-Terjebak Dendam Masa Lalu-
Keadaan tidak mendukung Naomi saat ini. Seperti setumpuk salju yang jatuh tepat di atas kepalanya. Padahal sekarang masih pertengah Juni, di mana musim semi masih terasa walaupun hawa musim panas sudah terasa dan juga tidak ada salju di sini.
Alfian muncul ketika Naomi baru saja membuka pintu depan. Laki-laki itu mengenakan setelan rapi, lengkap dengan sepatu mengkilat. Aroma kayu manis dan rumput serta pasta gigi tercium perlahan.
Naomi tersentak kaku. Matanya melotot, tersibak kaget.
'Alfian ... bagaimana bisa dia ada di sini?' Pikirannya kacau seketika. Ingatan kejadian tadi malam kembali mengusiknya.
'Bagaimana jika suaminya mengetahui segalanya?' pikir Naomi takut. Tubuhnya langsung bergetar hebat.
Alfian memandangannya dengan pandangan tidak biasa. Alisnya mengerut penuh curiga.
"Sedang apa kau ... tampak buru-buru." Alfian bertanya. Pandangannya dengan cepat mengamati istrinya dari ujung kaki sampai kepala. "Apa yang kau bawa?" tanya-nya lagi ketika tidak sengaja melihat bungkusan plastik yang dibawa Naomi.
"Eh? A-apa?"
"Apa yang kau bawa? Di belakang."
Naomi mencengkram erat kantong plastik yang berisi jeket hitam misterius itu. Takut-takut jika suaminya mengambil dan mempertanyakan keadaan yang sebenarnya.
Naomi tidak sanggup untuk ditinggalkan. Wanita itu mengeling cepat.
"I-ini ... Err ... b-bukan apa-apa! Ya ... hanya barang yang mau dibuang, tapi tidak jadi." wanita itu menjawab terbata, memalingkan wajah segera agar suaminya tidak melihat kebohongan yang jelas tertera di sana.
Alfian menyipitkan matanya. Menatap sang istri yang tampak menyembunyikan bungkusan itu.
Helan panjang terdengar. Alfian masuk ke dalam rumah mereka ketika sang istri menyingkir sedikit.
Naomi mengekori di belakangnya. "Al, sudah makan?"
Laki-laki itu mengangguk pelan. "Sudah, kau?"
"Err ... i-iya sudah juga."
"Sarapan apa?"
Naomi terdiam beberapa saat. Merasa aneh dengan perhatian yang baru saja Alfian berikan. Padahal biasanya suaminya itu cuek dan terkesan tidak peduli.
"Naomi?"
"Eh? Ke-kenapa?"
Alfian menggeleng pelan, "Lupakan saja. Kau tampak tidak baik. Apa kau sakit? Wajahmu sangat pucat." Ia bangkit dan menjulurkan tangannya ke dahi Naomi.
"Eh, ke-kenapa ini?" Naomi tersentak kaget. Nyaris menyingkir tapi tangan Alfian lebih cepat mendarat di jidatnya.
Mendiamkan beberapa saat sebelum mengerutkan alisnya, "Tidak panas? Tapi kau pucat."
'Kecapean, tentu saja.' gumam Naomi. Merasa bersalah pada suaminya karena dia sendiri sangat menikmati kejadian tadi malam, mengerem bersama dalam jeritan surga dunia.
Naomi tersedak ludahnya sendiri. Ia menunduk malu.
Alfian kembali ke tempatnya. Duduk di sofa sambil menepuk-nepuk tepat di sampingnya. "Duduklah sebentar. Ada yang ingin aku bicarakan."
Naomi mendongak. Perasaannya tidak enak. "Te-tentang apa?"
"Kita. Mari bahas tentang hubungan kita."
Degh ....
Naomi mengedip-kedipkan matanya takut-takut. Apa Alfian mau menceraikannya?
"Al ..."
"Duduklah dulu, kenapa kau sangat tegang. Aku hanya ingin membicarakan perihal rumah tangga kita. Ini tentang kita, aku minta maaf untuk kejadian di Mall saat itu." Alfian menghentikan ucapannya, tersenyum kecut sambil kembali menyuruh Naomi untuk duduk. Paling tidak duduk berhadapan jika tidak mau duduk di sampingnya.
"Aku tau aku salah. Airin juga tidak salah, hanya saja dia akan terluka jika aku tidak membelanya. Kau tau kan bagaimana sikapnya ketika masih menjadi anak sekolahan dulu?"
Naomi mengangguk, Airin tidak suka direndahkan. "Tapi bukan itu alasanmu sampai mencium mantan pacarmu di Mall. Aku tidak suka."
Alfian menghela berat. "Aku tidak menciumnya. Hanya memasangkan kalung yang dia beli. Kebetulan ada aku disini." jelasnya.
"Kalung?"
Alfian mengangguk. "Percayalah. Kami hanya kebetulan bertemu tidak lebih."
Laki-laki itu tersenyum lembut. Membuat perasaan Naomi yang sudah tidak menentu dalam seminggu ini langsung meleleh tiba-tiba.
Bibirnya tersungging pelan. "Tapi kau belum meminta maaf."
Alfian terkekeh pelan. "Baiklah, jika itu yang kau minta."
Alfian berdiri. Langkahnya mendekati sang istri dan bersimpuh di depannya.
"Al!!" pekik Naomi pelan.
Alfian mengeling, " Biarkan aku meminta maaf secara benar. Jadi istrimu, maukah kau memaafkanku, hm?"
Naomi terharu. Wanita itu langsung mengangguk mengiyakan. Alfian membawanya duduk di sofa.
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Naomi.
Alfian terdiam beberapa saat. Beberapa kali ia menghela napas sebelum mengutarakan pertanyaan. "Naomi ... Err maukah kau menjadi seorang ibu?"
Degh ...
"A-apa?"
Naomi tidak salah dengar bukan?
"Aku ingin memulai hubungan kita dengan benar. Bukankah kita sudah setahun menikah. Aku kau tidak ingin punya anak?"
"Eh?"
Naomi blank beberapa saat sebelum kembali ke bumi seolah melayang-layang di udara.
"MAU!! Err .... maksudku mau, tentu saja." Naomi menjawab secepat yang bisa ia jawab.
Ternyata alam masih berpihak padanya. Naomi sendiri tidak tau ada angin apa yang membuat suaminya tiba-tiba berubah drastis.
Menjadi lebih baik, tidak lagi cuek dan tentu saja semakin ramah memperlakukannya.
Alfian terkekeh. "Kalau begitu ayo kita ke rumah sakit."
Senyum di wajah Naomi langsung hilang. "Rumah sakit? Kenapa harus ke sana?"
Naomi panik. Kenapa harus ke rumah sakit? Apa suaminya akan mengetes keperawanannya?
Naomi menggeleng dengan cepat. Tidak bisa. Jika dia divisum maka akan ada bukti tentang tadi malam.
"Al ... sebaiknya jangan ke rumah sakit." bujuk Naomi tegang.
"Kenapa? Kau tidak suka. Padahal kita hanya ingin mengecek kesuburan saja."
"Kesuburan?" ulang Naomi. Masih belum bisa mencerna dengan cepat.
"Kan katanya mau program kehamilan. Tidak jadi?"
"Eh? Jadi!! Tentu jadi. Err ... aku hanya gugup, maaf." Naomi memperbaiki keadaan dengan cepat. "Kapan kita ke rumah sakit?"
"Sekarang."
Naomi mengangguk cepat, "Tunggu aku mandi dulu."
Setelah mengatakan itu Naomi pergi ke belakang dekat dapur. Alfian menatap nanar punggung istrinya kemudian menghela berat. Ia melangkah pelan ke kamar mereka, mengganti bajunya.
Sesampainya di dalam kamar keadaan tampak rapi seperti biasa. Alfian sudah terbiasa dengan hal-hal kecil yang dilakukan istrinya itu.
Alfian mendekati lemari besar tapi langkahnya terhenti ketika kakinya tidak sengaja menginjak sesuatu.
Alfian berjongkok untuk melihatnya. Alisnya mengerut, ternyata sebuah jam tangan eksklusif yang desainnya sangat terbatas.
"Jam ini ...."
Alfian menutup bibirnya dengan cepat. Derap langkah sang istri terdengar mendekati kamar mereka. Alfian menyembunyikan jam tangan itu di saku celananya saat pintu kamar terbuka.
"Ahh ... kau di sini." seru Naomi setengah malu.
Alfian mengangguk, "Aku sudah mau keluar. Ku tunggu di depan."
Setelah mengatakan itu Alfian berlaku dengan cepat. Perasaannya bergemuruh bercampur kebingungan.
Alfian mengunggah saku celananya sebelah kanan, mengambil ponselnya kemudian menghubungi seseorang.
"Hallo."
"Hm ... sayang kenapa? Dia sudah setuju?" pekik seseorang dari seberang sana.
Alfian tidak menjawab pertanyaan itu. Ia malah menanyakan hal lainnya. "Sayang, kau ingat jam tangan yang kau hadiahkan untuk Aiden?"
"Kau bicara apa sih?"
"Arloji yang tahun lalu kita berikan sebagai ucapan selamat atas terangkatnya Aiden sebagai dokter sungguhan." Ada jela pelan sebelum suara itu mengiyakan. "Kenapa memangnya?"
"Tidak! Hanya saja aku menemukan jam yang sama di kamar Naomi."
Bersambung ...