"Loh, halo … halo … halo …?"
'Mampus aku!'
Aku menaruh gagang telepon dan menekan tombol interkom ke ruangan si Duren. Ah, benar-benar kacau. Kalau tahu begini, kupanggilkan saja dia daripada runyam.
"Pak, pak Willy barusan menelepon minta disambungkan ke Bapak, tapi saya bilang lagi rapat. Dia maksa, trus teleponnya dimatikan."
"Aduh!"
Aku yakin si Duren pasti langsung menepuk jidat andai Emi tidak ada di sana. Dia menutup interkom dan Emi keluar tidak lama berselang.
"Mbak Ree, dipanggil bos," katanya sambil lewat.
Aku berdiri dan bergegas masuk. Tidak perlu mengetuk pintu, karena hanya aku yang boleh melakukan itu. Si Duren bertampang susah seperti akan kehilangan proyek trilyunan. Aku berdiri di belakang kursi, menunggunya yang sedang mengambil hasil cetakan di belakang kursinya.
"Kenapa kamu bilang saya lagi rapat?" Dia bertanya begitu melihatku dan langsung duduk.
"Emi kemari untuk urusan humas proyek terbaru, kan, Pak?" tanyaku yakin dan percaya diri.