Rena menatap pancaran keemasan sang surya memberikan semburat kehangatan, terasa oleh kulit putihnya. Pagi ini cukup cerah. Meskipun sedikit angin yang bertiup sejuk, membelai lembut wajah nan tirus lebam itu.
Ada sedikit rasa nyaman yang terpancar dari hangatnya mentari pagi ini. Dia berupaya menekan kesedihannya dan mencoba lebih tegar lagi.
Rena melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sederhana yang ia tempati selama 4 tahun ini. Banyak kenangan yang tersimpan disini.
Pujian cinta yang diberikan Rizal mampu melambungkan hatinya ke nirwana. Itu dulu. Tutur kata romantis Rizal membuat dia dipuja bak dewi rembulan yang memancarkan sinar keindahan malam.
Tapi, semua itu sudah berlalu. Sekarang, rumah ini penjara tersendiri bagi Rena. Entah itu siksaan dari Rizal atau mungkin takdir yang mempermainkan hidupnya. Setiap hari di rumah ini bagai menjalankan berbagai episode kesengsaraan.
Biarlah dia menjalani ini dengan hati yang tertatih- tatih. Ibarat luka akan di tutupi luka lagi. Begitu sampai dia merasa dibatas akhir kesanggupannya.
Dalam hati terbesit niatannya untuk pergi dari Rizal. Tapi, apa daya Rena sangat patuh kepada ayahnya. Sampai kebahagiaannya pun direlakan asalkan orang yang dicintainya bahagia. Sering Rena mengadu ke ibunya atas perlakuan kasar Rizal kepadanya.
Ibunya hanya menyarankan untuk sabar. Entah kurang sabar apa lagi dia selama ini. Diam-diam ada seorang pria memperhatikan langkah Rena dari kejauhan. Pria itu adalah cinta pertama Rena yang tidak banyak diketahui orang.
Mereka berpacaran 2 tahun sebelum Rena memutuskan menikah dengan pilihan ayahnya, Rizal.
Lelaki itu adalah Deno. Dengan tinggi 178 cm, kulit putih, dan hidung mancung serta tai lalat kecil di lesung pipinya. Deni adalah sosok pria yang sopan dan selalu menjaga Rena.
"Rena...," sapa Deno.
Wanita cantik ini langsung tersintak dari lamunannya. Rena kaget bahwa lelaki yang dulu jadi cinta pertamanya sekarang berada di hadapannya. Keduanya sudah tidak bertemu selama 4 tahun. Deno, pria yang patah hati akibat ditinggal menikah oleh Rena yang pergi ke Jakarta.
"Deno, ini kamu," kata Rena sambil menghapus sisa air mata di pipinya.
"Iya ini aku Ren, kamu mau kemana?" Ujar Deno.
"Saya mau pergi mas," jawabnya.
Deno melihat wanita yang pernah ia cintai sepenuh hati berubah drastis. Penampilannya tak sama dengan yang dulu. Rena yang pernah sangat cantik dan putih, kini menjadi wanita yang sangat kurus.
Umurnya 25 tahun tak sesuai dengan rona wajahnya yang kusam. Seperti wanita yang terlihat berusia di atas 40 tahun dengan beban menumpuk di kepala.
Deno berpikir, mungkin Rena mengalami kesulitan yang membuat ia berubah seperti sekarang. Terkadang hidup tak semanis kata- kata romantis yang dijajakan dalam sebuah drama percintaan.
"Mas kapan pulang," kata Rena.
"Aku baru 2 hari dirumah Ren," jawab Deno.
Selama ini Deno bekerja di Jakarta. Dia mempunyai usaha bunga. Jarang sekali dia pulang.
Rena yang dari tadi merasa sedih tampak berubah. Mood-nya mulai terpancar dari wajahnya. Rena tak menyangka, selama ini dia berusaha menutup hati dan melupakan Deno, tapi malah bertemu lagi dengannya. Membangkitkan kembali kenangan lama yang terasa indah.
Selama ini Rena memang tidak baik-baik saja. Dia berusaha kuat dan tegar serta selalu optimis menjalani bahtera rumah tangga dengan Rizal. Setiap malam Rena selalu bermimpi dengan Deno.
Mimpi itu yang membuat Rena merasa bersalah. Bagaimana dulu dia berjanji akan selalu bertahan dan mencintai Deno. Janji setia untuk terus bersama. Janji yang sudah ribuan kali diucapkannya, tetapi akhirnya dilanggar dan dikhianati.
Guratan wajah Reno sama seperti dulu, tak berubah sama sekali, membuat Rena merasa terlindungi. Tatapan matanya teduh yang selalu melumpuhkan hati Rena. Masih ada pancaran kehangatan yang tersisa dari tatapan teduh itu. Tapi, Rena cepat menghilangkan pikirannya. Ingat dirinya sudah menikah.
"Bagaimana kabar mas selama ini," ujar Rena dengan raut muka yang bersahabat.
"Aku baik Ren. Mungkin tidak sebaik dulu," jawab Deno.
Deg!
Jantung Rena terasa copot. Jawaban itu membuatnya tak berdaya atas apa yang telah dia perbuat. Ingin sekali hatinya berteriak, "Aku juga merasakan hal yang sama mas".
Rena harus cepat pergi dari hadapan Deno. Dirinya tak akan kuat melihat wajah lelaki ganteng dihadapannya ini. Sudah cukup Rena merasakan siksaan batin selama ini.
Belum lagi siksaan fisik yang dia dapatkan dari Rizal. Rena tidak mau Deno melihat kerapuhannya kini. Dia ingin Deno berpikir bahwa dia dalam keadaan baik-baik saja.
Rena mengangkat kepalanya dan mengatakan,
"Mas, aku harus pergi dulu," ujar Rena.
Deno kemudian terlihat mengernyitkan dahi. Baru saja bertemu Rena. Rasa kangennya belum lepas, tapi wanita ini tampak seperti menghindar.
"Kamu mau kemana Ren," tanya Deno.
"Aku mau bekerja mas," jawab Rena.
Bekerja? Pikiran Deno mulai bertanya. Seingatnya, suami Rena bekerja. Dan Rena dulu sering di rumah. Kenapa sekarang bekerja?
"Kamu kerja dimana? Bekerja apa," tanya Deno.
"Aku kerja di warung nasi mas, bantu- bantu cuci piring disana," jawab Rena.
Wanita itu berlalu begitu saja dari hadapan Deno. Rena tak mau Deno berpikiran buruk kepadanya. Toh, memang kenyataan begitu.
Deno hanya diam dan tidak bertanya lagi. Mungkin Rena punya alasan sendiri.
Lagian, Deno tidak mungkin mendekati Rena lagi, sebagai pria baik-baik, dia tentu tidak mau merusak hubungan Rena dan suaminya.
Sampai di warung nasi tempat kerjanya yang bercat putih, Rena melihat seorang wanita berusia 50 tahunan sedang membersihkan meja.
Wanita itu adalah pemilik warung, Bu Mega namanya. Rena menyapa ibu Mega "Selamat pagi bu," katanya.
Ibu itu menoleh, "Rena udah datang," sambil tersenyum.
Rena mengangguk dan langsung menuju meja mengumpulkan piring kotor untuk dicucinya.
Belum beberapa langkah, Rena merasakan kepalanya pusing, badannya berkeringat dingin, perutnya perih dan pandangan matanya kabur.
Dia ingat belum sarapan pagi. Ini karena ulah Rizal yang meminta uang tadi pagi. Membuat dirinya sibuk mencari pinjaman ke tetangga. Itu belum termasuk sakit yang ia terima dari tamparan Rizal.
Rena terduduk di kursi plastik hijau si dekat tempat cucian piring. Dia kehilangan tenaga untuk bangun dan bangkit.
Bu Mega datang dari depan melihat Rena memegang perutnya.
"Rena kamu kenapa pucat nak," tanya Bu Mega.
Wajah cantik Rena bertambah pucat dengan keringat yang mengalir dari dahinya.
"Perut saya sakit bu, saya lupa sarapan," katanya sambil memegang perut.
"Ya ampun nak, kamu kenapa gak sarapan," sambil memegang tangan kecil itu berdiri.
Bu Mega kemudian mendudukkan Rena di kursi makan. Sambil mengambil air putih hangat. Air mata Rena mengalir dan bertanya-tanya di dalam hati. Kenapa dirinya harus mendapatkan siksaan seperti ini.
Wanita itu di ambang batas kesadarannya. Menyerah dengan kegelapan yang menelan jiwa rapuhnya.
Di akhir kesadarannya, Rena berbisik lirih dalam hati. Bisikan kecil yang keluar dari relung hatinya yang terdalam.
"Rizal kenapa kau tidak membunuh aku saja."
Bisikan lirih itu terdengar dari bibir pucatnya. Bisikan yang hanya mampu di dengar angin dan lenyap tak tersisa.
Tak beberapa jauh dari Rena yang terpuruk akibat sakitnya. Rizal baru bangun dari tidurnya. Lelaki itu terduduk dan melihat uang di atas meja samping sofa yang ditidurinya.
Dia mengambil uang itu. Dengan perasaan sedikit berat dia menyimpan uang itu ke saku celana jeansnya. Dalam hati terbesit bahwa dia merasa kasihan kepada istrinya. Tapi, ada sesuatu hal yang membuatnya berlaku seperti itu.
Hanya dia dan tuhan yang tahu.
Deringan handphone membuyarkan lamunannya. Rizal mengambil handphone di sakunya. Di layarnya tertera nama Rena.
"Halo," ujarnya.
Tapi, bukan istrinya yang ada di telepon.
"Nak Rizal, ini Bu Mega. Rena barusan pingsan karena sakit perut akibat tidak sarapan. Bisakah kamu kesini," ujar Bu Mega.
"Baiklah saya kesana," jawab Rizal datar seolah tidak terjadi apa-apa.