Di kantor OSIS sedang dilaksanakan rapat penting untuk menghadapi lomba mading SMA tingkat provinsi. Kaka, sebagai ketua terlihat memimpin rapat untuk menyaring pendapat para anggota sebelum memutuskan konsep dan teknisnya. Beberapa anggota mengikuti secara seksama dan serius.
"Lalu, konsep apa yang harus kita usung?" Kaka menawarkan ke anggota rapat. Tak ada jawaban. Suasana hening sesaat. Hanya suara kipas angin yan terus berputar di dinding dekat bagan struktur organisasi.
"Ini lomba cukup bergengsi, karena tiap tahun dan sudah ada sejak lama sekali. Kalau ikut, kita harus benar-benar siap," sekali lagi Kaka memandangi sekitar 7 anggota rapat.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu tiga kali dan Aruna masuk ke kantor OSIS. Semua peserta rapat melempar pandang ke Aruna. Ia terkejut, tidak menyangka kalau ada rapat.
"Oh, maaf mengganggu. Aku tidak tahu kalau lagi rapat," Aruna tersenyum kemudian memalingkan badan hendak keluar kembali. Namun, Kaka dengan gesit memanggilnya.
"Aruna...bisa duduk bersama kita sebentar," rayu Kaka.
Siswi jurusan bahasa itu memandangi satu per satu wajah anggota OSIS yang ada di ruangan itu. Ia agak ragu, karena memang bukan pengurus. Namun, Kaka mempersilakan duduk dan bergabung.
"Oke, rapat kita lanjutkan lagi. Mungkin kita bisa mintakan pendapat dari Aruna karena biasanya dia ini tidak pelit ide," ujar Kaka dengan menjelaskan pembahasan rapat tentang persiapan lomba.
Aruna pelan-pelan mengatur tempat duduknya. Sebenarnya ia ragu untuk ikut nimbrung karena khawatir dicap sebagai orang sok pintar. Tapi karena itu demi kebaikan sekolah, Aruna berkenan menawarkan idenya.
Gadis yang suka menulis sastra itu, secara rapi merangkai kalimat per kalimat untuk menjelaskan usulannya kali ini. Bukan hanya secara verbal, bahasa tubuh Aruna saat menjelaskan menarik perhatian orang-orang, terutama kaum laki-laki. Nyaris semua mata anggota OSIS tertuju ke arah Aruna. Indah bibirnya saat berbicara, gerakan tangannya yang lentik membantu mempertegas kalimat yang terucap.
Kaka yang duduk di depan Aruna terpukau dengan kecerdasannya. Matanya enggan berkedip dan terus memandangi kakak kelasnya yang cantik itu. Ia membayangkan jika Aruna menjadi kekasihnya. Tentu, ia tidak akan kesulitan dalam menjalankan organisasi OSIS.
Sebenarnya Aruna memang menjadi idola di sekolahnya. Tapi baru kali ini, ia benar-benar melihat langsung keindahan gadis itu cukup lama. Di depannya. Selama ini, Kaka sibuk berorganisasi. Entah kenapa, konsentrasi Kaka lenyap, benaknya penuh membayangkan Aruna.
"Jadi, kita bisa usung konsep natural alam. Semua bahan yang kita pakai dari alam seperti daun, pelepah pohon dan lainnya. Ramah lingkungan. Isunya sesuai tema dari panitia. Begitu, teman-teman," Aruna menutup kalimatnya.
Anggota rapat mengangguk paham dan setuju dengan ide Aruna. Namun, Kaka masih belum tersadar dari lamunannya. Pandangannya masih terpatri ke wajah Aruna.
"Bagaimana, ketua?" tanya Aruna. Kaka tampak gugup dan tanpa sadar mencoba mencari bolpoin.
"Oh, iya, itu ide yang bagus. Saya setuju," Kaka tersenyum imut sambil melirik kanan kiri anggotanya. Ia masih salah tingkah.
***************
Di bawah pohon tabebuya, trotoar depan sekolahan Aruna dan Kaka sedang menikmati sore hari selepas bel pulang berbunyi. Tidak seperti biasanya, keduanya terlihat kaku.
"Kenapa aku tidak menyadarinya dari dulu ya. Kamu selalu ada ketika OSIS membutuhkan sesuatu," Kaka mencoba membuka obrolan.
"Mading bisa ramai karena karyamu. Dan, idemu selalu mencerahkan kalau kita di OSIS sedang menemui jalan buntu," kini Kaka menoleh menghadap Aruna.
Mereka saling pandang sejenak, kemudian Aruna menunduk.
"Aku yang terimakasih, OSIS telah memberi ruang. Sehingga karyaku menemukan apresian," Aruna memainkan tali tas pinggangnya.
"Karena memang puisi-puisi itu yang selama ini menjadi teman hidupku," suara Aruna melirih.
Kaka yang mendengar kalimat itu menoleh ke Aruna dan mengernyitkan dahi. Ia hendak bertanya maksud dari kalimat itu. Namun, Aruna keburu pamit untuk pulang.
"Aku pulang dulu ya. Sampai jumpa besok," tangan Aruna melambai.
Matahari sore menerobos ranting-ranting pohon tabebuya. Beberapa bunganya jatuh di atas trotoar, tempat Kaka berdiri memandangi Aruna yang menjauh.
--------nantikan kisah selanjutnya....