Anna menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Sudah pukul dua pagi, dia belum bisa tidur. Anna mengira Farid akan kembali. Namun sampai saat ini, suaminya itu tidak mengirimkan pesan kepadanya.
"Farid sampai kapan bersama Salma? Apakah dia tidak tahu, aku adalah istrinya di sini!" gerutu Anna di dalam hati. Tiba-tiba saja perasaan sesak menghampirinya. Anna benar-benar tidak suka dengan kelakuan Farid.
Dring!
Ponselnya bergetar. Anna bergegas mengangkat teleponnya. Ada nama Farid tertera di layar ponsel saat ini. Anna menghela napas panjang.
"Assalamualikum?" sahut Anna lirih.
"Waalaikum salam, Anna. Kamu sudah tidur?" tanya Farid segera. Anna tidak menjawab. Dia fokus mendengarkan suara perempuan di samping suaminya itu.
"Farid, bisa bicara dengan Salma?"
Farid bergegas memberikan ponselnya kepada Salma. Kekasihnya itu segera mengambil ponsel lalu meletakkan di samping telingannya. Anna menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. "Halo?" sahut Anna kemudian.
"Salma, aku sudah katakan kepadamu. Jangan pernah dekati Farid lagi. Aku tahu bahwa kamu sedang sakit, tapi Farid adalah suamiku sekarang," ucap Anna kemudian. Entah dari mana keberanian itu muncul.
"Anna," ucap Salma pelan. Suara perempuan itu benar-benar lembut.
"Aku tidak merebut Farid," sambungnya kemudian.
"Dia datang ke sini karena aku sakit, aku bisa menyuruhnya pulang jika kau mau," jelasnya. Anna menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan. Entah mengapa tengorokannya terasa kering. Pasukan oksigen di paru-parunya seakan menipis.
"Aku tidak berniat merebut Farid, aku dan dia memang saling mencintai, Anna!"
"Jadi, perlu waktu untuk benar-benar …,"
"Aku tidak peduli, dia suamiku sekarang! Kau harus menjaga jarak!" potong Anna segera. Anna tidak bisa menutupi rasa cemburunya, Anna ingin marah kepada Farid akan sikapnya itu.
"Baiklah, aku akan menyuruhnya pulang, Anna!"
Beberapa menit kemudian, sambungan telepon terputus. Anna menghela napas panjang. Dia memijit pelipisnya yang terasa sakit.
Anna mencoba menutup matanya sambil menunggu Farid pulang. Lelaki itu harus tahu posisinya di rumah ini. Anna tidak bisa membiarkan Farid seperti itu. Satu jam menunggu Farid, Anna mendengarkan suara seseorang yang sedang membuka pintu. Anna melirik jam dinding yang berada di kamarnya. Sudah pukul tiga pagi. Farid baru saja datang.
Dari celah pintu, Anna bisa melihat wajah Farid yang tampak tidak bersemangat. Rupanya Salma mematuhi ucapannya sendiri.
Anna mencoba terlelap tidur. Namun entah mengapa, ekspresi Farid yang tidak semangat benar-benar menganggu pikirannya.
Klek~
Pintu terbuka, Anna spontan menatap ke depan. Dia menatap Farid yang sedang memandanginya.
"Aku sudah katakan kepadamu, Anna. Sangat sulit untuk melepaskan Salma begitu saja."
"Aku tahu, aku adalah suamimu sekarang, namun aku perlu waktu!"
Setelah mengatakan kata-kata itu, Farid bergegas menuju kamarnya. Anna menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan pelan.
"Ya, kamu harusnya tahu, Farid. Kamu adalah suami sekarang! Mengapa seperti ini?" ucap Anna dari dalam kamar. Farid tidak mengubris. Lelaki itu menutup pintunya dari dalam.
***
Pagi-pagi buta, Anna sudah siap-siap menyediakan sarapan. Dengan tatapan lesuh, Anna bisa melihat Farid keluar dari dalam kamarnya lalu bergegas ke meja makan. Anna menghela napas panjang. Wajah lelaki itu benar-benar dingin. Anna merasa membeku di samping suaminya sendiri.
"Aku membuat susu cokelat dan nasi goreng kesukaanmu," ucap Anna memecah keheningan. Farid tidak mengubris. Seharusnya Anna yang kesal kepada lelaki itu.
"Kau masih marah?"
"Aku sudah katakan, aku tidak ingin kamu selalu bersama Salma karena ini tidak benar!"
Anna duduk di depan Farid sambil mengunyah nasi goreng buatannya. Lelaki itu sama sekali tidak memandangnya.
"Aku mencintai dia," jawab Farid segera. Dia meletakkan garpu dan sendoknya di piring lalu menatap Anna dengan pandangan serius.
"Kamu tahu kan, kita dijodohkan secara mendadak, aku tidak bisa begitu saja mencintaimu," jelasnya kemudian. Anna menunduk ke bawah. Entah mengapa bola matanya tiba-tiba memanas. Dadanya terasa sesak dan lidahnya mendadak keluh untuk berucap.
"Aku tahu, tapi tinggal bersamanya di dalam satu tempat itu …,"
"Kamu mau bilang aku zina?" sergap Farid kemudian. Anna menggelengkan kepala secepat mungkin. Dia tidak bermaksud seperti itu. Anna benar-benar tidak bermaksud mengatakan kepada Farid bahwa dia akan berzina.
"Kamu tahu kan, apa hukumannya jika seorang suami berzina?" sambung Farid lagi. Satu butiran air mata menetes di pipi Anna.
"Tapi, kamu seharusnya tidak …,"
"Aku selesai, Anna. Aku benar-benar capek denganmu!" ucap Farid kemudian. Dia bergegas mendorong kursinya lalu segera pergi dari meja makan. Anna menyeka air matanya. Entah sejak kapan, dadanya benar-benar sakit saat mendengarkan Farid membela Salma.
"Aku sungguh-sungguh dalam pernikahan ini, Anna. Tapi aku perlu waktu!" ucapnya kemudian.
***
Pukul sembilan pagi, Anna bergegas berjalan menuju loby apartemen. Pandangannya tertuju kepada sebuah mobil silver yang terparkir rapi di depannya. Anna tahu siapa pemilik mobil itu.
"Kak Afdan?" sahutnya. Lelaki tampan itu kemudian turun lalu tersenyum menatap Anna yang memandanginya dengan kening berkerut.
"Mau ke rumah sakit?"
"Biar aku temani," ucapnya. Afdan kemudian membuka pintu lalu mempersilahkan Anna untuk masuk.
"Tidak perlu kak, aku …,"
"Tidak baik menolak Anna, aku bermaksud baik," potong Afdan kemudian. Senyum hangat terukir manis di pipinya.
"Baiklah," ucap Anna kemudian. Dia masuk ke dalam mobil. Afdan bergegas menutup pintu dan mulai menjalankan mesim mobilnya. Perlahan, mobil silver itu melaju meninggalkan area apartemen.
Anna menghela napas panjang, dia menatap Afdan dari balik spion mobil. "Mengenai makan malam itu, aku benar-benar serius!" ucap Afdan kemudian. Dia melirik wajah Anna. Menunggu jawaban perempuan itu saat ini.
"Rencana pernikahan?" ucap Anna segera.
"Ya, bagaimana?" balas Afdan. Anna mengusap wajahnya secara perlahan. Ini benar-benar gila, dia tidak mungkin menerima lamaran lelaki lain. Kini, Anna merasa sama jahatnya dengan Farid.
"Jika kamu belum siap, aku bisa menunggu," ucap Afdan. Anna semakin bingung. Dia tidak menjawab, Anna mengalihkan pandangannya. Dia melihat setiap daun-daun gugur yang memenuhi badan jalan. Musim gugur di Turkey benar-benar membuatnya merasa tenang.
"Sudah sampai!" ucap Afdan kemudian. Anna menatap keluar. Dia kemudian membuka pintu lalu bergegas turun dari kabin mobil.
"Jika sudah ada jawabannya, tolong hubungi aku yah," ucap Afdan. Wajah lelaki itu terlihat dari balik jendela mobil. Anna hanya bisa menganggukan kepala. Setidaknya dia bisa memberikan jawaban walaupun benar-benar tidak jelas.
Anna berjalan masuk ke loby rumah sakit. Dokter Aldi memandanginya dari kejauhan. Lelaki itu tampak tidak bersahabat.
"Dokter," ucap Anna sambil melambaikan tangan. Wajah dokter Aldi mendadak dingin.
"Bersama kekasihmu?" sergapnya. Anna menggelengkan kepala.
"Kamu mau makan malam bersamaku? Aku benar-benar serius mengajakmu!" sambung dokter Aldi. Anna menghela napas panjang.
"Aku tidak bisa!" ucap Anna segera. Lelaki itu bergegas pergi tanpa mengucapkan satu kata pun. Wajah dokter Aldi benar-benar tidak bersahabat pagi ini.
Bersambung …