Di ruang OSIS sejumlah siswa sedang sibuk mempersiapkan lomba majalah dinding (mading) tingkat provinsi. Ada yang menata materi, sebagian ada yang berdiskusi materi mana yang layak untuk ditampilkan.
Kaka sedari tadi menampakkan wajah serius. Ya, karena dia adalah ketua OSIS yang harus bertanggungjawab penuh atas kesiapan keikutsertaan lomba kali ini. Beberapa kali, dia memberi arahan dan menjawab pertanyaan diskusi sekaligus.
Tak bisa disembunyikan, Kaka begitu lelah fisik kali ini. Dia membutuhkan tenaga dari siswa lain untuk diperbantukan dalam persiapan. Dalam benaknya, Aruna mestinya ikut, karena yang tahu persis konsepnya adalah gadis itu.
"Aku keluar sebentar," kata Kaka tiba-tiba ke semua anggota OSIS yang ada di situ.
Sebenarnya dia ingin pergi nyamperin Aruna dan mengajaknya gabung di ruang OSIS. Langkahnya cepat ke arah kelas jurusan bahasa.
"Kamu tahu Aruna dimana?" tanya Kaka.
"Waduh, kayaknya lagi di taman. Biasanya di situ kalau jam istirahat," jawab Agatha, teman sekelas Aruna.
"Oke, terimakasih ya," Kaka tersenyum lalu pergi dari kelas. Agatha juga ikut tersenyum, karena siswi berbadan gemuk itu juga mengagumi Kaka.
Di taman sekolah cukup ramai. Beberapa siswa menghabiskan jam istirahat di situ. Ada yang asik duduk di bangku, ada juga yang berdiskusi dan sebagian lagi bermain dan bersantai.
Kaka melihat Aruna sedang duduk di sebuah bangku sudut taman, di bawah pohon mangga. Tapi dia tidak sendirian. Barry terlihat di depannya dan mengajak ngobrol Aruna.
Bodo amat bagi Kaka, dia tetap menghampiri Aruna. Selain demi OSIS, dia juga tidak suka Aruna dengan dengan cowok sombong itu.
"Aruna, maaf aku mau bicara," sapa Kaka tanpa peduli dengan Barry.
"Iya, ada apa, Ka?" jawab Aruna santai.
"Jadi begini, ini teman-teman OSIS lagi nyiapin lomba mading, bisa bantu gak, biar bisa sama dengan ide kamu itu?" Kaka berharap.
Bukannya Aruna yang menjawab, eh, Barry yang nyolot. Dia langsung berdiri dan berhapan dengan ketua OSIS itu.
"Bisa gak OSIS itu mandiri? Jangan cuma bisa ngerepoti yang lain," Barry berucap ketus.
"Di sekolah sini tidak ada kata orang lain. Semuanya sama, satu identitas, kecuali anak baru. Kamu," Kaka maju satu langkah lebih dekat Barry.
Dengan sigap Aruna mengambil tindakan. Dia langsung berdiri di tengah antara Kaka dan Barry.
"Stop. Apa-apan sich kalian. Malu dilihat yang lain. Satunya ketua OSIS dan satunya anak kelas tiga udah senior. Udah mundur semua," desak Aruna. Dan, Kaka memilih mundur dan pergi setelah memandangi melirik Barry dan Aruna.
********
Kaka membuka pintu ruang OSIS agak keras, karena masih merasa kesal dengan siswa baru yang sok itu. Selebihnya Kaka memang cemburu kok bisa Aruna cepat akrab dengan penulis sialan itu.
Semua yang ada di ruang saat itu kaget dan terkejut melihat wajah Kaka yang kusut. Namun, mereka tidak berani mempertanyakan, hanya saling pandang dan mengernyitkan dahi.
"Semua, sedikit santai saja. Kalau capek bisa istirahat. Kita jangan kebawa panik nanti hasilnya malah tidak maksimal," Kaka menjatihkan tubuhnya di kursi. Dan, anggota OSIS memelankan ritme kerjanya.
Tak selang lama, Aruna menyusul masuk ke ruang OSIS. Dia berjalan santai dan langsung menghampiri Kaka.
"Aku siap bantu teman-teman," katanya tak pakai basa-basi.
"Semoga tidak keberatan. Terimakasih," Kaka sudah kehilangan mood. Tapi dalam hatinya, ia senang dan lega Aruna ada bersama di situ.
Kaka kembali berdiri dan memberikan beberapa instruksi. Lama-kelamaan mood-nya kembali normal. Beberapa kali dia mencari perhatian Aruna dengan bercandaan. Suasana di ruang OSIS pun kembali ceria.
---------bersambung--------