Chereads / The Power Of Us / Chapter 18 - Makan malam

Chapter 18 - Makan malam

"Aku sendiri masih bingung. Awalnya aku berpikir Max adalah sahabatku. Aku juga berpikir dia adalah adikku, namun aku juga berpikir dia adalah keluargaku," jawab Raiha.

"Kalau begitu, kamu tinggal menjadi keluarga kami saja," ujar ibu Max.

"Maksudnya?" tanya Raiha bingung.

"Maksud tante. Kamu menjadi keluarga tante dengan menikah dengan Max. Mudah bukan?" jawab ibu Max.

"Me-menikah? Tapi ini terlalu cepat. Kami kan ma-ma-ma-" Raiha salah tingkah dengan wajahnya yang memerah.

"Tapi itu akan dilakukan ketika kalian sudah siap. Sekarang sih karena masih bersekolah, jadi kalian bertunangan saja. Bagaimana?" tanya ibu Raiha.

"Aku setuju!" Max langsung bersuara.

Semua orang menunggu jawaban dari Raiha dan menatapnya.

"A-aku juga setuju," jawab Raiha.

"Yeay! Yahuu! Tapi aku masih penasaran. Jadi sebenarnya bagaimana perasaanmu padaku?" Max yang tadi kegirangan langsung bertanya serius.

Ini anak gak ada urat malunya. Kita padahal lagi bicara di depan orang tua kita loh! pikir Raiha. Raiha menarik nafasnya dan menenangkan dirinya.

Wah dia sedang dalam mode tenangnya. pikir Max.

"Jujur saja. Sebenarnya aku pikir, aku ini lebih dewasa dari padamu. Namun aku salah. Untuk hal ini saja aku terlalu lamban dan tidak peka. Setelah mendengar perkataanmu tadi. Membuatku menjadi yakin kalau aku ..." ujar Raiha tiba-tiba berhenti.

"Kalau apa?" tanya Max bingung.

"A-aku suka padamu!" karena sangking paniknya, Raiha tiba-tiba saja suaranya meninggi.

Prok-prok! orang-orang yang sedang makan di sana bertepuk tangan karena pernyataan Raiha.

Max yang tadinya sangat ingin mendengar perasaan Raiha. Tiba-tiba malah menjadi malu karena menjadi pusat perhatian. Raiha pun menutup wajahnya karena malu.

"Wah biasanya anakku yang selalu tenang, bisa menjadi panik seperti ini ya. Apakah jantungmu berdetak tidak karuan?" tanya ibu Raiha pada Raiha.

"Max juga. Biasanya dia kekanakan, tapi sekarang malah bisa serius seperti ini," ujar ibu Max.

"Ibu dan tante ini memuji atau meledek sih?" tanya Max.

"Ah, sudahlah. Lupakan saja. Mari kita makan lagi. Mbak! Aku pesan lagi!" Max memanggil pelayan.

"Woi! Masih mau pesan lagi?" Raiha terkejut.

Mereka semua pun makan malam dengan tenang setelah membicarakan hal yang serius. Max pun terus menambah porsi makannya.

"Urgh! Hah ... Aku kenyang sekali," ujar Max sendawa sambil menepuk perutnya yang menggembung.

"Hahaha kamu makannya banyak sekali ya anakku. Sekarang masalahnya siapa yang akan membayar ini semua?" tanya ayah Max.

"Huhu, untuk itu tenang saja ayahku. Ayah tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Biarkan aku yang masih seorang pelajar ini, mentraktir kalian semua," ujar Max sambil mengeluarkan botol berisi monster yang kemarin dia kalahkan dari dalam tasnya.

"Mbak. Aku mau bayar dong!" Max memanggil pelayan dan pelayan datang menghampiri Max.

"Baik. Apakah tidak ada lagi yang ingin dipesan, dek?" tanya pelayan itu.

"Sudah cukup, mbak. Lihat ini. Perutku nanti bisa meledak jika makan lagi," ujar Max memperlihatkan perutnya yang membuncit.

"Haha. Ini bayarnya mau pakai apa, dek? Pakai tunai atau debit?" tanya pelayan itu.

Max memberikan botol itu pada pelayan.

"Bayarnya pakai ini bisa kan, mbak? Seharusnya isinya cukup untuk membayar ini semua," tanya Max.

"Oh bisa kok, dek. Sebentar ya. Saya ambil alat untuk mengeceknya terlebih dahulu," jawab pelayan itu. Pelayan itu mengambil alat dan kembali lagi.

"Ini adek yang mentraktir keluarga adek, ya?" tanya pelayan itu.

"Iya, mbak. Sesekali aku traktir mereka dari penghasilanku sendiri. Isinya lumayan juga sih. Aku dapat monster yang bagus," jawab Max.

"Wah benarkah? Itu bagus sekali. Sebentar ya. Saya periksa dulu," Pelayan kemudian mengscan botol itu.

"Maaf dek. Ini bayarannya kurang 500 ribu lagi," ujar pelayan itu.

"Hah! Bagaimana bisa?" Max terkejut.

"Sudah kuduga akan seperti ini," ujar ayah Max.

"Iya dek. Harga dari monster ini tidak cukup untuk membayar semua makanan yang dipesan. Biayanya masih kurang 500 ribu lagi," jawab pelayan.

"Tapi bagaimana mungkin! Itu kan isinya monster Dark wolf. Seharusnya harga Dark wolf kan cukup untuk membayar semua ini. Apa lagi kelasnya itu termasuk monster kelas C," ujar Max.

"Dark wolf? Maksudnya isi monster di dalam sini?" tanya pelayan itu.

"Iya, memangnya di mana lagi," jawab Max.

"Tapi ini kan isinya monster kelas D, dek. Nama monsternya Mimicry. Mimicry ini setara dengan buble," ujar pelayan itu.

"Tidak mungkin. Aku ingat dengan jelas kalau monster yang aku kalahkan kemarin adalah Dark wolf. Bagaimana mungkin bisa berubah menjadi Mimicry?" tanya Max bingung.

"Mimicry ini dia bisa meniru wujud serta kemampuan dari monster lain. Namun untuk kemampuannya tidak akan sekuat yang aslinya. Setelah Mimicry tewas dalam wujud tiruannya. Maka dia memerlukan waktu untuk kembali ke dalam wujud yang aslinya. Lihat saja ini. Dna Mimicry berbeda dengan Dna Dark wolf bukan?" ujar pelayan itu panjang lebar kemudian menunjukkan layar dna dari Mimicry dan Dark wolf.

Seketika Max yang mendengar dan menyadari kesalahannya. Ia langsung pucat dan membatu.

"Kamu ini ya, Max. Sombong duluan sih, sekarang malu sendiri kan jadinya. Ini mbak. Saya aja yang bayar sisanya," Raiha memberikan uang 500 ribu dari dalam tasnya kepada pelayan.

"Eh tidak usah, Raiha. Biar ayahku saja yang membayar," ujar Max mengentikan Raiha.

"Lah kok jadi ayah yang bayar?" tanya ayah Max bingung.

"Aku kan anakmu. Jadi makananku ayah yang bayar dong. Aku kan tanggung jawab ayah," jawab Max.

"Dasar kamu ini ya ..." ujar ayah Max.

"Sudah tidak apa. Kali biar aku saja yang bayar. Lain kali kamu yang gantian traktir," ujar Raiha.

Raiha tetap memberikan uangnya pada pelayan.

"Terima kasih, dek. Kalau begitu saya permisi dulu. Silahkan datang lagi, ya." ujar pelayan itu sambil tersenyum lalu pergi.

Max dan Raiha kembali duduk.

"Jiah! Di traktir cewek nih ye. Cowok kok ditraktir cewek, gak malu ya?" ayah Max meledek.

Max hanya bisa diam saja.

"Terima kasih, Raiha," ujar Max.

"Sama-sama," jawab Raiha.

Kemudian keesokan harinya di sekolah. Akira dan teman-temannya sedang latihan seperti biasa di lapangan. Akira memimpin latihan.

"Ayo! Ayo! Lebih cepat lagi larinya! Siapa yang serius dan bertahan nanti ditraktir pak Tora!" teriak Akira menyemangati mereka.

"Oi! Kapan bapak bilang bakal traktir? Kamu juga, kenapa masih di sini? Sana lari juga bareng temanmu," ujar pak Tora.

"Duh, pak. Saya capek banget pak. Saya latihannya nanti saja ya. Ini saja saya susah mengatur teman-teman. Bapak sendiri hanya melihat saja," jawab Akira protes.

"Kamu ini. Padahal biasanya selalu semangat. Ada apa dengan hari ini?" tanya pak Tora.

"Tidak ada, pak. Hanya saja dari tadi rasanya sedang ada yang mengawasi kita. Saya pun sedang fokus untuk melihat sekitar," jawab Akira.