"Tunggu! Kamu yakin mau pulang masih ujan kayak gini?"
Dia berusaha menghadangku ketika akan membuka pintu pantry. Berdiri di depanku memegang pegangan pintu. Tas laptop tersandang di bahu, dia persis seperti anak kuliahan pasca sarjana sedang dalam masa tesis.
"Udah biasa juga, Pak." Aku berhasil menggeser tangannya dari handle pintu. Namun, tangannya kembali lagi ke tempat tadi.
"Tapi, kan, kamu nggak bawa mantel?"
"Ck, iya, tapi saya bisa pulang dengan jalan pelan-pelan, mumpung udah reda. Insha Allah, nggak apa-apa, kok. Saya mau pulang, boleh pintunya dibuka, Pak?"
Sikapnya serba salah dan gugup, sebelum aku melihat ke tangannya yang masih diam tak bergerak menekan handle pintu.
"Kamu nggak penasaran alamat rumah siapa yang saya cari?"
"Kenapa saya harus penasaran? Lagian juga bu Nila, kan tetangga saya," sahutku dengan kening mengerut. Nadaku ketus dan tidak terdengar antusiasme dari gayaku bicara.
"Iy –iya … maksudnya, serius kamu nggak penasaran siapa itu –"