dari koridor bar tersebut. Ares berhasil menyusup keluar klub dan menumpang sebuah taksi untuk pulang ke apartemen mewahnya.
DUA JAM KEMUDIAN
Ares meringis kesakitan saat membuka pad besar yang ditempelkan Mila di belakang pundaknya. Pad itu sudah penuh darah sama dengan pad yang sama ditempelkan di depannya. Meski luka telah dijahit tapi belum kering sama sekali sedangkan Ares bahkan belum istirahat pasca kejadian tadi.
Ares mengambil tisu dan menyeka sisa darah di bahunya sambil memandang dirinya di depan cermin besar di kamar mandi mewah miliknya. Setelahnya ia mencuci tangan karena ada bercak darah yang menempel.
Ares menyobek kertas pembungkus pad luka baru dengan menggigitnya lalu sedikit menyamping untuk menempelkan pad tersebut sambil melihat melalui refleksi dari cermin di depannya. Setelah selesai, Ares mengambil sekaleng gin and tonic lalu menarik pengaitnya sehingga terbuka. Ia langsung menegak minuman dingin itu sampai habis setengah kaleng.
Tak lama terdengar suara seseorang memanggil nama Ares dari dalam kamar dan semakin mendekat.
"Aku di sini!" sahut Ares menjawab panggilan untuk dirinya.
"Aku mencarimu kemana-mana, Sayang ..." ujar gadis yang memanggil Ares dan membesarkan matanya saat melihat Ares terluka di bahu tengah berdiri di depan cermin.
"Apa yang terjadi padamu?" Ares tersenyum dan mengambil tangan wanita cantik itu dan menariknya ke depan.
"Kamu baru pulang?" wanita itu tersenyum dan menyentuh pundak Ares yang sudah terbalut pad.
"Apa kamu tertembak?" Ares makin mendekat dan menarik pinggang si gadis makin dekat padanya.
"Itu tidak penting," gumam Ares lalu mencumbu dengan agresif gadis yang sekarang sedang dikencaninya, Elliot Reiss. Elliot melingkarkan kedua tangannya di pundak Ares dan membalas ciuman panas itu dengan permainan lidah yang disukai Ares.
Tak butuh waktu lama bagi Ares untuk segera bergairah dan mulai menjelajahi dari rahang sampai leher Elliot seperti vampir yang kelaparan. Ares bukanlah pria yang sabaran. Ia bisa saja menggendong atau menarik si gadis ke kamarnya. Tapi sambil mencium dan menggigit kecil, ia memilih untuk meremas dua bukit kembar milik Elliot bersamaan, di dalam kamar mandinya.
"Uhh, Ares ..." Elliot melenguh dan mengelinjang bersamaan dengan Ares yang mulai memasukkan tangannya ke dalam rok Elliot. Setelah membuka memeriksa Elliot memakai pakaian dalam seperti apa, Ares menarik tangannya kembali dan memasukkan tiga jari ke dalam mulut Elliot untuk dilumasi lalu dengan cepat memasukkan jemari itu ke dalam milik Elliot.
Elliot menggelinjang hebat sampai menekukkan lehernya ke belakang sementara satu tangan Ares yang lain sibuk membuka pengait celananya. Ares menaikkan Elliot ke atas konter cermin dekat basin wastafel lalu menurunkan sedikit celananya. Sebelah tangannya masih berada di dalam milik Elliot sedangkan satunya lagi mengambil kondom dengan cepat, merobek dengan mulutnya dan memasang kurang dari 5 detik.
Ares langsung mengentakkan miliknya pada Elliot setelah melepaskan jemarinya. Erangan Elliot adalah musik yang indah di telinga Ares. Ia terus bergerak dengan cepat pada Elliot yang sudah sampai di puncaknya.
Sebelah tangan Ares menopang pada cermin sedang sebelah lagi menarik pinggang Elliot agar ia tetap pada posisinya. Mata Ares menatap tajam pada cermin di belakang Elliot sebelum ia kemudian menunduk dan siap melepaskan hasratnya.