Karena baru saja kembali setelah bicara di telepon, Sari terbengong di ujung pintu dapur menyaksikan apa yang dilihat oleh matanya. Ponsel mahal di tangannya digenggam di perut. Perlahan dia berjalan kebingungan, melihat kami berdiri mengerumuni Arin yang sedang menangis.
Aku melihatnya sejak tadi dari kejauhan, dan berharap bahwa situasi ini tidak menjadi pelik. Namun, Arin tidak mampu menahan sedih yang dirasakannya. Mungkin dia berpikir bahwa Tia tidak menyayanginya?
"Hei, kenapa Arin nangis?"
Sari semakin mendekat. Kubiarkan siapa pun di sini ambil bagian menjelaskan duduk perkara. Aku tidak berminat untuk itu. Tangis Arin semakin tersedu bersamaan bulir air mata yang jatuh sebesar biji jagung. Air mata kesedihan –dari lubuk hati yang paling dalam. Aku pun sering mengalaminya.
Arin menyembunyikan mukanya di leher Tia. Sementara pelukan Arin semakin kencang, Tia terlihat merasa bersalah sembari menggosok punggung gadis kecilnya.
"Duduk, Tia."