"Tentu saja, karena saya adalah wali kelas kalian."
SMA Bangun Cita Karya. 07:00
"Baiklah, anak-anak. Waktunya..."
Seorang pengajar wanita terkejut saat setelah memasuki kelas yang pintunya terbuka. Murid-murid tampak sibuk sendiri di kelompoknya masing-masing sampai tak mengetahui bahwa pengajarnya telah tiba.
Pengajar tersebut menaruh buku absen dan ranselnya di atas meja dan berkeliling sambil meminum kopi yang dibelinya di coffee shop.
"Gambar yang bagus. Pernah mengirim hasil karyamu sebelumnya?" ia menghampiri anak lelaki yang seperti sedang membuat sketsa komik dan mengambil satu lembar untuk dilihat.
"Belum pernah."
"Cobalah. Siapa tahu ada yang melirik hasil karyamu." pengajar tersebut mengembalikan kertasnya.
"Gadis sepertimu ternyata suka otomotif juga ya. Saya punya yang seperti itu di parkiran sekolah." ia menyender pada satu meja, mengomentari gadis yang sedang membaca majalah otomotif di bagian motor custom sambil tangan satunya lagi sedang searching harga part yang ia ingin ketahui di ponselnya.
"Benarkah?" tanya gadis itu antusias.
"Nanti pulang sekolah lihat ya." ia menepuk bahu gadis tersebut dan beranjak.
"Coba mulai dari kunci G, lalu nada suaramu agak turun sedikit... ya begitu." kali ini pada anak laki-laki bertubuh subur yang sedang memainkan nada gitar dan melantunkan sebuah lagu.
"Saya melihat sesuatu yang berbeda sendiri di kelas ini darimu." sekarang menghampiri anak lelaki bertubuh atletis yang membaca buku tentang sejarah. Berbeda yang dimaksud adalah hanya dia yang tidak berisik dan fokus membaca.
Ia kembali ke meja guru dan mengetesnya sekali lagi.
"Selamat pagi...!" tak ada respon.
"Selamat pagiii...!" kali ini dengan suara yang lebih lantang. Namun sayang sapaan itu tetap tak didengar oleh mereka yang sedang sibuk sendiri.
Tak kehabisan akal, ia mengeluarkan sesuatu dari ransel besarnya.
Tiba-tiba saja suara sirine polisi menggema di kelas yang tak teratur itu dan sontak membuat mereka terkejut, ditambah suara mendengung khas pengeras suara yang begitu mengganggu.
"SELAMAT PAGI.." ucap salamnya sekali lagi melalui megaphone yang disetel ke volume maksimal.
"APA?" tanyanya sekali lagi menggunakan megaphone karena masih lemas menjawab salam.
"Pagiii...!" jawab mereka serentak.
"Nama saya... Salma Heriyanto. Saya adalah guru IPS dan pendidikan jasmani yang baru khusus kelas ini, dan saya ditugaskan untuk menjadi wali kelas di kelas yang terpojok ini. Tolong kerja samanya agar melewati tahun ini dengan baik."
Begitulah cara Salma memperkenalkan diri. Perawakannya yang sedikit lebih tinggi dari murid yang memiliki postur tertinggi di kelas ini membuatnya seperti teman sekelas, didukung oleh usianya yang terbilang masih muda, sekitar 23 tahun. Rambut bergelombang sebahu model poni belah tengah. Outfit di hari pertamanya mengenakan atasan lengan panjang berwarna abu, celana kulot hitam tiga perempat dan sepatu tinggi Air Jordan ungu tanpa kaos kaki. Lengan kanannya mengenakan jam tangan sport dual time hitam dan beberapa gelang yang terbuat dari karet, lintingan tali, sementara gelang batu-batu terbuat dari plastik di lengan kiri.
Kelas yang akan jadi tempatnya mengajar adalah kelas sebelas yang seisi kelasnya memiliki nilai terendah. Kelasnya berada terpisah dengan bangunan utama yang baru di renovasi beberapa tahun lalu dan berada di lahan yang dulunya menjadi tempat utama. Bersebelahan dengan ruang praktikum, tata usaha dan gedung administrasi. Sisi baiknya di kelas ini antara lain memiliki lapangan lama yang cukup luas dibanding gedung utama yang dimana murid-murid di gedung utama pun terkadang menggunakannya, dan bebas mau makan di luar lingkungan sekolah ketika istirahat seperti kafe atau warteg di sekitar sekolah, berbeda di gedung utama yang gerbangnya ditutup rapat namun terdapat kantin, suasana di kelas ini lebih senyap karena banyak pepohonan di sekitar. Bagian lahan yang masih kosong pun terkadang dibuat tempat parkir mobil untuk tamu-tamu sekolah. Wajar saja jika Salma tadi menggunakan megaphone karena tak akan ada yang protes akan bisingnya benda tersebut.
"Baiklah, sudah saya absen dan semuanya hadir. Bagus, bagus. Sekarang kita mulai pelajaran hari ini." puji Salma sambil tersenyum memperlihatkan giginya yang rapih.
Bahasan yang biasanya dilakukan di awal tahun ajaran baru bukanlah langsung ke pelajaran pertama, melainkan pendekatan terhadap hal-hal yang baru termasuk pengenalan dirinya ke murid-murid, baru setelahnya ke pelajaran biasa.
Selama dua jam pelajaran yang waktunya sekitar 90 menit ini Salma memahami, murid-murid yang masuk ke kelas terpencil ini tak semuanya bernilai rendah. Adapun yang melanggar suatu peraturan, dan hal-hal yang merugikan sekolah, namun kasus terbanyak pada nilainya yang sangat kurang.
"Siapa perempuan tadi sih? Datang-datang mainin toa saja." kata Marius kesal dengan logat Manado. Dia yang tadi fokus membaca.
"Guru baru kita lah, masih muda pula. Mungkin magang disini atau baru lulus kuliah." jawab Sara, gadis yang tertarik dengan otomotif.
Mereka berempat berkumpul di bagian belakang warteg 50 meter dari gedung utama yang jalannya menanjak bersama dengan Bonar yang tadi bermain gitar dan Dendi yang tadi menggambar karakter manga. Bagian belakang warteg tersebut biasa digunakan para murid untuk ajang kumpul dengan gengnya, dan sudah pasti ada yang merokok.
"Teman ngana masih di skorsing kah?" tanya Marius sambil menghisap vape stick.
*ngana: kamu
"Laras? Harusnya udah selesai dan masuk sekarang. Kayaknya bolos itu anak." jawab Sara.
"Bah enak kali jadi dia. Bisa pintar kali, tapi sayang aja dia beringas macam preman terminal." komentar Bonar dengan logat Batak.
"Ya tapi kan nanti absen berpengaruh juga meski dia pinter. Alfa lima belas hari dalam satu tahun ajaran aja bisa dikeluarin." tambah Dendi.
Sekembalinya dari sana mereka bertemu dengan Aldino di depan parkiran, murid seangkatannya di gedung utama beserta tiga orang temannya.
"Abis pada ngerokok ya, kelas terpencil?" ledek Aldino.
"Apa urusan ngana dengan kami?"
"Galak amat, yang bulan lalu kalah telak. Ya iyalah, anak rantau."
Kalimat tersebut membuat Marius naik darah dan hendak menyerang Aldino.
"Tak usah ngana ungkit-ungkit lagi masalah yang kemarin! Akan kita balas nanti ngana...!"
*Kita: saya/aku
"Coba aja, dasar bau ikan!"
Bogem yang akan Marius lemparkan tertahan kuat oleh sebuah tangan, yang ternyata tangan milik bu Salma. Ya, mereka sepakat untuk memanggil wali kelas muda yang baru ini dengan sebutan "Ibu"
"Simpan energimu." cegah bu Salma. Cengkeramannya cukup kuat untuk menahan tangan muridnya.
"Siapa lagi ini? Loe siapa hah?" tanya Aldino sombong dan mendorong pelan bu Salma seenaknya tanpa tahu siapa dirinya di sekolah ini.
"Ooh, jadi kamu murid di gedung utama? Saya guru baru di sekolah ini, khusus menangani murid kelas XII-IV. Karena tidak tahu, kali ini saya akan lupakan perbuatanmu barusan yang cukup kurang ajar untuk seorang murid kepada guru."
"Awas ngana nanti...!"
"Kamu mengenal mereka?" tanya bu Salma selagi berjalan.
"Rival kita saat ujian kenaikan kelas kemarin."
"Murid gedung utama." tambah Sara.
"Ooh."
Selasa pagi, pelajaran olahraga pertama kali ini dimulai dengan pemanasan dan peregangan tubuh, dilanjut dengan lari keliling lapangan seluas 100 x 50 meter sebanyak sepuluh kali.
"Jangan jalan ya, harus lari. Nanti saya suruh ulang dari awal loh." umum bu Salma melalui megaphone. Ia tak berganti pakaian, hanya menambahkan peluit dan topi cap.
"Macam mana pula sepuluh kali! Tahu begini saya sarapan sedikit tadi ah." keluh Bonar pelan.
"Ngana juga sih yang pagi-pagi sarapan makanan bersantan dan porsi lebih. Kapan kurusnya ngana?" jawab Marius.
Minggu pertama adalah dasar-dasar bermain bola basket. Dimulai dari memantulkan bola, mendribble dengan tangan secara bergantian sampai memasukkan bola, minimal mengenai papan gawang jika bola tak masuk keranjang. Marius dan gengnya terlihat cukup mahir dan tak terlihat lelah sedikitpun.
"Baru kemarin diomongin, dateng itu anak." kata Sara saat sedang menunggu giliran.
Anak yang dimaksud Sara adalah Laras. Ia baru sampai sekolah saat pelajaran olahraga berlangsung.
"Selamat pagi. Ooh, kamu kah yang bernama Laras? Saya wali kelasmu untuk tahun ini." sapa bu Salma ramah saat melihat anak yang dinamakan Laras.
"Ya. Pagi." jawab Laras cuek.
"Cepat ganti seragammu, kita olahraga sama-sama."
Laras tak membawa apa-apa selain alat tulis dan buku tulis di dalam tasnya. Bu Salma menghela nafas dan tersenyum lalu menyuruhnya memakai baju ganti di ransel olahraga miliknya.
"Nggak usah, saya pakai kaos lagi dibalik seragam ini."
Laras bergegas ke toilet lalu melepas kemeja dan rok panjangnya yang sudah memakai kaos hitam dan celana pendek longgar selutut.
Salma menyuruhnya membentuk kelompok yang terdiri dari lima orang untuk tanding kecil-kecilan, dan seperti biasa Marius bersama gengnya namun kali ini Laras bergabung. Perhatiannya kali ini tertuju pada lima murid yang 'bermasalah' menurut dewan guru.
"Ooh mereka hebat juga, kerjasama timnya kompak, terlebih Laras yang baru saja masuk hari ini. Pasti sebelumnya mereka sering kumpul bersama. Bagus, bagus." puji bu Salma dalam hati.
70 menit berlalu.
"Baiklah materi olahraga hari ini sudah selesai. Cukup bagus untuk pelajaran pertama di minggu ini. Silakan beristirahat sebentar dan kembali berpakaian seragam sebelum bel jam ketiga dimulai."
Satu bulan sudah Salma mengajar dan menjadi wali kelas disini dan sudah mempelajari sifat dan karakter setiap murid yang ada di kelasnya, terutama Marius, Bonar, Dendi, Sara dan Laras menurutnya menarik sekaligus menjadi concern utama permasalahan mereka. Namun yang menjadi perhatian utama adalah Laras, dimana Salma baru mengetahui bahwa Laras yang menjadi ketua dari Marius dan tiga orang lainnya. Ia seringkali datang beberapa menit setelah bel masuk sekolah berbunyi, terkadang setengah jam setelahnya. Datang selalu berkeringat sehingga sering mengipas-ngipas dirinya saat KBM, karena hanya di kelas ini yang tak mendapat fasilitas AC dan masih mengandalkan kipas gantung dan angin yang berhembus. Kesehariannya begitu pasif dan hanya bergaul dengan gengnya. Meski begitu Laras merupakan murid terpintar di XI-IV dan selalu menjawab setiap soal dengan sempurna ketika ditanya.
Kegiatan belajar mengajar hari ini berjalan cepat karena ada rapat para dewan guru. Seluruh murid dipulangkan sebelum tengah hari bolong.
"Eh Lay, mau langsung pulang kah?" tanya Bonar saat berberes.
"Tau nih, nggak seru kalo langsung pulang. Kemana dulu kek gitu." tanggap Sara.
"Mau makan di mie ayam Pak Suban? Tadi gue liat di aplikasi ojek udah buka dia. Baru pulang dari kampung mungkin." usul Dendi.
"Ide bagus. Kita sudah lama tak makan mie ayamnya yang enak itu." Marius terlihat senang.
"Kalo cuman makan sih gue bisa. Ayo." Laras menerima usulannya dan mereka berlima langsung menuju tempat yang dimaksud.
Warung mie ayam Pak Suban terletak 50 meter dari sekolah tepatnya diantara turunan dan tanjakan jalan, tempatnya berupa seperti warung makan yang tersedia meja dan kursi. Jika diantara warteg, sekolah dan warung mie ayam, lokasi sekolah berada di tengah-tengahnya. Mienya yang keriting dan rasa kuahnya yang ringan membuat tempatnya ramai dikunjungi, terutama dari anak-anak murid SMA Bangun Cita Karya saat jam makan siang maupun pulang sekolah. Namun yang bisa menikmati kedua waktu tersebut hanya murid-murid kelas XI-IV yang diperbolehkan makan di luar sekolah asalkan tak terlalu jauh.
Laras dan gengnya tiba lebih dulu disana. Tidak terlalu ramai karena belum waktunya jam makan siang.
"Hei Bapak, kami pesan seperti biasa ya. Sudah lama tak makan mie ayam ngana ini." Marius memesan makanan dengan mendekati gerobak yang berada di luar warung makan. Pak Suban tersenyum dan mengacungkan jempol.
Beberapa murid SMA Bangun Cita Karya mulai berdatangan saat mereka di pertengahan makan, termasuk kelompoknya Aldino.
"Minggir! Ini tempat kita biasa makan." usir Aldino saat melihat spot makan biasa ia dan kelompoknya makan ditempati oleh mereka.
Marius kelihatan terpelatuk mendengar ocehannya namun kali ini ia harus tahan. Sebelumnya Laras mengingatkan mereka untuk tenang jika hal yang tak diinginkan terjadi. Dendi yang duduk di sebelahnya pun ikut menenangkan dengan cara menahan lutut Marius dengan tangan kirinya.
"Oyaa, pantesan tenang, ada bosnya disini yang udah balik dari hukuman." Aldino tertuju pada Laras yang sedang menyantap.
"Sebentar lagi..." jawab Laras tenang sebelum minum.
"Gue maunya sekarang."
"Lo ngerti Bahasa Indonesia nggak?! Liat juga nggak ini juga dikit lagi kelar kok...!" Sara justru yang seketika terpelatuk.
"Sara...!" Laras menegurnya.
"Kita pergi. Selera makan gue hilang." Laras berdiri dan menyudahi makannya. Disusul mereka berempat.
"Gitu dong. Sana balik ke rumah, nenek lo kan-"
Laras refleks memutar tubuhnya dan menghajar wajah Aldino dengan punggung tangannya, lalu menendang dengan sekuat tenaga hingga Aldino keluar warung dan jatuh tersungkur. Beberapa peralatan makan di meja jatuh berantakan terkena tubuh mereka. Teman-teman dari kubu Aldino dan Laras terkejut bukan main.
"Bilang sekali lagi tentang keluarga gue, bakalan gue kirim ke UGD detik ini juga!!" sambil menggenggam asbak dari kayu, Laras dengan cepat menghampiri Aldino yang tersungkur kesakitan. Sara dan Bonar sempat menahan gerakan Laras agar menghentikan perkelahian, namun itu tak membantunya karena tenaga Laras setara laki-laki dan terus memukul Aldino dengan asbak kayu yang ditepis olehnya dengan lengansampai membiru, sambil sesekali menendang Aldino.
"Ada apa ini...??!!" Bu Salma yang tadinya hendak ke parkiran melihat perkelahian anak didiknya, langsung berlari dan menahan pergerakan Laras sesampainya disana.
"Tolong hentikan ini, nak! Tahan emosimu." Bu Salma menenangkan Laras dan menyentuh dadanya.
"Loh Ibu bukannya sedang rapat?" Tanya Sara.
"Memang. Tapi ada berkas yang tertinggal di ruang guru bawah. Saya melihat ada ribut-ribut dan ada Laras yang sedang berkelahi."
"Pak. Maaf atas kejadian yang melibatkan murid saya. Nanti saya ganti kerugiannya ya." Bu Salam meninta maaf pada Pak Suban yang masih syok.
"Kamu lagi! Selalu cari masalah sama murid kelas bawah!" Bu Salma mengomeli Aldino dan gengnya.
"Hei, Kakak. Sudahlah jangan berurusan dengan mereka. Nanti Kakak kena juga." cegah Bonar. Hanya dia yang memanggil wali kelasnya dengan sebutan Kakak.
"Ada apa memangnya?"
Aldino dan gengnya meninggalkan tempat itu, di sisi lain Aldino sambil tersenyum jahat.
"Udah tenang. Kamu nggak apa kan?" tanya Bu Salma sekali lagi memastikan kondisi Laras.
Perlahan emosi Laras padam dan tenang.
"Lebih baik kalian pulang ke rumah masing-masing. Saya masih ada rapat lagi hari ini." suruhnya dan kembali ke sekolah.
Kepala sekolah menanyai Bu Salma perihal dirinya terlambat dan menjelaskan semuanya. Anehnya pihak kepala sekolah justru menyalahkan lima murid dari kelas XI-IV atas kejadian ini dengan alasan mereka sudah nakal dan brutal sejak dulu. Bu Salma belum bisa menunjukkan bukti bahwa Aldino Cs yang bersalah. Laras mendapat peringatan pertama di tahun ajaran baru dan terancam di skorsing kembali karena telah melukai Aldino, murid terpandai yang sering ikut lomba di bidang pendidikan.
"Bu Salma pasti berat ya baru jadi guru disini langsung jadi wali kelas bawah?" tanya Bu Darmo dengan logat medok. Ia merupakan guru matematika.
"Ooh nggak terlalu kok, Bu. Tes-tes saya sebelum lulus jadi Sarjana Pendidikan malah lebih berat. Hehe."
"Nak Aldino disini memang begitu, selalu diistimewakan."
Sebelum pulang, Salma mengunjungi ruang guru di gedung utama dan mengambil berkas-berkas berisi data murid kelas XI-IV untuk dibawa pulang diantaranya Marius, Sara, Bonar, Dendi dan Laras. Selama mencari, ia sedikit menguping tentang Aldino dari para guru yang mengobrol. Bahwa selama ini Aldino adalah anak dari teman baiknya Pak Kepala Sekolah, dan Ayahnya sendiri adalah donatur terbesar untuk pembangunan dan fasilitas sekolah ini. Jadi tak heran mengapa tadi Pak Kepala Sekolah langsung menyalahkan anak didiknya tanpa crosscheck dari dua pihak yang bertikai.