Chereads / Lelaki Bayaran dari Saudara Ku / Chapter 23 - Sebuah Katana

Chapter 23 - Sebuah Katana

"Dia memang tsundere, tapi dia lebih pas disebut yanderebketimbang tsundere," ujar Ryou sedikit menyangkal pernyataan Elisio tersebut. Nampaknya pria tampan itu mulai emosi menghadapi perilaku Alyosha yang seringkali sadis dan tanpa ampun pada Ryou.

Kalau begini namanya, Ryou sedang mengikuti simulasi menjadi masokis, bukannya sedang dijodohkan.

Miris.

"Aku kira kau memang masokis, Ryou. Tapi kalau tidak juga tidak apa-apa. Karena pada akhirnya kau akan tetap menjadi seseorang yang masokis. Karena Alyosha akan menjadi pasangan yang sadistik untukmu," ujar Elisio sembari berlalu dari sana.

Ryou hanya menatap kepergian Elisio dan mebggelebg pelan. Entah apa yang dipikirkan oleh lelaki berambut panjang itu hingga selalu berpikiran demikian. Sangat bersemangat dan antusias bila melihat Ryou disiksa oleh saudarinya itu. Padahal Ryou hanya ingin menjalankan apa yang ada di perjanjian itu dengan tenang dan tanpa gangguan.

Ryou merenung, ia tak menyangka kalau kehidupannya sekarang akan berubah 180 derajat dari dulu. Dirinya yang bebas pergi kemana pun, mencari inspirasi berkarya setiap hari, jauh akan yang namanya asmara, tak mengenal dunia kekerasan, kini masuk ke dalam dunia yang keras dan penuh selubung yang dalam dan tak berliku-liku, mengenal asmara yang panas, dan juga diikat oleh sebuah perjanjian.

Ryou tidak merasa terpaksa, dia tidak merasa dikekang, ia hanya menjalani kehidupannya apa adanya. Ia juga tidak berniat untuk kabur ataupun melarikan diri kalau ada kesempatan.

Dia penasaran dengan kehidupan rumit dan penuh beban yang dialami oleh Elisio dan Alyosha. Mereka dapat menjalani kehidupan penuh ancaman dan politik bahasa seperti itu, membuat Ryou kagum. Ini baru awal, dan ia sudah menemui kejadian yang menegangkan. Baku hantam, dengan berbagai macam senjata api yang menurutnya keren dan menarik.

Terdengar kekanakan mungkin, tapi begitulah Ryou. Hidup yang monoton bukan inspirasi yang baik untuk karyanya. Ryou bahkan sudah punya ratusan ide yang hendak ia tuankan dalam karya lukisannya nanti.

Tapi apakah nantinya ia masih dapat melukis dengan tenang?

Sekali terjun dan terkait dalam kehidupan penuh intrik dan pertarungan seperti itu, mungkin akan membuat Ryou kehilangan kehidupan normalnya dulu. Berjalan dengan santai di tengah kota Manhattan atau Berlin dengan senyuman cerah sembari membawa alat lukis. Menyapa banyak orang dan berkeliling kapanpun ia mau tanpa merasa waspada kalau ada musuh yang menyerang.

Ryou sudah bosan dengan kehidupan seperti itu. Katanya.

Entah benar atau tidaknya pernyataan itu, tapi Ryou sudah merenungkan dalam-dalam. Ia yakin kalau ia takkan menyesali keputusannya tersebut.

Toh, Ryou juga tak bisa mengelak dari itu semua. Perjanjian itu mengarahkannya menjadi sosok yang lebih berbeda.

Atau mungkin, Ryou punya bakat alami untuk berada di dalam dunia seperti itu?

Bahkan sekarang ia tak mempermasalahkan atau terbayang-bayang dengan pembunuhan yang ia lakukan waktu itu. Baru sehari setelah ia membunuh salah satu anak buah musuh Alyosha, ia sudah seakan-akan melupakan semuanya. Ia seperti tak pernah menghilangkan nyawa siapa pun baru-baru ini.

"Hei."

Ryou menoleh, sosok wanita berpakaian santai bersender di kusen pintu kamar tersebut. Ia bersedekap, berdehem pelan lalu berjalan ke arah Ryou.

Pria oriental itu bisa melihat kalau ada sebuah katana yang dipegang oleh wanita itu. Setelah berada tepat di depan kasur Ryou, berhadapan dengannya. Ia melempar katana tersebut yang langsung ditangkap olehnya walau ia hampir menjatuhkannya.

Katana dengan sarungnya yang berwarna biru terang. Kemarin ia menggunakan warna merah, dan sekarang ia diberi warna biru.

"Untukku?" tanya Ryou. Ia bertanya dengan wajah polos pada Alyosha. Gadis itu hanya mendengus kan tawa dengan seringai tipis di wajahnya.

"Ya, kau pikir untuk apa aku menyerahkan ini untukmu? aku tidak akan menyuruhmu memasak atau memotong daging menggunakan katana di sini. Dan lagipula aku sudah punya koki."

Lelucon yang tak terdengar lucu. Tapi Ryou berusaha menangkap maksud dari Alyosha yang memberikan katana tersebut. Apakah ini berhubungan dengan sebuah kasus atau kejadian yang hendak ia tangani, atau hanya sebuah pemberian belaka sebagai bentuk hadiah karena ia telah menyelamatkan nyawa Elisio.

"Aku punya dua, satu sudah kau ambil. Jadi sekalian saja aku berikan satunya. Toh, aku tidak ahli memakai senjata tajam seperti itu. Aku suka ledakan dan pukulan. Kalaupun disuruh memilih senjata manual, maka aku akan mengambil sarung tangan berduri untuk memukul musuhku ketimbang mengambil sebuah katana dan membebaskannya. Aku lihat, kau punya bakat," ucap Alyosha. Ia ingin memberi hadiah tapi berdalih dengan ingin memberikannya karena tak membutuhkannya.

"Terima kasih Alyosha." Ryou memandangi katana itu dengan mata berbinar. Alyosha menatapnya lucu, namun sedetik lain ia sembunyikan ekspresinya tersebut.

Gengsi nomor satu bagi Alyosha.

"Ya, sama-sama. Itu bukan apa-apa, karena aku juga tidak membutuhkannya. Dan... kalau kau tidak suka dengan warnanya aku bisa mengubahnya untukmu," balas Alyosha.

Lihat, bahkan sekarang ia sudah memperhatikan hal sedetail warna hadiah itu untuk Ryou. Padahal tadi dia bilang tak membutuhkannya, tapi menawarkan untuk memesankan warna lain untuk Ryou.

Tak ada jawaban, Alyosha menautkan alisnya heran.

Sosok pria Jepang yang tampan itu malah terlalu asyik memainkan katana yang ada di tangannya tersebut. Ia elus, ia pandangi, ia perhatikan katana itu dengan saksama. Tapi yang tadinya senyum itu adalah senyum sumringah, kini berubah menjadi wajah serius yang nampak berkonsentrasi dengan katana barunya tersebut.

"Apa ini katana yang kau miliki sudah ada sejak tujuh tahun yang lalu?" tanya Ryou.

Pertanyaan itu menambah rasa heran Alyosha. Sejak kapan Ryou berubah menjadi pengamat senjata seperti ini?

"Ya, benar. Kenapa? apa ada bagian yang rusak? kalau ada yang rusak kau bisa menukarnya. Aku tahu tempat di mana orang bisa membuat katana baru seperti itu."

"Tidak! m-maksudku... kau tak perlu repot-repot melakukannya. Katana ini... katana yang spesial. Terbuat dari Tamahagane, atau bisa disebut permata baja. Ditempa selama kurang lebih enam bulan sampai benar-benar jadi dan bisa dipakai untuk bertempur."

Alyosha mengedipkan matanya berkali-kali, ia terkesiap dengan pengetahuan Ryou akan benda sejenis itu. Ia kira Ryou hanya orang awam yang kebetulan berkeliling ke berbagai negara untuk seni. Rupanya Ryou termasuk orang yang paham dengan senjata tajam sekelas katana.

"Di mana kau membelinya?" tanya Ryou. "Maaf bila aku lancang, tapi... katana sebagus ini biasanya jarang dibuat. Paling-paling hanya ditempa selama tiga bulan, karena pemakaiannya yang seringkali di selang-seling. Tapi bila senjata andalan utama yang dipakai terus menerus, akan memerlukan waktu yang lebih lama untuk membuatnya. Maka dari itu aku sangat penasaran di mana kau membelinya. Di Jepang saja sudah mulai berkurang penempa besi seperti ini."

Alyosha tercekat, seperti ada sesuatu yang menahannya untuk berujar.

"Itu hadiah."