Goresan 9 ; Desakan Lari Pagi
----
Netra abu-abu milik Mami Sandyakala menatap gadis yang sedang mengelap air matanya yang jatuh dari sudut matanya, ia memincingkan matanya dan menatap suaminya bergantian.
"Kamu nggak niat bawa istri baru kan? Atau malah ini anak kamu sama perempuan lain?" perkataan Mami membuat Sandyakala mengerutkan dahi bingung dan menatap sosok perempuan yang sedang berdiri mematung menatap kearah mereka.
Papi Sandyakala tertawa. "ya nggak lah sayang, kamu only for me."
"Mi, dia temen Sandyakala namanya Arunika dia juga tetangga kita." Sandyakala mencoba menjelaskan, kala Maminya masih tak percaya dengan perkataan sang Papi.
Arunika mendekat kearah Mami Sandyakala dan tersenyum sopan.
"Maaf Tante, saya menganggu. Saya Arunika temen sekelas Sandyakala sekaligus tetangga sebelah." Arunika tertawa pelan.
"Ini Tante saya buat brownis keju, semoga suka Tante." Arunika memberikan paper bag berisi brownis buatannya kearah Mami.
Wanita berusia tiga puluh lima itu tersenyum hangat dan menerima dengan senang.
"Makasih ya sayang, maafin Tante ya." Arunika tersenyum dan mengangguk sopan.
"Nggak papa Tante."
"Ayo kita makan bareng, mumpung masih anget." Mami Sandyakala merangkul Arunika untuk ikut berjalan bersamanya kearah meja makan yang sudah penuh oleh hidangan hasil eksperimen antara Mami dan Sandyakala.
Papi dan Sandyakala melihat dua wanita yang berjalan melewati mereka kearah meja makan dengan tatapan yang berbeda.
"Baru kali ini loh, Sandyakala bawa perempuan kerumah apalagi ini malam minggu." Mami Sandyakala membuka suara kala mereka sudah selesai makan.
"Iya, Papi aja kaget pas tadi Arunika berdiri didepan pelataran, Papa kira dia salah rumah." Papi Sandyakala ikut menimpali membuat Arunika tertawa pelan.
"Kamu kenapa nggak bilang sama Mami kalau ada temen yang mau main kerumah?" Mami Sandyakala, menatap putra semata wayangnya itu dengan tatapan mengintimidasi.
"Bukan temen Sandyakala Mi, lagian juga cuman mau belajar aja." Sandyakala masih fokus dengan makanan didepannya, tidak merasa bersalah atas ucapan yang laki-laki itu katakan.
"Sandyakala kok ngomongnya gitu sih." Mami Sandyakala menggeleng-ggelengkan kepalanya melihat tingkah anaknya.
Papi menatap Arunika dan tersenyum. "kamu tinggal sama siapa Arunika?"
"Sama Papa dan Mama, Om."
"Panggil Papi."
"Loh Pi, kan dia bukan temen Sandyakala cuman tetangga yang nggak diharapkan aja." Mami Sandyakala mencubit pelan tangan anaknya, kala ucapannya itu biasa saja membuat Arunika sedih. Dasar anak tidak ada akhlak.
"Nggak papa Tante, aku tetep suka sama Sandyakala kok." Perkataan blak-blakan milik Arunika membuat dua pasangan itu tertawa.
Sandyakala menatap Arunika dengan tatapan dinginnya, sedangkan yang ditatap hanya menampilkan deretan giginya yang rapi.
°°°°
"Kalau ada waktu main lagi kesini ya sayang." Mami tersenyum kearah Arunika, membuat gadis itu mengangguk berlebihan.
"Tiap hari juga bisa Tante, kan tetanggaan." Ekor mata Arunika melirik kearah Sandyakala yang masih memasang wajah datar.
"Udah sana pergi, Mama sama Papa gue mau istirahat." Sandyakala sedikit mendorong tubuh mungil Arunika.
"Sandyakala, Papi nggak pernah ngajarin kamu buat kasar sama perempuan ya." Papi menatap Sandyakala dengan wajah tegasnya, membuat Sandyakala hanya bisa menghela nafas pasrah.
"Maaf Pi."
"Minta maaf sama Arunika." Titah sang Papi, diangguki oleh Sandyakala.
"Gue minta maaf."
Arunika tersenyum dan mengangguk. "nggak papa kok, aku nggak marah karena kamu ebih penting dari apapun." Sandyakala mendengus sebal, meminta maaf pada Arunika adalah kesalahan besar.
"Yaudah Tante, Om. Arunika pulang ya." Arunika menyalimi tangan Papi dan Mami Sandyakala bergantian.
"Hati-hati sayang." Mami Sandyakala tersenyum dan diangguki sopan oleh Arunika.
"Bye Sandyakala, see you tomorrow." Arunika melambaikan tangannya, sedangkan Sandyakala menatap perempuan itu nyalang, bukannya takut ia malah tertawa.
Mami dan Papi Sandyakala diam-diam tertawa pelan, melihat tingkah perempuan teman Sandyakala. Hingga, sosok Arunika sudah hilang dari pandangan barulah kedua orangtua Sandyakala kembai berucap.
"Arunika unik ya Pi, cocok sama Sandyakala."
"Papi setuju." Timpal sang Papi. Sandyakala memilih masuk terlebih dahulu sebelum ia kembali mendengar kata-kata yang sangat teramat membuat dirinya ingin mati ditempat.
°°°°
Matahari mulai masuk kedalam sela-sela kamar laki-laki yang membiarkan tubuhnya tidak menggunakan baju. Tidurnya sedikit terusik, hingga akhirnya ia memilih untuk bangun.
Langkah kakinya membawa Sandyakala untuk menuju balkon kamar, ia mengeser pintu penghubung antara balkon dan kamar milik laki-laki itu. Tanpa ia sadari jika sejak lima menit yang lalu gadis dengan hoodie hitam sudah berdiri dibalkon menatap kearah kamar Sandyakala dengan senyuman mautnya.
Matanya malah tidak berhenti menatap Sandyakala, saat melihat laki-laki itu dalam keadaan shirtless.
Laki-laki itu membulatkan matanya kala melihat perempuan yang sangat ia jauhi keberadaanya, malah menatapnya dengan tatapan lapar. Sandyakala bergidik ngeri.
"Sandyakala, ayo lari pagi!"
Laki-laki itu menatap Arunika dengan tatapan yang lebih ke jijik, karena gadis itu malah menampilkan deretan giginya yang menurut Sandyakala sangat teramat membuat matanya ternodai.
"Cewe gila!" desis Sandyakala, laki-laki itu kembali berjalan masuk dan menutup pintu balkon dengan tidak santainya, membuat bunyi nyaring akibat pintu itu.
"Anjir, kasihan tuh pintu." Arunika tertawa pelan.
Jangan kalian kira Arunika tidak memiliki rencana, gadis itu buru-buru melangkahkan kaki keluar dari kamar.
Sandyakala mencuci wajahnya, mengosok gigi dan kembali memakai bajunya dengan langkah yang membawanya menuruni tangga. Netra abu-abu miliknya menatap sosok sang Mama yang sibuk mengolesi roti.
"Pagi, Mi.." Sandyakala duduk dan mulai memakan roti yang sudah sang Mama siapkan.
"Papi nyariin tuh diluar." Sandyakala menarik sebelah alisnya bingung.
"Mau ngapain Mi?" Tanyanya bingung.
"Mana Mami tau." Mami Sandyakala mengedikan bahu tak tahu dan mulai melangkahkan kaki menuju dapur.
Sandyakala memilih untuk menuju sang Papi yang keberadaanya dipelataran rumah.
"Kenapa Papi pang—" Perkataan Sandyakala terhenti, kala netra abu-abunya harus kembali menangkap sosok itu. Mengapa cewe gila itu ada dimana-mana sih.
"Kamu udah berapa kali nggak lari pagi? Sekarang lari sama Arunika." Perintah sang Papi tiba-tiba, membuat Sandyakala menatap sang Papi tidak percaya.
"Pi, tapikan Sandyakala cuman bolong satu kali." Sandyakala tak terima.
"Katanya mau daftar TNI, Papi nggak mau tau." Final sang Papi.
"Kamu lari pagi sama Sandyakala ya sayang." Papi Sandyakala tersenyum kearah Arunika yang mengangguk berlebihan dan berlalu masuk kedalam rumah, meninggalkan dua muda-mudi itu dipelataran mansion.
"Gue nggak niat lari pagi, mending lo pergi." Sandyakala menatap Arunika datar.
"Aku temenin kamu lari, janji nggak akan nganggu." Arunika mentap Sandyakala, meyakinkan laki-laki itu untuk mempercayainya.
°°°°
Taman kompleks perumahan, banyak diisi oleh manusia yang menikmati pagi dengan berolahraga atau sekedar menghirup udara segar.
Memangnya saja Sandyakalaya yang terlalu percaya dengan bualan Arunika, karena nyatanya sejak tadi gadis itu menganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih keranah ingin mendaftar menajdi kekasih Sandyakala.
"Sandyakala, kapan kamu suka aku sih?" Gerutu Arunika.
••••