"Astaghfirullah, Pak. Masa Bapak nggak mikir sih? Dia udah segitu songongnya waktu di ruangan, lagian juga kalo kita nggak bisa beli, kita bisa cari pembeli lain. Bikin offering yang menarik –"
"Saya tahu menjaga reputasi itu penting bahkan harus, tapi bukan dengan turut andil dalam pembicaraan tanpa izin saya."
Aku kehilangan kata-kata secara tiba-tiba, padahal ada banyak di kepalaku yang keluar untuk dilontarkan. Aku ingin keluar sekarang. Turun ke bawah menenangkan diri dengan segelas es teh. Oh, tidak. Ini sudah sore, waktunya pulang dan bersantai di satu tempat menikmati kesendirian. Dia juga bergeming.
"Seharusnya Bapak juga info ke saya kalau kita nggak jadi beli Bucksrouns –"
"Jadi, kamu nyalahin saya?"
Aku tercekat.
Dia toxic.
Dia toxic.
Dia toxic.
"Ok, baik. Saya salah. Saya nggak akan ulangi lagi. Apa pun yang terjadi pada perusahaan ini selanjutnya, bukan urusan saya. Urusan saya cuma sampe Bucksrouns selesai diakuisisi," janjiku tegas dan mantap.