Ketidakadilan yang kuterima di rumah menyebabkan lingkungan yang memberi hal serupa padaku. Ibuku yang tidak adil, yang bersilat lidah, yang akhirnya membuatku serba salah dan selalu merasa bersalah bila tidak mengerti orang lain.
Ironis sekali hidupku, bukan? Meskipun aku tahu bahwa masih ada orang yang hidupnya lebih ironis dariku.
"Jangan jadi orang toxic kayak mereka. Menghancurkan mental orang lain," kataku semakin emosional.
Rais tidak berkata apa pun. Dari balik mataku yang berkabut tebal, bisa kulihat dia diam memandangku. Ekspresi kehilangan kata-kata. Seharusnya dia tidak melontarkan pertanyaan itu.
"Aku bukan tukang bikin senang orang lain. Aku cuma mau orang lain menghargaiku, jadi aku bakal berbuat kayak mereka berbuat ke aku," sambungku dengan menggunakan kata 'aku.'
Aku tidak lagi membatasi diri dalam sekat atasan dan bawahan, sekat tata kesopanan berbahasa, penggunaan kata 'aku' di sini justru menjadi ekspresiku meluapkan uneg-uneg.