"cakrawala yang terbentuk dari sebuah akhir, menghantarkan kehidupan lalu untuk menjelma menjadi cahaya yang membawa pada petualangan baru di alam semesta yang belum tersentuh, hingga menggapai titik akhir yang tak terduga"
Bumi, 24 Januari 2024.
Semarang, Indonesia.
Aku meraba-raba tumpukan baju kotor yang semakin menggunung di sudut sempit flatku, ruangan berukuran dua kali tiga meter itu hampir tak terlihat lagi di tengah bencana pakaian yang teronggok. Bau tak sedap merayap dari setiap helai kain yang terperangkap dalam tumpukan itu, menciptakan aroma yang mencemaskan.
Tanganku menemukan sehelai hoodie yang sudah teraba dua minggu lalu, terperangkap di antara bau-bau busuk yang bercampur menjadi satu. Meskipun tak sedap, barang itu masih layak dipakai dibandingkan dengan yang lain yang tercium lebih busuk lagi. Lalu aku sadar, seandainya aku tak begitu sibuk dengan tesisku selama sebulan terakhir, mungkin saja tumpukan ini tak akan sampai sebesar ini, hampir menutupi sudut ruangan dengan keberadaannya yang mencolok.
Aku mendengus ketika jam digital flat tersebut sudah menunjukan pukul 8.24 pagi. Jangan hari ini, aku tidak akan terlambat di pembukaan event game serta animasi terbesar tahun ini, tidak hingga aku mendapatkan action figure terbatas yang hanya mereka jual hari ini, dengan segera aku menyemprotkan satu botol pewangi pakaian ke hoodie itu.
Hal pertama yang harus kalian ketahui tentang diriku hanyalah, aku bukan sampah masyarakat, Setidaknya bukan hingga dua tahun lalu. Beberapa piagam penghargaan serta gelar sebagai lulusan terbaik dan tercepat di universitas terbaik menjadi buktinya. Bahkan saat ini pun gelar Magister juga sudah hampir kukantongi, satu bulan lagi akan ku genggam sertifikat itu di panggung wisuda seperti dua tahun lalu dalam wisuda sarjanaku.
Namun, senangnya keberhasilan itu disertai dengan beban yang tak terduga. Setelah upacara wisuda selesai, tunjangan yang selama ini kuterima dari kedua orang tuaku akan berhenti mengalir. Itu artinya, aku harus segera memikirkan cara untuk mempertahankan diriku secara finansial.
Dua tahun yang lalu, Ketika berhasil meraih gelar sarjana dalam waktu singkat, aku tidak begitu takut untuk terjun ke masyarakat. Aku yang berhasil lulus dengan predikat terbaik, serta sudah berhasil menduduki kursi sebagai pemilik dari beberapa outlet game center tentu tidak memiliki segelintir kecemasan tentang masa depan.
Hasil tabungan selama 9 tahun, serta gaji yang ku kumpulkan dari bekerja part time selama kuliah berhasil menjadi pondasi utama yang membangun bisnis game center tersebut. Tentu aku tidak melakukannya sendirian, seorang teman yang memiliki hobi sama denganku ikut berjuang dalam pengembangan bisnis tersebut.
Aku menatap pantulan diriku di cermin. Tubuh gempal dengan perut yang sedikit buncit dibungkus oleh Hoodie hitam yang melingkupi kaos putih, dipadukan dengan jeans hitam. Wajahku yang hampir penuh dengan bintik jerawat sangat jauh dari kata elok.
Kacamata dengan tebal minus enam tentu selalu akan bertengger di pangkal hidungku untuk membantu pengelihatanku. Aku meletakan sebuah topi Baseball diatas kepala, bukan untuk gaya tapi memang selama dua tahun terakhir ini tidak lengkap sebuah outfit bagiku jika melupakan topi, meski sedikit setidaknya benda itu bisa membantuku untuk membatasi pandangan mataku.
Dulu sebelum takut pada dunia, aku tidak pernah menggunakan topi. Kebiasaan itu mungkin muncul sejak dua tahun lalu ketika outlet game Center yang aku dan temanku namai Celestia Arcade, masih belum gulung tikar, waktu itu aku masih mempercayai semua orang, dan saat itu sahabatku masih belum memperlihatkan seberapa bencinya dia padaku.
Seharusnya hidupku berjalan tanpa kekacauan, terlahir di keluarga yang serba ada dengan semua pencapaian akademik maupun finansial menutup lobang-lobang kekurangan dalam diriku. Jika dilihat dari paras tentu banyak yang enggan menjalin hubungan denganku, baik romatis maupun sosial.
Namun setidaknya pencapaian baik akademik maupun finansial berhasil melindungiku dari kejamnya dikucilkan oleh masyarakat sosial. Aku punya teman, meski banyak dari mereka yang hanya memanfaatkan Finansialku, tapi aku tidak ambil pusing. Aku punya sahabat, kami berada di flat dan universitas yang sama. Sayangnya dua tahun lalu sahabat itulah yang berhasil membentuk diriku yang sekarang.
Aku senang bersosialisasi, bersikap riang dan membantu orang-orang. Aku juga punya banyak teman dan relasi. berbanding terbalik dengan sahabatku.
Dahulu sekali ketika masih berada dalam sibuknya memasuki semester dua masa perkuliahan sarjana, ketika Celestia Arcade baru saja berhasil mendirikan satu outlet, aku menyadari satu hal, tetangga flatku terus terlihat murung, mengunci diri di dalam flatnya.
Kami tidak berada dalam jurusan yang sama, namun aku tau apa masalahnya. Dia dijauhi seluruh teman sekelasnya. Aku punya banyak relasi mulai dari orang dengan jurusan atau fakultas yang berbeda, hingga tukang sayur kecamatan sebelah. Tentu aku tau apa masalahnya.
Waktu itu mereka bilang dia terlalu manipulatif, berusaha melakukan apapun agar tetap bisa berada di depan semua orang.
Dulu harusnya aku percaya pada gosip itu, harusnya aku tidak usah mencoba jadi pahlawan dengan mengulurkan tangan untuknya. Namun penyesalan itu baru datang ketika Calestia Arcade bangkrut, rekan bisnisku yang batal bertunangan, serta pandangan masyarakat sosial yang menatapku seolah aku adalah sampah yang paling menjijikan di dunia ini,
Dua tahun lalu, ketika aku menyadari adanya penurunan drastis dalam penilaian cabang game center-ku. Penyelidikan mengungkap sebuah foto fitnah yang menampilkan hubungan tidak senonoh antara aku dan mitra bisnisku tersebar luas di berbagai platform media sosial.
Berita-berita sensasional dengan judul seperti "Skandal Perselingkuhan Mengguncang Calestia Arcade: Pengusaha Muda Dituduh Terlibat" atau "Bukti-bukti terkait foto tidak senonoh dari pemilik muda Calestia Arcade: foto mereka keluar dari beberapa hotel ternama", berhasil membuat kemerosotan secara signifikan pada bisnis game center kami.
Karena dampak dari buruknya citra pemilik, Game Center dengan delapan cabang outlet tersebut Lambat laun gulung tikar, mitra bisnisku jatuh kedalam jurang depresi. Itu reaksi yang wajar terjadi jika bisnis serta kehidupan sosialmu hancur hanya dalam waktu 48 jam, belum lagi kekasihnya yang membatalkan pertunangan karena foto itu.
Tapi aku tidak begitu, awalnya. Pikiranku hanya satu, membereskan semua kesalahpahaman dibalik foto yang tersebar itu. Tidak sulit bagiku untuk melacak akun pertama yang menyebarkan foto hoax itu, dan menemukan pemiliknya.
Meski menggunakan akun palsu, aku tetap langsung mengenali Email pengguna akun tersebut. Bagaimana tidak, akulah orang yang membuat email itu, Ketika sahabatku yang dulunya tidak cakap teknologi meminta bantuan demi tugas akuntansinya yang harus dikirim via email malam itu juga.
Aku sudah berpengalaman dikecewakan jadi kupikir kali ini pun aku bisa menghadapinya dengan kepala dingin.
Setidaknya itulah yang aku pikiran, sebelum semuanya terjadi….
"kamu sudah memiliki segalanya, kehilangan sedikit tidak akan menghancurkanmu, seperti saat kamu mengambil dia dariku, dulu"
Dua tahun lalu kalimat yang keluar dari mulut sahabatku sendiri itu berhasil membuatku hilang kendali.
Sekelebat bayangan yang ku ingat adalah, cipratan darah yang menempel di buku jariku, tubuh lemas serta wajah memar dan penuh luka milik sahabatku yang terkulai kritis di depan kantor fakultas kami, serta beberapa tatapan orang-orang yang menusuk jantungku seperti belati tajam.
Rasa takut merayapi pikiranku, terutama ketika semua orang yang berada di sana, meneriaki ku, dan menatapku dengan pandangan penuh kejijikan—seolah-olah aku adalah penjahat paling tercela di dunia.
Manusia adalah hakim paling buruk, mereka menilai seseorang dari telinga tanpa melihat kebelakang.
Selain polisi yang menyeretku serta ambulan yang membawa tubuh lemas milik sahabatku, aku juga masih ingat beberapa lampu flash milik beberapa kamera, baik ponsel maupun digital.
Saat itu juga, Aku merasakan diriku tenggelam dalam gelombang kehinaan, terbuang dari lingkaran sosial yang pernah kugenggam erat. Semua rasa sakit dan penyesalan tiba-tiba memenuhi ruang kosong dalam diriku.
Setelah berusaha membangun kepercayaan sosial selama 21 tahun, sekarang semuanya hancur, karena sebulan hingga dua bulan sejak kejadian itu semua sosial media serta masyarakat sekelilingku memandang sebelah mata perbuatan apapun yang ku lakukan.
Aku kesulitan mencari kerja karena track record buruk tersebut, semua orang menatapku seolah aku adalah manusia paling nista yang berhasil menyelesaikan masalah dengan uang damai setelah memukuli sahabatku hingga membuatnya hampir kritis di rumah sakit, serta pecundang nista yang merebut kekasih orang dan membawanya ke hotel terdekat.
Aku benci masyarakat sosial, sejak hari itu dunia terasa seperti neraka. Orang-orang yang terus meletakan sampah di depan flatku, cibiran dan sindiran dari mereka ketika aku berada diluar flat, segala caci maki yang mereka tinggalkan di semua akun sosial mediaku.
Aku menyesal.
Harusnya aku tidak mencoba berteman dengan nya, harusnya aku sadar kenapa orang orang menjauhinya, jika saja aku tidak berusaha menjadi pahlawan dengan meneriakinya sebagai sahabatku, mungkin sekarang semua akan tetap baik baik saja.
Harusnya dia yang terisolasi dari lingkungan sosial, penyesalan terbesarku adalah mengulurkan tangan untuk sahabat yang saat ini menikamku dari belakang.
Rasanya dadaku sesak, dipenuhi oleh tatapan tajam mereka semua. Aku merasa terisolasi, terperangkap dalam lingkaran ketakutan dan keputusasaan. Sudah tak ada tempat untukku di antara mereka, aku hanyalah seorang yang dihakimi, tersudut oleh penilaian mereka yang tak berdasar.
Hanya karena sebuah kesalahan yang tak berdasar, mereka lebih memilih untuk percaya kepada orang yang dulu mereka jauhi.
Hari itu, seluruh dunia yang kukenal hancur berkeping-keping, meninggalkanku tanpa apa pun. Aku kehilangan segalanya: sahabat, teman, harga diri, pandangan masyarakat, bisnis, bahkan kepercayaan.
Aku telah menutup diri, tak lagi mempercayai, baik diriku sendiri maupun masyarakat di sekitarku. Aku ingat jelas bagaimana tatapan kecewa kedua orang tuaku ketika aku kembali menadahkan tangan kepada mereka untuk kembali membiayai hidupku selama program pascasarjana yang sempat ku tolak dulu.
Aku melarikan diri, dari kesulitan dalam mencari pekerjaan serta dari masyarakat sosial dengan kedok ingin kuliah lagi. Menutup diri dengan menghabiskan waktu bersama komputer dan beberapa komik serta novel, membuatku terjerumus kedalam hari-hari monoton.
Dua kali, itu adalah jumlah dalam seminggu dimana kakiku melangkah keluar flat. Jika tidak untuk kuliah aku enggan meninggalkan ruangan 2x3 tersebut, hidup dalam bayang-bayang ketakutan masa lalu membuatku berubah menjadi sosok yang pemurung.
Mungkin aku hanya lari dan takut, Mungkin juga aku pengecut. Tapi masyarakat sosial begitu keji padaku, hidup ditengah-tengah orang yang menatapmu dengan jijik karena sebuah skandal fitnah tidak pernah mudah.
Itulah alasannya aku memilih bersembunyi didalam flat sempit itu.
Aku mendengus sambil menatap bayanganku di cermin. Memeriksa semua outfit ku untuk berburu beberapa item dalam event animasi hari ini.
Menatap cermin sambil memperbaiki topi yang sedikit miring di kepalaku. Memastikan benda itu benar-benar membatasi pandanganku.
Setiap kali mataku bertemu dengan mata orang lain, gelombang ketakutan menerpa. Walaupun mungkin mereka tidak melakukan apapun, tetapi tatapan orang-orang dari masa lalu masih membekas di benakku. Itulah mengapa aku merasa tidak nyaman di tengah keramaian, selalu mencoba menghindari tatapan mereka.
Mereka bilang aku hanya menyalahkan keadaan, mereka tidak salah. Berkabung dalam masa lalu dan enggan untuk memperbaiki keadaan, ketakutan akan sebuah kegagalan membangun benteng tinggi antara diriku dan masyarakat sosial.
Namun setidaknya setelah menghabiskan satu setengah tahun hidup sebagai NEET dengan mengandalkan penghasilan orang tua, aku berhasil meraih gelar magister hanya dalam kurun waktu 1 setengah tahun.
Bahkan bulan depan aku sudah harus meninggalkan flat 2x3 yang menjadi benteng sekaligus saksi dari banyaknya malam tanpa tidur dan hari-hari yang terbuang dalam kesendirian, waktu-waktu dimana diriku terjebak dalam lingkaran yang tak berujung: bermain game, menonton, membaca, hanya untuk melarikan diri dari kenyataan yang terasa terlalu berat untuk dihadapi.
Di balik kesendirianku, ada secercah keinginan untuk memecah belenggu ini. Aku ingin kembali merasakan hangatnya dunia, menyentuh harapan, dan mungkin, suatu hari, berdamai dengan masa laluku yang penuh luka. Aku tahu, untuk mencapai itu, aku harus mengambil langkah pertama, tapi ketakutanku lebih mendominasi. Bayang-bayang dari mata orang-orang dua tahun lalu selalu mencekat langkahku.
Aku menepuk kedua pipiku untuk kembali sadar, action figure Langkah serta beberapa item game tidak akan aku dapatkan hanya dengan nostalgia kenangan buruk.
Aku mengambil ransel dan keluar mengunci pintu.
"ingin keluar hari ini?" aku tersentak mendengar suara tersebut. Menundukan kepala, aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan tersebut.
"aku membuat salad buah" sebuah tangan menjulurkan satu kotak besar berisi berbagai macam buah dengan keju di dalamnya, tapi aku masih tidak berani menatap sang empunya tangan tersebut "makanan instan saja tidak akan cukup untuk gizimu"
Aku kembali mengangguk.
Gadis itu, aku tidak mengenalnya, wajahnya saja aku tidak tau. Yang aku tau dia selalu meletakan beberapa jenis makanan di depan pintu flat orang-orang termasuk pintu flatku, dan dia tetanggaku.
"t-terimakasih" setelah mengambil kotak berisi buah-buahan tersebut, aku berlari meninggalkanya.
Aku tau itu tidak sopan, jadi aku mencoba berhenti dan berbalik, setidaknya untuk mengucapkan terimakasih dengan benar. Mungkin jika aku berteriak dia tidak akan menyadari suaraku yang bergetar ketika berterima kasih.
Namun bukannya berterimakasih aku malah mematung terpesona dengan pahatan indah wajahnya. Matanya yang lembut dan senyumnya yang tulus, gadis itu melambaikan tanganya.
"Te-terimakasih saladnya! Akan ku makan nanti!" aku kembali berlari diiringi lambaian serta senyuman gadis itu yang sesekali ku intip di belakang.
Mungkin gadis itu tidak menatapku seperti orang-orang di masa lalu, tapi aku masih pecundang yang tidak berani menatap orang lain.
~~~
Berdiri dengan rasa resah, aku terus-menerus melirik arloji di pergelangan tanganku. Ironisnya, setelah berhasil mendapatkan semua benda yang kuinginkan di festival, bus yang ku tumpangi mogok. Sekarang, aku dan penumpang lainnya terjebak dalam penantian yang tak berujung untuk bus pengganti, yang sudah sejam lebih belum juga muncul.
Kecemasanku bukan tanpa alasan. Biasanya, aku akan menyalakan perekam otomatis untuk live stream update patch game kesayanganku. Namun, hari ini, dalam kegembiraan dan kesibukan festival, aku lupa melakukan hal tersebut, sementara 45 menit lagi, live streaming itu akan dimulai, dan aku di sini, terjebak, tanpa tahu kapan bus pengganti akan datang.
Menghela napas, aku membuat keputusan. Aku akan pulang dengan berjalan kaki. Pikiranku beralih ke rute alternatif yang bisa kupilih, jalan pintas yang mungkin memungkinkan aku sampai di flatku dalam waktu 40 menit. Dengan keputusan yang telah bulat, aku mengangguk pada diri sendiri dan mulai melangkah.
Langkahku cepat dan teratur, meninggalkan keramaian jalan raya dan memasuki sebuah jalan setapak kecil yang membelah semak rimbang dan hampir menjadi hutan. Di sini, suasana berubah drastis. Suara kendaraan dan keriuhan jalan raya berganti dengan desis angin yang menari di antara dedaunan serta nyanyian serangga malam.
Jalan setapak itu sempit dan kurang terawat, namun inilah jalan pintas yang akan memotong waktu perjalananku. Pepohonan rindang membentuk kanopi di atas kepala, menimbulkan bayangan-bayangan yang bergerak lembut bersama hembusan angin. Cahaya bulan yang remang-remang menyusup melalui celah-celah daun, menciptakan mozaik cahaya dan bayangan di tanah.
Setiap langkahku terasa seperti memasuki dunia lain, jauh dari hiruk-pikuk kota. Aku merasakan detak jantungku yang semakin cepat, bukan hanya karena berjalan cepat, tapi juga karena suasana hutan yang memberikan rasa misterius.
Namun meski tau bahwa tengah dikejar waktu, kakiku berhenti melangkah. Pandanganku tertuju pada sebuah jembatan tua yang menghubungkan dua sisi ngarai sungai. Jembatan itu rusak, mungkin karena hujan lebat semalam, belum lagi suara arus air yang menggebu dengan ganas di bawah jembatan itu, dimana hampir mengisi kesunyian hutan tersebut.
Sayangnya bukan itu fokus utama saat ini. Sepasang anak kecil berusia sekitar 7-9 tahun tengah meregang nyawa sambil bergelantung di tali sisa-sisa jembatan itu, tangis lengking mereka begitu menandakan sebuah keputusasaan, nyaris tertelan oleh deru air sungai yang tak kenal ampun.
Kakiku membeku, tidak bisa bergerak meski tau aku harus apa. Tanganku gemetar sambil menggenggam kantong action figure yang ku beli beberapa jam lalu.
"AAAA...TOLONG!!" teriakan salah satu dari mereka menembus keheningan, mengguncang ku dari lamunan.
Badanku kaku, pikiranku berkecamuk, Haruskah aku berlari mencari pertolongan? Tapi, apa waktu akan berpihak kepada kami? Tali itu semakin tipis selang beberapa menit lagi dua anak itu akan tenggelam ditelan arus sungai tersebut.
Sebuah ide yang tidak cocok dengan gayaku terlintas, haruskah aku berusaha menyelamatkan mereka sendiri? Namun segera ku tepis ide itu. Jembatan itu begitu rapuh, sama seperti keberanianku jika aku menarik mereka naik kemungkinan selanjutnya adalah ujung jembatan itu roboh dan malah menenggelamkan ku di sungai.
"Hiks... tolong kami," tangis mereka semakin lirih, mengikuti tali yang kian merenggang. Jujur saja, aku bukanlah pahlawan, keberanian bukanlah sifat yang pernah kumiliki, setidaknya sejak dua tahun lalu. Aku adalah pengecut yang selalu lari dari masalah selama dua tahun, menjauh dari kenyataan dan membelenggu diri. Aku bukanlah orang yang dulu biasa mengambil risiko, dan berani berdiri di garis depan. Dua tahun ini benar-benar sudah merubahku menjadi pengecut yang berkabung.
"WAAAAA!!! IBU TOLONG!" tangis mereka semakin menggelegar ketika tali yang menjadi penopang mereka semakin mendekati ambang batasnya.
Entah apa yang ada di kepalaku pada saat itulah, sesuatu di dalam diriku pecah. Dalam sekejap, semua action figure yang baru saja kubeli terjatuh dari genggamanku, berceceran di tanah.
Tanpa sadar, kakiku bergerak maju, merangkak perlahan, mendekat ke ujung jembatan yang rapuh. Setiap gerakan terasa seperti taruhan antara hidup dan mati.
"Cepat! Pegang tanganku!" teriakku dengan suara yang bergetar.
Dengan sisa kekuatan yang ada, aku menarik anak pertama ke atas. Air mata dan keringat dingin bercampur di pipiku, tidak bisa membedakan mana yang satu dan mana yang lain. Anak kedua kini gantian meraih tanganku.
Saat itu, aku berhasil menarik kedua anak itu ke atas, menyelamatkan mereka dari ambang kematian yang terbentang di bawah jembatan yang rusak. Kemenangan itu, meski pahit, memberikan kelegaan mendalam.
KRAAKK... ujung jembatan tempat kami berdiri semakin rapuh, mengancam untuk runtuh kapan saja. Tanpa berpikir panjang, aku menyadari bahwa ujung jembatan itu tidak akan menahan beban kami bertiga. Dengan cepat, aku mengambil keputusan sulit, aku melempar kedua anak itu ke pinggir ngarai, menjauh dari tepian jembatan yang terancam roboh.
"Sialan!" pekikku dalam hati, tetapi ini satu-satunya cara untuk menyelamatkan mereka. Kedua anak itu terhuyung-huyung di atas tanah basah, terkejut namun selamat. Sedangkan aku, masih berada di ujung jembatan yang rusak, merasa jantungku berdegup kencang. Kaki ku mengambil ancang-ancang untuk menyusul mereka ke tepi sungai menyelamatkan diri.
Sayangnya takdir berkata lain, ujung jembatan yang rapuh itu tidak dapat menahan beban tubuhku yang sudah berjuang keras tersebut. Tepian jembatan mulai runtuh di bawah kakiku. Aku merasakan pijakan hilang dari bawah kaki, dan aku tahu aku tidak punya waktu untuk menyelamatkan diri sendiri. Dengan perasaan terberat yang pernah kurasakan, aku melihat kedua anak itu dengan mata penuh harap dan kemudian merasakan diriku terjatuh.
Hal terakhir yang ku ingat adalah kejamnya arus sungai yang menyeret tubuhku. Deruan air yang terasa ganas tersebut membuat pikiranku melayang ke segala arah. Tenagaku tentu sudah habis setelah melakukan aksi heroik tadi, apa yang kalian harapkan dari kekuatan seorang yang hanya mengurung diri didalam flat sempit dengan bermain game online selama hampir dua tahun penuh?
Ingin sekali rasanya aku menertawakan takdir, namun sayangnya tenggorokanku tercekat oleh beberapa liter air yang masuk. Setidaknya dua tahun hidupku tidak berakhir dengan hanya meratapi masa lalu dan menjadi pecundang.
Sial jika tau akan berakhir begini, harusnya aku menghubungi kedua orang tuaku terakhir kali. Bukan untuk meminta tunjangan hidup seperti yang biasa aku lakukan, setidaknya aku ingin berterimakasih karena sudah melahirkan dan membesarkan pecundang gagal sepertiku, dan setidaknya aku ingin mengatakan bahwa aku menyayangi mereka.
Sebuah kotak salad milik tetanggaku ikut terseret bersamaku. Mungkin jika diberikan kehidupan sekali lagi aku akan mencoba memulainya lagi, dimulai dengan mengembalikan kotak salad serta berterima kasih dengan gadis itu.
Jika aku melakukannya, mungkin besok akan menjadi hari yang indah; mungkin gadis itu akan mau menjadi temanku. Aku sangat ingin punya teman, seseorang yang bisa berbagi tawa dan cerita, setidaknya agar ketika aku mati, orangtuaku tidak menangis sendirian. Aku ingin ada yang menangisi kepergianku, tanda bahwa aku pernah berarti bagi seseorang di dunia ini.
Deruan air terus menenggelamkanku, hingga akhirnya aku menyerah karena tidak ada lagi pasokan oksigen yang bisa ditangkap paru paruku.
Aku harap ibu dan ayah tidak lupa mengambil Ijazah Pascasarjana ku, setidaknya itulah hal kenangan terakhir yang bisa ku jadikan sebagai metode berterimakasih kepada mereka berdua.
Selama ini, aku merasa tak berarti, terjebak dalam rutinitas yang monoton dan kehidupan yang tanpa arah. Namun, di saat-saat terakhir ini, aku menemukan arti sejati dari keberanian dan pengorbanan. Aku telah memilih untuk menolong, meskipun itu berarti harus menghadapi risiko besar.
Meskipun hidupku mungkin berakhir di tengah derasnya sungai ini, aku tahu bahwa aku telah memberikan yang terbaik dari diriku. Setidaknya aku tidak lari dari masalah seperti hari-hari lain.
Setidaknya di detik terakhir aku berhasil menjadi diriku dua tahun lalu. Diriku yang naif dan tidak pernah enggan mengulurkan tangan kepada siapapun, seseorang yang bukan aku sebelum jatuh ke ngarai sungai ini, bukan aku yang pengecut dan pecundang.
Syukurlah dua tahun terakhir aku tidak mencoba melakukan hubungan sosial dengan siapapun, setidaknya jika aku mati tidak akan ada yang menangis selain orang tuaku.
Aku menutup mata dan berhenti meronta melawan ganasnya air sungai atau mencari pegangan untuk menyelamatkan diri. Membiarkan arus membawaku dan menenggelamkanku di dasar kegelapan yang sesak dan sepi. Seketika semua menjadi hening dan gelap.