"Bapaak. Pak?" Sara langsung mencari Ayahnya setelah mematikan mesin motor maticnya di rumah.
"Oh, kamu baru pulang?" sahutnya sambil menuruni tangga.
"Ini soto mie Mang Uya nya." Sara meletakkan sebungkus berisi soto mie di meja dan menuju kamarnya.
Tak lama Sara keluar dengan hanya berganti atasan saja yang berupa kaos hitam lengan panjang bergambar suatu komunitas moge yang diikutinya dan tetap dengan bawahan rok SMA-nya yang panjang dan lebar, menuju bengkel custom tepat di seberang rumahnya.
Sara hanya tinggal dengan Ayahnya yang memiliki usaha bengkel mobil dan sepeda motor yang letaknya di seberang rumah dan mempekerjakan empat orang mekanik. Bengkel tersebut juga melayani custom untuk sepeda motor. Dari sinilah ketertarikan Sara pada otomotif lahir. Tak seperti kebanyakan anak pemilik bengkel yang hanya mau di balik etalase kaca dan mesin kasir, Sara sering melayani pelanggan seperti menservis, mengganti ban mobil sampai mengemudi mobil pelanggan yang selesai di servis atau diperbaiki ke rumah dengan sistem antar.
Apakah Ayahnya senang dengan yang dilakukan Sara selama ini? Tidak juga. Ia kurang suka dengan sifatnya yang terlalu tomboy walau tak sepenuhnya, yang dimana ia lebih suka mengenakan rok lebar dan berambut panjang. Teman sepermainannya di dominasi oleh laki-laki sementara perempuan masih bisa dihitung jari. Ia ingin anaknya lebih feminim. Sara juga tahu kalau Ayahnya tak suka dengan dirinya yang sekarang namun ia tidak mempedulikannya. Tak suka diatur adalah sifat utamanya.
Esoknya setengah jam setelah makan siang, Ayahnya membahas kembali hal yang paling Sara tidak suka, yaitu tentang dirinya yang terlalu tomboy. Bahkan ia memberikan satu goodie bag berisi aneka kosmetik wajah.
"Bapak sampe beli ini ke toko kosmetik?! Idiih..." Sara memandang aneh saat melihat isi tas tersebut.
"Ya nggak lah, masa Bapak ke toko kosmetik!? Bapak minta tolong beliin anaknya karyawan Bapak yang seusia kamu."
"Aku nggak bisa dandan. Lagian risih juga pakai gituan, keringetan dikit juga luntur. Lagian maksa banget aku buat lebih feminim sih!"
Ayahnya menjawab dengan alasan yang bertele-tele dan terkesan berputar-putar membuat Sara jadi kesal sendiri.
"Udahlah, aku mau ke bengkel dulu. Pusing dengering bapak gendut...!" Sara meninggalkan ruang makan.
"Sama Bapak sendiri nggak boleh body swimming!!"
"Body shaming, Bapaack..."
"Masih sempetnya aja ngelawak heran." keluh Sara dalam hati.
Sara melihat sepeda motor yang di modif custom warna matte cream terparkir di bengkelnya.
"Motornya kenapa?" tanya Sara.
"Mau servis biasa, ganti aki sama ganti oli." jawab salah satu mekanik yang sedang mencari barang di dalam etalase.
"Ooh yaudah aku aja yang ngerjain. Orang yang punya motornya kemana?"
"Ada di tempat kopi."
Tempat yang dimaksud adalah kedai coffee shop dua rumah setelah bengkelnya.
Sara mulai mengerjakannya. Dimulai dari menyalakan mesin yang agak sulit, mengecek tarikan gas sampai pengereman. Dilihat dari kendaraannya, si pemilik sepertinya sudah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk memodifikasi sepeda motor tahun 98 ini jadi seperti sekarang, hanya part mesin yang dibiarkan original dan beberapa rangka ada yang diubah atau dipotong. Selain itu sepertinya ini jarang digunakan, terlihat di beberapa bagian ada debu menempel dan sarang laba-laba di sela-sela mesin, jari-jari velg dan ban besar yang menjadi ciri khasnya pun masih tebal kembangnya. Joknya dibuat single seat dengan bagian buntut seperti ekor lebah dan sepasang spion yang modelnya berada di ujung bawah stang, speedometer model tabung yang masih berfungsi, suara tak terlalu berisik.
"Apa ada masalah?"
Suara yang dikenalnya itu membuat Sara terkejut dan langsung menoleh ke asal suara.
"Bu Salma!?"
"Siang." sapanya. Sara membalas sapa dan mengangguk.
"Ini... ada beberapa yang harus diganti juga kayak kampas rem, bohlam belakang, sama sein kiri."
"Ya sudah, ganti aja yang harus diganti. Kamu bisa kan?"
"Bisa dong...!" jawabnya antusias.
"Hmm... ini bukan motor yang biasa Ibu bawa ke sekolah?"
"Iya, ini khusus kalo ada acara besar komunitas aja. Sayang kalo buat harian, takut hilang. Hehe. Makanya jarang dipake, kebetulan baru bisa sekarang ngurusnya."
"Ooh, kukira tadi punya orang lain. Biasanya Ibu pakai hijau army, yang lampunya ditempeli lakban dan berbentuk X."
Tak lama datang satu per satu pelanggan, baik yang kebetulan lewat maupun yang sudah berlangganan sehingga bengkel menjadi agak ramai sekarang. Keadaan itu membuat Ayahnya keluar dari rumahnya dan bergabung di bengkel. Sara melihat Bu Salma bertemu dengannya dan mengobrol di meja persegi depan kasir.
"Ngomongin apaan Bu Salma sama si Bapak?" Sara agak curiga.
"Bagaimana? Sudah?" tanya bu Salma sekembalinya dari coffee shop lagi. Ia beranjak kesana setelah mengobrol dengan Ayah Sara.
"Udah, Bu." Sara beranjak dari kursi dan memberikan kunci motornya.
"Kamu nggak mau coba motor Ibu yang baru saja kamu servis?"
"Boleh, Bu?" tanya Sara memastikan. Bu Salma mengangguk.
Sara begitu senang dan mengambil helm di dalam kasir lalu dengan segera menyalakan mesin dan menunggangi sepeda motor wali kelasnya. Kendaraan klasik tersebut masih memiliki tenaga yang cukup meski umurnya tak muda lagi dan memang cocok untuk riding santai di kecepatan 50 km per jam. Sara ingin sekali memiliki sepeda motor seperti ini namun selalu ditentang Ayahnya dan hanya boleh mengendarai yang ada saja seperti sepeda motor matic, selama ini ia hanya memperbaiki, membongkar dan mengendarai milik orang lain tapi belum pernah memilikinya.
Esok lusa datang seorang pria botak, berkumis tebal dan bertubuh atletis datang ke bengkel keluarga Sara mengendarai motor tangki depan keluaran tahun 1997.
"Bisa dibantu, pak?" tanya Sara. Ia yang melayani.
"Dibikin custom ala Japstyle bisa?"
"Bisa, mungkin agak lama. Mau yang kayak bagaimana?" Sara menunjukkan katalog majalah berbagai model motor custom.
Pria itupun meminta Sara sendiri yang memilihnya lalu berdiskusi mengenai kisaran harga. Pria tersebut memberikan uang 10 juta Rupiah secara tunai. Sara pun menyanggupi dan ia sendiri yang akan mengerjakan proyek ini, dan ia bisa menyelesaikannya paling lama satu bulan mengingat Sara masih seorang pelajar.
Esoknya, Salma membeli buah-buahan seperti apel, jeruk mini dan pisang di sebuah pasar setelah pulang mengajar.
"Terima kasih ya." ucap Salma setelah membayar dan menerima bungkusan plastik berisi buah.
Di pasar yang mulai sepi menjelang sore hari, ia melihat seorang remaja perempuan tengah dirundung di pojokan oleh sekelompok preman.
Remaja itu terlihat sedikit melawan saat terlalu dipaksa oleh salah satu preman sampai menghantam dinding. Temannya tidak terima dan menjambaknya dari belakang sampai kepalanya membentur pintu besi yang seperti jeruji.
Sebuah tangan tiba-tiba datang menggantikan tangan remaja itu yang hendak ditutup paksa dan terjepit.
"Aahh...!" keluh Salma sekejap menahan sakit.
"Oi, siapa lo?"
"Laras?!" bu Salma terkejut karena yang sedang terpojok adalah Laras
"Ibu?"
"Kamu nggak apa?"
Ia mengangguk.
"Tiga orang laki-laki besar mengeroyok seorang gadis remaja? Apa kalian benar seorang laki-laki?" Salma mengambil batang rotan tak jauh darinya dan terlibat perkelahian singkat, yang pada akhirnya Salma berhasil membuat tiga pengecut itu lari karena pukulan perih rotan dari Salma.
"Maaf ya saya mencampuri urusan kalian."
"Nggak apa. Lagipula mereka juga preman yang meresahkan disini."
"Nggak biasanya kamu melawan."
"Aku harus menahan emosi disini kalo nggak mau berurusan sama mereka."
"Kamu sedang apa disini?"
"Ini pekerjaanku sehari-hari, sebelum dan sepulang sekolah. Sekarang belanja untuk kebutuhan nenekku."
"Pedagang kelapa tua?"
Laras mengangguk. Ia memakai celemek kulit yang menutupi dada hingga lututnya.
"Bantu-bantu Bibiku jualan." tambahnya.
"Sekarang sudah selesai? Saya bantu ya." bu Salma melepas jaket dan ranselnya lalu mulai membantu Laras.
"Kamu tinggal dengan mereka berdua?" tanya bu Salma setelah membantu merapikan lapak Laras.
"Aku sama nenekku, Bibiku beda rumah. Bulan depan Bibiku mau pindah ke kampung, disini kurang laris katanya."
"Hmm. Setelah ini ada keperluan lain?"
"Nggak, mau langsung pulang."
"Numpang saya aja, kebetulan saya mau ke rumah kamu." katanya menawarkan.
"Tidak apa?" Laras merasa tak enak.
"Tentu saja, karena saya wali kelas kamu." jawabnya tersenyum.
"Ngomong-ngomong, pekerjaan nenek saya tukang urut. Mungkin bisa mengobati lengan Ibu yang kejepit pintu besi tadi." Laras membuka obrolan saat di perjalanan dan kebetulan melihat lengan Wali kelasnya yang semakin membengkak.
"Oh ya? Kebetulan sih saya tadinya mau cari tukang urut."
Perjalanan dari pasar menuju rumahnya membutuhkan waktu 15 menit, sedangkan dari sekolah ke pasar membutuhkan waktu 20 menit dengan kondisi lalu lintas lancar. Betapa jauhnya jarak rumah Laras ke sekolah.
Sesampainya disana disuguhkan rumah yang sederhana dan banyak pot tanaman bunga di halamannya yang memiliki jalan setapak. Sang nenek sedang duduk di teras rumah.
"Nenek! Guruku mau mampir." Laras langsung mencium telapak tangannya dan memperkenalkan bu Salma padanya.
"Halo Nenek!" sapa bu Salma dan ikut sungkem.
Neneknya Laras sangat murah senyum.
"Aku mau bikin makan malam dulu buat nenek."
"Ibu bantu ya."
"Nggak usah, Bu. Temenin nenek aja, coba ajak ngobrol. Lagian katanya mau di urut?" tolaknya dan mendorong perlahan Bu Salma keluar.
"Oh iya. Hehe." Ia mengerti dan duduk di kursi sebelah nenek. Laras segera mengambil keperluan pijat sambil membuatkan dua gelas teh manis hangat lalu kembali ke dapur.
"Nenek. Tangan saya bengkak, bisa diobati kan?"
"Iya, bisa. Sini tangannya, dek."
Selagi dipijat, nenek membuka obrolan.
Obrolan tersebut mengenai cucu perempuan satu-satunya, Laras.
Saat ini Laras hanya tinggal dengan nenek. Ayahnya sudah lama meninggal dan Ibunya meninggalkan mereka yang beberapa bulan kemudian dikabarkan menikah lagi di Malaysia. Menariknya adalah tentang bagaimana Laras hebat dalam baku hantam yang ternyata turunan dari Ayahnya yang merupakan jawara di masanya. Laras kecil dididik dengan keras dan sering mendapat kekerasan fisik. Hal itu juga yang membuat Ibunya tak betah dan terkadang "kecipratan" dari kekerasan tersebut. Disaat sang suami meninggal itulah merupakan kesempatannya untuk meninggalkan mereka.
Seiring waktu, Laras tumbuh menjadi pribadi yang dingin dan keras jika ada yang memercik api kemarahannya. Meskipun begitu, sejak kecil Laras dikaruniai otak yang encer sehingga ia menjadi sangat cerdas. Masuk ke sekolah saat ini pun hasil dari beasiswa yang ia dapat saat SMP. Karena perbuatan berandalnya, Laras dijatuhi hukuman skorsing dan dipindahkan ke kelas XI-IV sampai saat tahun ajaran baru dimulai.
Baginya, Laras merupakan seorang yang pekerja keras dan sangat menyayangi neneknya. Ia bangun pagi untuk menyiapkan sarapan untuk sang nenek, ke pasar sebentar untuk membantu mempersiapkan lapak kelapa tua Bibinya, lalu menuju sekolah. Bu Salma baru menyadari mengapa Laras sering terlambat masuk dan seragam yang ia kenakan basah oleh keringat. Perjalanan dari rumah ke pasar ia tempuh dengan berjalan kaki dan tak ada akses kendaraan umum. Saat dari pasar menuju sekolah itulah ia menaiki kendaraan umum dan berganti sebanyak tiga kali.
Tanpa sadar Bu Salma mengeluarkan air matanya karena terharu sekaligus sedih mendengarnya.
"Tapi jangan bilang Cu Laras ya. Dia nggak mau dikasihani soalnya." kata nenek di akhir cerita. Bu Salma mengangguk dan mengusap matanya.
"Nak, saya pulang dulu ya." kata Bu Salma dari ruang tamu.
"Nggak makan dulu? Sebentar lagi mateng." tanya Laras saat keluar dapur.
"Saya buru-buru. Nggak usah."
"Hmm, nenek. Ini tambahan untuk keperluan sehari-hari, jangan bilang Laras ya." Bu Salma mengeluarkan uang senilai 500 ribu rupiah, melipatnya kecil-kecil dan langsung menyuruh nenek untuk menggenggamnya.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Dek."
Bu Salma mengangguk dan bersiap untuk pulang.
Sesampainya di rumah, adik bungsunya yang masih berusia 12 tahun datang membukakan pintu gerbang.
"Kakak...!" sapanya.
Melihat adik bungsunya, ia seketika teringat Laras tadi.
"Kak Salma bawa apa?"
"Buah-buahan. Kamu mau?"
"Kalo ada jeruk mini aku mau."
"Ada kok. Nih bawain." Salma mengusap rambutnya dan memberikan bungkusan itu.