-Terjebak Dendam Masa Lalu-
Deru angin yang keluar dari ac di dalam toko langsung menerpa wajah Aiden begitu saja. Pandangannya tidak berkedip ketika si wanita langsung pergi setelah mengatakan kata maaf.
"Apa yang salah?" tanya Aiden kebingungan dengan reaksi wanita itu.
Seingat Aiden dia hanya memberikan saran dan setelahnya selesai. Ia juga tidak berniat mengganggu lebih jauh bukan?
'Wanita aneh.'
Lamunannya terganggu dengan getaran ponsel di saku celana. Aiden mendenggus kesal, dia mengerutkan bibirnya saat menatap layar ponsel itu, membaca kembali pesan dari sahabatnya itu.
'Satu lagi manusia yang tidak sabaran,' pikirnya.
Aiden mengabaikannya. Pria itu bergegas menarik salah satu susu formula yang tidak jadi diambil oleh wanita tadi. Dia menggerutu pelan dan membawanya ke kasir.
Setelah membayar semua belanjaannya Aiden baru sadar. Kenapa juga dia membeli susu formula tadi?
"Shitt!!" Aiden mengumpat kasar.
Dering ponsel membuatnya tersentak pelan. Joe meletakkan barang belanjaannya saat dia keluar dari minimarket, mengunggah sakunya dan menggeser tombol hijau.
"Kenapa lama!!"
Gerr ....
Suara serak tanpa bentahan membuat kuping Aiden panas. Dia langsung mematikan panggilan itu. Menggerutu kembali sampai netranya menangkap mobil hitam yang dikendarainya tadi.
Titt.. tit...
'Sial!'
Aiden mendengus beberapa kali saat menatap raut bingung dari orang-orang yang berpapasan dengannya.
Brak..
Pintu mobil tertutup dengan keras.
"Kau tidak bisa bersabar hah?" Aiden melempar belanjaannya ke kursi belakang. Kemudian menatap sahabatnya yang memutar mata tidak peduli .
"Mana obatku?" Suara serak laki-laki itu memenuhi pendengaran Aiden. Dia menghela nafas panjang, menyipitkan mata semakin kesal.
"Aku bukan dokter pribadimu!" Aiden membuka box penyimpanan di dashboard mobilnya. Mengambil beberapa bungkus obat pereda demam lalu melemparkannya begitu saja, namun sialnya sang sahabat justru menangkapnya dengan tepat.
"Thanks!" gumamnya.
Aiden memutar matanya bosan.
"Kalau sakit jangan datang ke rumahku."
Aiden tidak tau kenapa sahabatnya itu malah datang ke rumahnya dengan keadaan buruk. Di bukan hanya sakit tapi keadaan yang lebih mengerikan dibandingkan itu.
Jie tidak menyalahkan dia jika datang pagi-pagi buta dan mengharuskannya untuk cuti dadakan dari rumah sakit hari ini.
"Hai! Kau tau di negara kita ini ada yang namanya Rumah Sakit dan itu masih berdiri di tempatnya. Asal kau tau saja. Kalau sakit ke sana bukan ke rumahku."
Laki-laki itu diam mendengarkan celotehan Aiden. Dia memijit pelipisnya yang mulai berdenyut.
'Sialan!'
Dia mendengus kesal, pandangannya teralihkan pada layar ponsel yang berkedip kedip.
'Ayah?' gumamnya pelan.
Pluk..
Laki-laki itu melemparkan ponselnya ke jok belakang. "Ayo jalan!"
Aiden menganga, siapa yang punya mobil di sini?
"Kau jangan seenaknya menyuruhku. Aku bukan babumu!"
"Aku sakit, Ai. Harusnya kau paham itu, kau Dokter"
"Shitt.." Aiden mengumpat pelan, dia melirik sahabatnya yang semakin pucat.
"Kau harusnya ke rumah sakit, demammu terlalu tinggi" Aiden menyalakan mobil, dengan perlahan dia meluncur melewati tempat parkir yang dipenuhi oleh mobil- mobil menengah ke bawah.
"Kau jadi pergi?" tanya Aiden, tatapannya masih fokus ke arah jalan.
Laki-laki itu hanya mengangguk sambil mengusap wajahnya pelan. "Kedatanganku di sini salah bukan?"
Aiden tidak mengerti apa yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Dia hanya mengangguk dan mengomentari sesekali.
"Kau ingin pergi lagi? Err ... maksudku benar-benar pergi?"
Laki-laki itu mengangguk pasti. Dia memejamkan matanya. Bersandar dengan tenang di jok penumpang tepat di samping Aiden.
"Kau tidak ingin menemui ayahmu? Dia pasti merindukanmu walaupun sikapnya keras, Om John tetaplah ayahmu yang pastinya akan merindukan anaknya yang merantau jauh." Aiden berusaha menemukan kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung sahabatnya.
"Itu bukan masalah besar, dengan berjalannya waktu dia akan terbiasa. Selain itu ayahku belum tentu merindukanku selama ini. Bisa saja dia lebih merindukan anak emasnya itu dibandingkan anak kandungnya sendiri," ucapnya dingin.
Aiden menghela nafas pelan, dia tidak terlalu paham dengan cara berpikir sahabatnya itu. Meskipun selama ini mereka selalu bersama-sama. Masalah keluarganya juga sulit ditebak. Sahabatnya itu lebih suka menyimpannya seorang diri.
"Ck.. kau merepotkan!"
"Bantu aku sekali ini. Setelahnya aku tidak akan merepotkanmu lagi. Ini yang terakhir," jawab laki-laki itu singkat.
Aiden mendengus kesal. Dia menurunkan laju kecepatannya saat memasuki pintu gerbang masuk bandara. Aiden mengarahkan mobilnya dengan pelan ke arah parkiran khusus.
"Kau yakin tidak mau menghubungi yang lain? Ibumu? Ah Airin mungkin dia pasti merindukanmu."
Laki-laki itu mengeling cepat. "Aku akan pergi. Pertemuan dengannya hanya akan membuat perasaanku tersakiti lagi."
'Oh ...' Aiden paham ke mana arah pembicaraan ini.
"Kau tidak kembali?"
"Ya ... selamanya. Atau paling tidak sepuluh tahun."
Aiden terkekeh pelan. Dia tidak sesedih yang seharusnya. Toh sahabatnya itu memang berlaku seperti itu. Kabur dan menghilang adalah bagian dari jiwanya ketika mendapatkan masalah. Aiden tidak aneh lagi untuk hal yang satu ini.
"Menggelikan. Kau masih tetap seperti anak remaja, Saga."
Degh ...
Laki-laki bernama Saga itu hanya mendengus pelan saat Aiden keluar dan membuka bagasi belakang.
"Barangmu hanya ini?!" Aiden bertanya.
"Hn ..."
"Ngomong-ngomong, jaket yang kau pinjam tadi malam mana? Itu jaket kesayanganku. Kenapa kau ambil tanpa izin dulu? Dasar parasit kau!" Aiden bergumam pelan sambil membawakan koper kecil milik sahabatnya. Dia juga mengecek kembali tiket dan paspor.
"Aku lupa. Mungkin ketinggalan"
"Di rumahmu?"
"Bukan." Laki-laki itu diam. Dia menghela nafas pelan, "Mungkin di rumah seseorang," lanjutnya.
"Hah??" Aiden melototkan matanya. "Ka-kalau begitu jam tanganku?"
Saga mengangkat bahunya, "Memangnya aku mengambil jam tanganmu apa?"
'Jelas sialan!! Bahkan itu jam tangan limited edition.'
Aiden mengusap wajahnya dengan kasar. Dia menarik napas panjang, menahannya beberapa saat sebelum menghembuskannya perlahan.
"Coba kau ingat-ingat lagi. Di mana kau meninggalkan keduanya. Jaket itu meskipun kesayanganku masih bisa ku relakan tapi jam tangan-" Aiden menggeleng cepat. "Itu hadiah dan harganya mahal, sialan!"
Saga mendenggus, "Berapa harganya nanti aku ganti."
"Shitt!! Bukan masalah harganya. Tapi jam itu hadiah kesuksesan atas gelar doktor untuk pertama kali, itu bahkan lebih berharga dibandingkan nyawaku."
Saga mengerutkan alisnya, "Kau mau aku menyerahkan nyawaku?"
"Tidak!! Ahh, sudahlah. Itu tidak penting." Aiden akhirnya mengalah. Berdebat dengan Saga sama saja berdebat dengan anak kecil yang diambil permennya. Saga bahkan lebih keras kepala dibandingkan bocah berumur lima tahun.
Pembicaraan selesai. Aiden hanya bisa mendenggus, bingung ingin menyalahkan siapa atas hilangnya dua benda keramat untuknya.
'Ngomong-ngomong dia bermalam di mana tadi malam?' batin Aiden. Dia mematung menatap sahabatnya yang sudah melalui pemeriksaan bandara.
Saga datang ke kediamannya saat siang hari sebelumnya. Sahabatnya itu datang bak jailangkung, tidak dijemput tapi minta diantar. Saga meminjam barangnya, itu sudah biasa. Ia mengatakan kopernya masih tertinggal di rumah ayahnya. Dan dia tidak mau mengambil itu karena ayahnya sudah datang dari luar kota.
Kemudian Saga kembali menemuinya di pagi-pagi buta sehari setelahnya dengan keadaan mengerikan, pucat dan demam juga bau alkohol dan sedikit aroma sex.
Bersambung ....