Chereads / Eliminate A Curse / Chapter 4 - Eps. 3

Chapter 4 - Eps. 3

Perjalanan mengitari kampus sudah berakhir. Sekarang semua mahasiswa tengah beristirahat di kantin, termasuk Emely, Roland, Alice, Lucy, dan Carlos. Mereka sudah sibuk dengan santapannya masing-masing.

"Ini sangat lezat!" Carlos, pemuda asal Rusia itu sampai menyeruput makanan yang bercampur mi dengan keras dan meminta tambahan lagi. Hal itu membuat yang lain menatapnya dengan menahan tawa.

"Kalau kau ingin makan itu lebih banyak, datang ke rumahku saja. Jangan sampai kau mempermalukan kita di sini!" desis Lucy menyenggol lengan Carlos karena dia terlihat sangat kampungan.

"Memangnya di sini kau tinggal di mana, Car?" tanya Alice, karena ia sudah tahu sedikit cerita tentang Carlos yang mengatakan dirinya hanyalah pendatang di negeri ini.

"Di rumah pamanku, daerah Galway."

Emely hanya menyimak pembicaraan mereka tanpa ada niat untuk bergabung. Ia kelihatan sedang dalam posisi tidak nyaman karena sesuatu yang sedari tadi ia rasakan. Gadis itu terus memijat pelan pada pergelangan tangan yang terasa pegal, lebih tepatnya pada bagian tanda lahir. Ia tidak tahu kenapa pergelangan tangannya bisa sepegal itu. Bahkan, sekarang rasa pegal itu berubah menjadi rasa sakit yang mulai menghantam.

Auwh ... kenapa ini? Sakit sekali ....

"Apa kalian tidak ingin tahu tempat tinggalku dan Emely, hah?" kilah Roland memasang wajah masam dan merangkul Emely dengan sunggingan percaya diri.

Carlos, Lucy, dan Alice saling menatap satu sama lain setelah melihat tingkah Roland barusan. "Apa kalian berdua tinggal satu rumah?" pekik Lucy mendelik.

"Tidak, kita tinggal di apartemen yang berdekatan. Iya, 'kan, Sayang?" cakap Roland lalu menarik dagu Emely untuk menolehkan wajahnya agar lebih dekat. Emely hanya mengangguk tanpa peduli apa yang dibicarakan. Dia masih sibuk menahan rasa sakit dan berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja.

"Kalian sepasang kekasih?" tanya Alice memastikan. Roland mengangguk dengan cepat, tapi tidak dengan Emely. Sepertinya dia tidak mendengarkan pertanyaan Alice tadi dan itu malah membuat Alice tertawa terbahak-bahak.

"Lihat, Emely tidak sependapat denganmu, berarti kau hanya mengaku-aku saja menjadi kekasihnya."

"Astaga! Kau harus banyak belajar dariku. Walaupun diriku ini masih tidak laku, setidaknya aku tidak mengaku-aku menjadi pacar orang sepertimu," pungkas Carlos diiringi tawanya yang mengejek.

Sedangkan, Emely hanya memberi cengiran kuda dan mengangguk-angguk sebagai respons seadanya. Ia masih melakukan pemijatan pada pergelangan tangan dengan kencang. Namun, itu sia-sia. Kini pergelangan tangannya malah terasa panas dan Emely mulai panik karena hal itu. Dia hanya bisa mengibas-ngibaskan tangannya untuk memberi angin.

Kedua alis Roland menyatu setelah melihat raut gelisah di wajah kekasihnya, apalagi mendengar napas Emely yang menderu sangat cepat. "Em, kau kenapa? Kelihatannya kau sangat tidak tenang."

"Eumh ...." Sejenak Emely memejamkan mata karena cemas, kenapa lidahnya kaku sekali untuk berucap? Rahangnya juga mulai mengeras demi menahan panas. Tanpa sadar, Emely mengangkat tangan hanya untuk memberi tiupan.

"Ada apa dengan Emely? Kenapa dia seperti itu?" Lucy merasa aneh.

"Aku ke toilet dulu!" Emely langsung berlari cepat, ia tidak memedulikan orang-orang yang ditabraknya secara tak sengaja. Ia juga hanya berlari tanpa arah karena lupa letak toiletnya ada di mana. "Ck, ayolah!" ruah Emely menyemangati diri sendiri.

Akhirnya gadis blasteran itu bisa bernapas dengan lega setelah tangannya mendapat guyuran air kran. Air itu terus membanjiri pergelangan tangan dalam waktu yang lama, itu membuat Emely tenang karena rasa panasnya mulai menghilang.

Tatapan gadis itu terkunci pada tanda lahir yang memerah akibat rasa panas tadi, ia sama sekali tidak curiga bahwa panas itu bersumber dari tanda lahirnya.

Hari ini Emely merasa sangat kacau karena keanehan-keanehan yang terus datang. Ia sampai menyandarkan badan pada dinding dan merenungi sesuatu yang membuatnya terus berpikir.

"Kenapa akhir-akhir ini diriku terlihat aneh?" Helaan napas terdengar sangat lemas, semua keanehan itu membuat Emely tersiksa.

Getaran ponsel dari saku celana berhasil membuat sang empu tersadar untuk tidak larut memikirkan itu semua. Emely segera mengecek ponselnya dan ternyata itu dari Jack.

"Halo, Yah. Aku sangat merindukanmu. Bagaimana kabar Ayah di sana?"

"Akhirnya Ayah bisa mendengar suaramu. Ayah baik, Em. Kau sendiri bagaimana?"

"Syukurlah kalau Ayah baik-baik saja. Aku juga baik, Yah."

"Sekarang kau sedang di mana, Em? Ingat, kau harus hati-hati di sana."

"Aku masih di kampus. Ayah tenang saja, aku pasti bisa jaga diri."

"Baguslah kalau begitu."

"Iya, Ayah juga jaga kesehatan di sana."

"Ya sudah, Ayah hanya ingin mengetahui kabarmu saja. Ayah sayang padamu."

"Oke. Aku juga sayang Ayah."

Setelah mengakhiri panggilan dari ayahnya, Emely segera keluar. Namun, baru saja ia sampai di pintu toilet, Roland sudah mengejutkannya.

"Astaga! Kau membuatku terkejut," sentak Emely spontan menghentikan langkah. "Dari tadi kau di sini?" lanjutnya.

"Iya, aku takut terjadi sesuatu padamu. Kau tidak apa-apa?" Tangan Roland sampai menyentuh kening Emely hanya untuk memastikan suhu tubuh gadis itu, dia terlihat sangat khawatir.

"Kau ini berlebihan," celoteh gadis itu sembari menurunkan tangan Roland dari keningnya. "Kau jangan cemas, aku baik-baik saja."

"Tapi ... wajahmu terlihat pucat, Em."

"Ah, sudahlah. Ini waktunya kita masuk kelas, ayo!" Emely menarik tangan Roland begitu saja.

ΦΦΦ

Emely dan Roland sudah memasuki daerah fakultas yang mereka minati, yaitu Fakultas Teknik. Ternyata di sana juga ada teman-temannya yang lain dan mereka mengambil program studi yang sama. Namun, Roland dan Emely ditempatkan di kelas yang berbeda.

Kegiatan dilanjutkan dengan sesi perkenalan bagi semua mahasiswa baru di kelas masing-masing. Seperti sekarang ini, Emely sudah berdiri karena ditunjuk sebagai orang pertama yang harus memperkenalkan diri. Namun, netranya malah melihat seseorang yang beberapa jam lalu menabraknya, ternyata Emely satu kelas dengan pria itu.

Dari tempat duduknya yang berada di pojok bagian belakang, Emely terlihat ragu-ragu untuk berjalan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, semuanya terlihat normal sebelum gempa kecil itu datang menyerang.

Penghuni kelas panik karena terkejut dengan getaran yang membuat ruangan itu bergoyang. Pajangan pada dinding pun sampai berjatuhan, meja-meja terguling tidak bisa ditahan, dan pastinya semua orang menjerit ketakutan saling berpegangan sambil merunduk melindungi diri dari benda-benda yang berjatuhan.

"Arrghhh!"

"Ada apa ini?"

"Gempa!"

Sementara Emely masih tetap berjalan tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Ia mengepalkan tangan muak dengan tatapan tajam, karena lagi-lagi ia membuat semua orang terancam. Emely heran, kenapa saat dirinya berjalan pelan getaran itu masih tetap saja datang. Padahal, saat berlari kadang gempa itu tidak ada, gadis itu sungguh dibuat bingung.

Saat Emely sampai di depan dan berhenti berjalan, keadaan kembali tenang. Semua pasang mata menatapnya dengan nyalang, mereka saling mendelik kala melihat reaksi Emely tidak sepanik orang-orang.

"Maaf semuanya ... tadi hanya insiden kecil, saya harap kalian tetap tenang. Kita bereskan dulu ruangan ini, nanti kegiatan perkenalannya dilanjut lagi." Sang Dosen berucap dengan napas memburu, ia berusaha menenangkan para mahasiswa dengan diselimuti rasa panik yang masih melanda. "Dan kau, silahkan duduk kembali," titahnya pada Emely.

Namun, gadis bersurai pirang itu hanya diam, ia tidak berani berjalan sedikit pun. Emely tidak mau menciptakan kekacauan lagi dengan langkahnya, tapi dia juga tidak mungkin terus berdiam diri di depan saja.

Dengan helaan napas pelan, Emely mencoba melangkah secara perlahan. Bahkan, ia sampai berhenti sejenak setiap satu langkah. Semua itu untuk memastikan agar keadaan di sana tetap aman.

"Em, kau hebat! Tadi kau tidak tergoyah sedikit pun. Padahal semua orang di sini sangat terguncang dan ketakutan," ujar Carlos memberi tepuk tangan yang tidak berguna.

"Kau pandai sekali menyeimbangkan tubuh, Em! Apalagi, tadi kau tidak berpegangan sama sekali." Pujian itu dilanjutkan oleh Alice.

Emely tidak berkutik, ia menatap parau pada kedua temannya yang tidak tahu apa-apa. Jika saja mereka tahu kalau kejadian tadi bersumber darinya, mungkin Emely akan diamuk massa. Karena hampir setiap sudut di kampus ini bergetar karena ulahnya.

ΦΦΦ

Tidur di sore hari memang tidak baik. Selain waktunya yang sedikit, hal itu juga dapat merusak kinerja otak. Namun, itu tidak Emely gubris, ia tetap melelapkan diri walaupun cahaya matahari sudah hampir tak terlihat lagi.

Semakin lama, tidur gadis blasteran itu terlihat terusik. Ia terus mencari posisi nyaman untuk melanjutkan mimpi. Hingga ia merasakan sesuatu datang dan itu sangat mengganggu. Gatal pada pangkal lengan kirinya membuat Emely terus menggaruk dengan mata yang tertutup. Sampai beberapa menit, gatal itu tak kunjung pamit. Akhirnya, dengan terpaksa gadis itu harus bangun dan membuka mata untuk melihat apa penyebabnya.

"Astaga! Kenapa pangkal lenganku menghitam?" Matanya membulat kala ia melihat sesuatu yang sungguh membuatnya terpaku. "Aku mohon ... jangan ada lagi keanehan yang datang," lirihnya menundukan kepala.

Gatal itu masih terus saja menyerang, Emely tidak tahu cara apa agar rasa gatal itu menghilang. "Arghhh!" jerit Emely murka pada dirinya sendiri, ia sampai mengacak rambut karena frustrasi.

Setelah itu, rasa gatalnya mulai mereda. Perasaan Emely kembali tenang dan tersenyum bahagia, tapi anehnya gatal tersebut meninggalkan bekas di sana. "Apa ini?" tanyanya memperjelas penglihatan.

"Apa mungkin ini sejenis tato?" Ia bergumam dengan masih diselimuti rasa penasaran.

Emely turun dari kasur dan secepatnya berjalan ke arah cermin. Ia terus mengamati sesuatu pada pangkal lengannya itu. "Gambar apa ini?" Lagi-lagi dia bertanya pada dirinya sendiri.

Dengan langkah gelisah, Emely segera menghapus gambar tersebut menggunakan air dan juga bantuan spons yang sudah dituangkan sabun. "Semoga saja dengan ini gambarnya bisa menghilang." Akan tetapi, hasilnya nihil, gambar dengan warna hitam pekat di tangannya itu tetap tidak berubah sedikit pun.

ΦΦΦ