Satu minggu setelah insiden mengerikan itu terjadi, Prisca masih saja mengurung diri. Bahkan, sudah berkali-kali ia melakukan percobaan bunuh diri, tetapi Prisca tidak sanggup melakukannya hak keji itu. Rasanya menyakitkan, seolah dunia juga tidak mau menerima calon jasadnya. Dan kini yang tersisa hanyalah rasa putus asa, perasaan yang hancur, serta seonggok raga yang sudah tidak bermahkota.
Prisca sudah terlalu malu untuk melihat dunia. Harga dirinya sudah tidak ada lagi, terampas oleh kebusukan sang ayah tiri. Oleh sebab itu, kebencian yang sudah ada kini semakin bertambah saja. Demi Tuhan! Prisca tidak akan memaafkan ayah tirinya itu, bahkan sampai ajal menjemput sekalipun.
Tentu saja keanehan yang tengah dialami oleh sang putri, membuat Laksmi merasa khawatir. Perihal penyebab dari sikap Prisca itu masih belum ia ketahui. Laksmi hanya mengingat di hari terakhir sebelum Prisca mengurung diri, kepalanya merasa pusing disertai kantuk yang tidak bisa ditahan ketika menjelang malam.
Dua orang pembantu pun tak bisa ia gali informasinya, karena mereka tentu sudah pulang ke rumah pada waktu itu. Hal yang sama juga berlaku pada Sujatma—sekuriti rumahnya—juga ada titah yang mengharuskan pergi ke luar.
"Mas, kamu tahu Prisca kenapa? Sudah satu minggu lho, dia mengurung diri di kamarnya," ucap Laksmi pada Burhan yang tengah asyik membaca koran, ketika dirinya tengah bersama pria itu di dalam salah satu ruangan.
Mata Burhan bergerak ke atas. Ia bergeming sebentar, kemudian tersenyum. "Tidak tahu, Sayang, mungkin bertengkar sama calon suaminya," jawabnya dengan kepalsuan.
Laksmi menghela napas. Sementara kedua bola matanya sibuk mengerjap-ngerjap. Tak hanya itu saja, kegelisahan yang semakin pekat membuatnya berjalan ke sana kemari di ruang keluarga tersebut.
Wanita paruh baya itu sedikit membenarkan dugaan Burhan. Hanya saja, pertengkaran pasangan macam apa, sampai membuat putrinya tidak keluar kamar dalam kurun waktu satu minggu? Selain itu, Prisca kerap melewatkan makan siang ataupun makan malam. Sekalipun menyantap hidangan yang diantarkan, hanya dilahap sedikit saja—tidak lebih dari tiga sendok.
"Hmm ... jangan cemas, Laksmi. Prisca sudah besar, kok. Lagi pula, wajar saja calon mempelai ada ujian pertengkaran semacam itu. Bukankah, kita pernah melewatinya dulu?" Burhan beranjak berdiri. Dilangkahkannya sepasang kaki besar itu untuk menghampiri sang istri. Segera setelah itu, ia memeluk pinggang Laksmi dengan mesra. "Apa perlu aku panggil Prisca untukmu?"
Laksmi bergerak menghadap Burhan. Kemudian ia tersenyum sembari menyentuh wajah suaminya itu. "Jangan, Mas, Prisca belum sepenuhnya menerima kamu. Maafkan aku, padahal kita sudah menikah selama dua tahun," jawabnya.
"Tidak apa-apa, aku paham, Sayang. Sosok ayah kandung memang sulit dilupakan. Mungkin karena hal itu, dia belum bisa menerima aku."
"Kamu tidak kesal, 'kan?"
"Kenapa aku harus kesal? Prisca juga anakku sendiri, lagi pula aku telah memberinya pelajaran berharga."
Dahi Laksmi berkerut. "Pelajaran berharga?"
"Tentu, aku ingin menjadi seorang ayah yang baik."
Burhan mengulas senyuman begitu lebar. Pelajaran berharga yang ia maksud sama sekali tidak dimengerti oleh sang istri, dan hal itu menorehkan sejumlah kepuasan tersendiri bagi dirinya.
Tidak ada sedikit pun rasa gentar yang menyerang diri Burhan, setelah kejahatan yang ia lakukan. Ia terlalu menganggap bahwa Laksmi hanyalah wanita tua yang bodoh. Meski tubuh serta wajah Laksmi cukup awet muda, nyatanya semua milik Prisca Nara jauh lebih indah dan mempesona.
Terkadang, Burhan masih ingin memberikan sesuatu yang ia anggap sebagai pelajaran itu untuk kedua kalinya. Tidak, tetapi sampai berkali-kali. Sayangnya, Prisca masih syock atas pelajaran pertama. Burhan masih ingin memberikan ketenangan, sampai saatnya nanti ia menemukan cara baru untuk mengulangi kejahatannya, sebelum Prisca menikah.
Sementara itu, masih tidak memahami pengakuan suaminya, Laksmi memilih melupakan kalimat ambigu tersebut. Tangannya lantas memeluk tubuh Burhan dengan gelayut manja. Tak ada sedikit pun rasa curiga, yang ada justru perasaan sayang dan rasa terima kasih. Keberadaan Burhan di sisi Laksmi sudah seperti malaikat yang menyelamatkannya dari kesepian hati.
"Sebaiknya kamu bujuk Prisca lagi agar mau keluar, Sayang," usul Burhan. "Aku juga rindu pada putri kita," lanjutnya sembari melepas pelukan Laksmi dari tubuhnya.
Laksmi tersenyum. Ditatapnya wajah Burhan penuh ketulusan. "Iya, Mas, aku harus bisa bujuk dia."
"Ya, kamu memang harus berhasil."
"Semoga saja, Mas."
Tak lama setelah itu, Laksmi undur diri. Ia meninggalkan sang suami, dengan rencana tunggal yakni naik ke lantai dua di mana kamar Prisca berada. Sementara Burhan masih mengembangkan senyumnya secara diam-diam, dengan perasaan begitu menggelora.
"Papa memang rindu padamu, Prisca sayang. Papa ingin kamu lagi," gumam pria itu.
Ketika telah sampai di lantai dua, mata Laksmi menatap pintu kamar Prisca yang tengah terbuka. Lalu, lima meter dari tempat itu Prisca tampak mengendap-endap ke arah balkon rumah.
"Prisca!" Laksmi tak mau kehilangan kesempatan, dan memutuskan berseru memanggil nama putrinya itu.
Mendengar suara sang ibu, Prisca terperanjat. Langkah kakinya pun terhenti. Sesaat ia terpaku, tetapi lantas menyadari atas keterpanaan itu. Prisca memutar badan. Tampak oleh matanya, Laksmi ada di sana. Prisca menggeragap detik itu juga. Tak ingin terlibat pertemuan, ia memutuskan untuk cepat-cepat menyeret kakinya kembali ke dalam kamar.
Sementara itu, Laksmi dibuat semakin tercengang dan tidak habis pikir. Ia sampai melebarkan mata dan rahangnya. Tak ingin terjebak dalam kegamangan lebih lama, Laksmi segera mengejar Prisca. Ia sudah tidak bisa lagi membiarkan putrinya mengurung diri.
Sesampainya di hadapan kamar itu, Laksmi memberikan dorongan kuat pada pintu, sebelum Prisca berhasil masuk ke dalam. Mereka saling berebut demi mendapatkan tujuan masing-masing. Prisca yang masih enggan menatap sang bunda, sementara Laksmi ingin sekali Prisca terbuka atas kondisinya.
"Prisca!"
"Pergi! Aku tidak mau lihat Mama! Pergi!"
Laksmi tidak lantas genyar. "Kamu kenapa, sih?! Bilang sama Mama jangan seperti ini dong!"
"Semua ini gara-gara Mama! Prisca benci sama Mama! Benciiii!"
"Prisca! Jaga mulut kamu! Kamu itu kenapa?!"
"Aaakh!"
Dorongan kuat dengan dukungan emosional, dilakukan oleh Laksmi. Ia menang dalam pertandingan atas perebutan kekuasaan selembar pintu, sementara Prisca terkapar di lantai dengan lemah.
Tanpa pikir panjang lagi, Laksmi membantu Prisca untuk berdiri. Namun usahanya ternyata dibalas tatapan tajam, serta tepisan secara kasar. Entah, Prisca hanya muak setiap kali melihat Laksmi setelah kejadian buruk menimpa dirinya. Terlebih, ketika ibunya itu justru semakin mencintai Burhan dengan segenap hati di setiap harinya.
Padahal selama ini Prisca sudah mengatakan jika Burhan memiliki perilaku aneh, sayangnya Laksmi tidak pernah percaya. Semua ucapan Prisca dinilai sebagai bualan tak berdasar.
"Aku bilang pergi!" Prisca membentak sembari memundurkan diri agar sedikit lebih jauh dari Laksmi.
Laksmi kehabisan akal. Kemudian, dengan suara lantang, ia berkata, "Jangan seperti bocah, Prisca!"
"Apa? Bocah? Mama pikir Mama adalah manusia paling dewasa, hah?! Apa Mama pernah mendengar, atau sedikit memahami apa yang Prisca alami?!"
"Makanya ngomong! Jangan mengurung diri tanpa kejelasan sebab kayak gini dong!"
"Ngomong?! Buat apa? Semua sudah terlambat! Mama sudah menghancurkan hidup Prisca. Prisca benci sama Mama. Mama tidak pernah percaya padaku. Lalu, apa? Masih bilang Prisca seperti bocah?!"
Air mata meluruh di kedua pipi Prisca, suara isak pilu pun turut terdengar dari bibirnya. Kepingan asa yang sempat Prisca kumpulkan, kini terpecah dan berceceran. Di rumah itu, tidak ada yang bisa ia percayai, sekalipun ibunya sendiri. Cinta buta membuat hati dan mata Laksmi sulit melihat kebenaran akan sosok suaminya.
Ketika melihat Prisca yang tiba-tiba histeris dalam tangisannya, Laksmi baru bersedia mengusir amarahnya. Ia bergerak mendekati putrinya itu. Namun apa daya, Prisca benar-benar enggan berada di dekatnya. Laksmi khawatir, takut, dan tentu saja sangat bingung. Entah apa yang menimpa Prisca sampai marah dan hancur seperti saat ini. Entah kesalahan apa yang ia lakukan, sehingga putrinya mengurung diri dan terutama hati.
"Boleh Mama tahu, di mana letak kesalahan Mama, Nak?" Laksmi bertanya pelan-pelan, merayu Prisca dengan sentuhan kasih sayang.
Namun pertanyaan Laksmi dibiarkan mengambang tanpa jawaban. Prisca masih hanyut dalam kepiluan. Terlebih ketika ia melirik ke luar pintu kamar, tampak pasang kaki yang besar berdiri di sana. Sudah pasti Burhan. Prisca takut! Gemetar hebat juga langsung menyerang tubuhnya pada saat itu juga.
Rasa syok yang masih bergelayut membuat Prica tidak bisa berkata-kata, selain menatap nanar serta ketakutan. Masih ada rasa khawatir begitu besar, tentang resiko Burhan akan mendekatinya lagi, di saat ia berani membeberkan kebenaran yang terjadi.
***