"Mbak Ree, aku mau ambil surat cutiku," kata Nina muncul tiba-tiba ketika aku baru saja mengusap layar ponsel.
Aku menarik napas sambil mengerjap beberapa kali sebelum mencari dokumennya di antara berkas yang sudah ditandatangani.
'Kenapa baru datang sekarang? Kenapa harus ambil sekarang?'
"Ah, ini dia!" Aku bernapas lega sebelum meneruskan bertanya, "Kapan terakhir masuk, Nin?"
Dia menerima berkas dariku sambil menjawab, "Insha Allah bulan depan, Mbak. Suamiku juga bakal pulang bulan depan."
Aku mengangguk. "Terus, pengajuan surat cuti yang tempo hari kamu bilang itu maksudnya gimana, ya? Saya bingung."
Dia tersenyum sementara mataku jatuh ke perutnya yang sudah besar. Aku tidak bisa bayangkan kalau lift tiba-tiba mati, lalu dia harus turun menggunakan tangga ke lantai satu.
"Kata suamiku, perusahaannya bakal setujui permohonan cuti lahiran, kalau ada lampiran surat cuti istri," jawabnya lalu melihat kertas tersebut. Membuka lembar demi lembar.