Chereads / Eliminate A Curse / Chapter 3 - Eps. 2

Chapter 3 - Eps. 2

Suasana gelap yang terasa indah karena banyaknya lampu berkelap-kelip menghiasi luasnya daratan dari berbagai kota yang terpampang di bawah. Apalagi dilihat dari atas, semua itu akan jauh tampak sempurna di penglihatan. Seperti sekarang, Emely terus menatap ke bawah dari jendela pesawat menyaksikan keindahan yang jarang ia dapatkan.

Namun, pengumuman dari sudut pesawat kini terdengar agar semua penumpang tetap dengan posisinya dan memeriksa sabuk pengaman. Pesawat akan melakukan landing di bandara tujuan.

Kini Emely dan Roland bisa menghirup udara di negeri yang dikenal dengan sebutan Emerald Isle atau Pulau Zamrud ini. Negeri yang masyhur karena pemandangannya yang mencengangkan dan perbukitan hijau yang bergelombang membentang dari Cliffs of Moher yang mempesona di County Clare hingga Ring of Kerry di Semenanjung Iveragh.

Setelah mengambil barang-barang, Emely dan Roland segera memesan taksi untuk pergi ke apartemen masing-masing. Apartemen mereka berada di ibu kota Irlandia, yaitu Dublin. Kota yang memiliki pesona keramaian dengan banyaknya bar, restoran, adegan musikal, dan butik yang luar biasa hingga rangkaian festival yang menyenangkan.

Seperti sekarang, saat Emely dan Roland mengamati keadaan sekitar dari dalam taksi, kehidupan yang ramai terlihat di sana. Para pemain musik tampak sedang bermain dengan senang hati menghibur semua orang yang berlalu-lalang. Membuat sedikit banyaknya orang-orang memberi tepuk tangan sebagai penghargaan.

Negara ini memang sangat mencintai musik. Jadi tak perlu heran bila adegan musikal spontan dimainkan di beberapa sudut jalanan, itu memang ciri khas seluruh kota di Irlandia.

ΦΦΦ

Gadis berambut pirang itu masih terbuai di alam mimpi. Emely tampak lelah, sampai-sampai alarm dari ponselnya ia abaikan begitu saja. Cahaya mentari yang masuk dari pantulan jendela besar di kamarnya itu sampai menyengat permukaan wajah, Emely langsung mengerjapkan mata dan menghalangi sinar matahari dengan tangannya. Namun, tetap saja sinar itu tidak dapat mengalah dengan mudah.

Dengan malas, gadis itu membuka mata secara perlahan. Pandangannya langsung mengamati ruangan asing bernuansa white-purple yang ditempatinya sekarang. Sesekali ia mengucek mata untuk memperjelas penglihatan. Ia baru sadar, sekarang dirinya tinggal di apartemen.

Emely bergegas mandi dengan semangat yang tinggi. Dia sudah tidak sabar ingin melihat kampus Trinity College Dublin, salah satu kampus favorit yang besar dan megah di kota ini.

Selang beberapa menit, gadis bermata abu itu keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe. Ia segera meraih hairdryer untuk mengeringkan rambutnya yang basah, hingga ia tak sadar bahwa sedari tadi ada seseorang yang terus memencet bel pintu apartemennya.

Setelah selesai, Emely kemudian turun untuk mengisi perutnya yang lapar. Akan tetapi, dirinya malah terkejut setelah mengetahui ada Roland yang sedang duduk santai di ruang tamu. "Roland? Sejak kapan kau di sini?"

"Dari tadi, Em. Kau tidak dengar tadi aku terus membunyikan bel apartemenmu?" dengkus Roland sedikit membuang muka.

"Tidak, mungkin tadi aku sedang mandi," timpal Emely dengan posisi masih berdiri di pinggir sofa. "Lalu, kenapa sekarang kau bisa masuk?"

"Aku tahu password pintu apartemenmu."

"Hah? Dari mana kau tahu?"

"Itu password yang terlalu mudah untuk dibobol, Sayang." Roland berucap dengan nada menggoda sekaligus mengejek, ia malah tertawa renyah setelah mengucapkan itu. Sedangkan, Emely hanya memutar bola matanya jengkel melihat tingkah laku Roland yang selalu saja bisa membuka setiap password yang ia pasang, baik di ponselnya maupun di laptop dan sekarang di pintu apartemen.

"Menyebalkan!" Roland tertawa melihat wajah kekasihnya yang cemberut seperti itu. "Kau sudah sarapan?" lanjut Emely, seolah tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Roland menggeleng, lalu menaikkan kakinya ke atas sofa. "Mau mi instan?" tanya Emely lagi. Karena Roland mengangguk dengan enteng, Emely segera ke dapur untuk menyiapkan mi instan sebagai sarapan pertamanya di negeri ini.

Gadis itu sibuk mencari panci mi dan mangkuk yang ia rasa sangat tersembunyi. Dia harus mengeluarkan piring-piring terlebih dulu untuk memastikan panci dan mangkuk itu ada di dalam laci atau tidak. Namun, sesuatu malah terjadi yang membuat Emely mengelus dada.

"Arghhh!" Bibir seksi gadis itu menjerit. Ia terkejut dengan piring yang tiba-tiba saja pecah tepat saat ia mengambilnya, padahal Emely sangat berhati-hati. Piring pertama hancur di depan mata, Emely tidak masalah dengan hal itu, karena yang ia butuhkan adalah sebuah panci dan mangkuk.

Ia kembali mengambil piring lainnya untuk dipindahkan. Namun, lagi-lagi piring itu hancur, membuat Emely mematung. Dirinya semakin heran karena tadi ia belum mengangkat piringnya sama sekali, ia baru menggenggamnya.

"Ada apa dengan tanganku?" tanyanya panik sambil terus mengamati telapak tangan.

Dengan jantung yang berdegup kencang, Emely mencoba mengulurkan tangan hanya untuk sekadar menyentuh piring. Ia menganga tak percaya, ternyata piringnya sampai retak saat jari telunjuknya menyentuh sebagian piring itu. "Astaga! Tidak mungkin!"

Gadis itu berusaha untuk tetap tenang, pikirannya mengatakan bahwa ini hanya halusinasi semata. Emely kembali mencoba menyentuh benda lainnya, yaitu gelas. Akan tetapi, hasilnya sama, gelas tersebut juga retak seketika.

Emely menggeleng keras dengan apa yang terjadi, ia sampai mencuci tangan menggunakan sabun yang banyak dan menggosoknya dengan keras. Sekali lagi Emely ingin membuktikan bahwa itu hanya halusinasi, dengan cepat ia meraih gelas yang tergantung di rak. Emely kembali tercengang saat gelas itu ternyata pecah juga.

"Argh! Kenapa ini? Mustahil!" Dia masih tidak percaya dengan semua itu, langkahnya sontak mundur dengan napas yang tidak tenang.

"Sayang, apa ini? Kau memecahkan semua barang-barangnya? Sebenarnya kau ini bisa masak atau tidak, hah?" Roland yang baru datang sedikit terkejut melihat keadaan di dapur yang sudah berantakan dengan pecahan beling di mana-mana.

"Um ... m-maaf, Roland. Ta-tadi ada tikus di sini. Jadi aku menghindar dan tidak sengaja menghancurkan barang-barang itu," dalihnya gugup. Emely terus menggigit bibir bawah dengan gelisah, berharap Roland tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Ya ampun, Em. Kau sampai gemetar dan berkeringat dingin seperti ini. Sudahlah, tikus itu sudah pergi. Nanti kita beli saja sarapan di luar, oke?" Emely mengangguk dan meneguk salivanya dengan bersusah payah, untung saja Roland tidak curiga.

"Aku ke kamar dulu," seru Emely dan segera berlari menaiki tangga sebelum Roland menjawabnya. Namun, keanehan terjadi lagi di sana.

Baru saja Emely berlari, bahkan ia belum sampai di pertengahan tangga, getaran seperti di pesawat yang terjadi tempo hari kembali datang. Emely sampai terjatuh karena getaran yang tiba-tiba itu.

"Ada apa ini? Gempa!" pekik Roland langsung menyeimbangkan diri dengan berpegangan pada dinding. Namun, detik berikutnya semua kembali normal. "Em, kau baik-baik saja?" Roland menghampiri Emely yang terduduk di tangga.

"Aku ... tidak apa-apa." Emely menatap keadaan sekitar dengan bingung, ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Gadis itu kembali berlari dan gempa kecil itu datang lagi, membuat Roland berusaha untuk mempertahankan keseimbangannya di tangga.

Setelah sampai di tangga terakhir, Emely sengaja menghentikan langkahnya dan menyadari sesuatu. Ia baru sadar kalau saat dirinya berhenti berjalan gempa kecil itu juga ikut berhenti.

Sebenarnya apa yang terjadi pada diriku?

ΦΦΦ

Emely dan Roland baru saja sampai di pelataran kampus, mereka menatap bangga pada gedung yang terpampang megah di depan mata. Roland berpikir, dengan sekarang dirinya menjadi seorang mahasiswa Internasional di Irlandia, ia akan mendapatkan kesempatan untuk mencoba adegan musikal Irlandia, tradisi mendongeng yang sangat kaya, mencicipi makanan yang mengundang selera, budaya Gael, dan menikmati pemandangan alam subur yang sangat indah serta bervariasi.

Lain halnya dengan pikiran Emely saat ini, ia masih berkecamuk memikirkan hal tadi pagi. Emely meyakinkan dirinya sendiri untuk bisa melupakan kejadian itu.

Kini mereka kembali mengayunkan kaki menuju gedung utama, di mana para mahasiswa baru berkumpul di sana.

"Welcome to the Trinity College Campus, nice to meet you all!" Pria paruh baya yang berdiri di podium menyambut kedatangan para mahasiswa baru yang terkumpul dengan jumlah tidak sedikit, pria itu ternyata seorang Dekan di kampus ini. "Kalian dikumpulkan di sini, karena kalian akan melaksanakan agenda pertama sebagai mahasiswa baru, yaitu Campus Introduction."

Dengan panduan para panitia, sekarang semua mahasiswa berkelompok untuk melakukan perjalanan mengitari kampus. Emely dan Roland dikelompokan dengan pemuda bernama Carlos, dan juga dua wanita cantik—Lucy dan Alice. Mereka tampak mudah bergaul. Lihat saja, Emely sudah akrab dengan teman satu kelompoknya.

Hampir lima belas menit mereka sudah ditunjukan dengan berbagai ruangan yang luas dan bagus. Tidak hanya itu, mereka juga dikenalkan dengan para dosen di sana.

"Aduh!" Tiba-tiba Emely terjatuh saat dirinya bertabrakan dengan seseorang.

"Lain kali, kau belajar berjalan dulu! Jangan sampai langkahmu itu membuat pakaian orang lain menjadi kotor seperti ini!" Ucapan pria itu terdengar serius dengan penuh penekanan tepat di hadapan Emely, karena faktanya minuman yang sedang digenggam orang itu tumpah mengenai pakaiannya sendiri.

Roland langsung membantu Emely berdiri, lalu meraih kerah baju pria di depannya dengan cekat. "Jaga ucapanmu! Di sini kau yang salah! Pergi sana!" Pria itu sedikit tersungkur karena dorongan Roland. Ia segera pergi setelah memberi tatapan tak bersahabat.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Kini panitia menunjukan sebuah laboratorium yang berada di pojok gedung dan terlihat seseorang sedang sibuk di dalamnya.

"Itu Dosen Exzard, para mahasiswa biasa memanggilnya Mr. Ex. Dia dosen Sains sekaligus seorang ilmuwan yang aneh," jelas panitia itu terus memperhatikan Mr. Ex dari pintu kaca yang tembus pandang.

"Aneh?" tanya Emely bingung.

Panitia itu mengangguk cepat. "Mr. Ex adalah dosen killer yang jarang berinteraksi. Dia selalu menciptakan hasil eksperimen dengan racikannya, tetapi tidak ada seorang pun yang pernah melihat hasilnya. Dia juga menciptakan alat-alat yang entah apa gunanya. Aneh, bukan?"

Semua yang mendengarkan penuturan panitia langsung bergidik ngeri. Ternyata di kampus ternama ini ada orang seperti itu.

ΦΦΦ

Thank you for joining my imagination{}