Chereads / SACRAMENTIS: Astral Incarnation / Chapter 3 - (Chapter I) “Twilight Genesis”

Chapter 3 - (Chapter I) “Twilight Genesis”

"Setiap malam, mimpi-mimpi itu seolah menjadi panggilan dari masa depan yang menanti, mengungkapkan rahasia-rahasia yang tersembunyi di balik bayangan masa lalu, tapi aku sayangnya tidak percaya tahayul"

Era Penjajahan ke-7, Midgaria. Tahun ke-92.

Sebelum mulai ada beberapa hal yang harus kalian tau tentang dunia ini, karena mungkin kalian akan menjadi "Pahlawan" selanjutnya yang akan membasmi kegelapan di sini. 

Aku selalu berada disana sebagai putra mahkota kekaisaran, ketika kuil mempersiapkan ritual untuk memanggil para pelancong astral. Benar sekali, pelancong astral. Mungkin kalian sudah pernah mendengar istilah ini, mungkin kalian adalah mantan pelancong astral, atau bisa jadi kerabat dan orang terdekat kalian, bisa juga kalian yang selanjutnya menjadi pelancong astral.

Mungkin kalian mengetahui alur ini dari beberapa film animasi yang pernah kalian tonton, atau kalian suka membaca komik? Bisa jadi kalian berpikir kalian ingin menjadi salah satu dari para pelancong Astral ini, namun percayalah menjadi mereka hanya akan merantai kalian sebagai budak takdir.

Tapi jangan khawatir bisa jadi kalian beruntung, contohnya leluhurku. Beliau adalah kaisar pertama di kekaisaran ini, pelancong astral pertama yang berhasil menyatukan 5 klan dan membangun kekaisaran ini. Berhasil membuat tujuh keturunannya hidup enak sebagai penguasa kekaisaran, dan aku tidak menyangkal hal tersebut karena aku juga salah satu keturunannya yang berhasil hidup enak karena pencapaian itu.

Jika kalian berpikir ingin menjadi salah satu dari para pelancong astral, mungkin kalian bisa berharap pada takdir yang akan membawa kalian ke dunia yang hampir hancur ini. Tentu kalian akan disambut hangat dan disanjung sebagai calon pahlawan yang akan membawa perdamaian.

Dan aku akan menanti kedatangan kalian di tengah lingkaran sihir, tempat di mana kalian akan dibawa ke sini. Aku akan tersenyum hangat, menyambut kalian dengan keramahan sebagai putra mahkota dari kekaisaran yang mengadakan ritual pemanggilan untuk kalian.

Sama seperti yang ku lakukan pada pelancong astral yang lalu, sebelum mereka maju ke medan pertempuran dan tidak kembali hingga ritual selanjutnya dilakukan.

Sekali lagi aku katakan, selamat datang di kekaisaran Midgaria, aku akan menjamu kalian dengan hangat dan menunggu kalian memilih takdir, pulang sebagai pahlawan atau hilang meninggalkan nama.

~~~

Midgaria, sebuah kekaisaran yang meliputi hampir 90% wilayah dunia, dihuni oleh lima ras yang berbeda. delapan ratus tahun yang lalu gerbang yang menghubungkan Midgaria dengan dunia bawah atau Gehenna terbuka secara merajalela, mengubah dataran Midgaria menjadi tanah pemakaman seluas puluhan ribu mil.

Seratus tahun setelahnya, tepatnya tujuh ratus tahun lalu sejak hari ini, kuil menemukan sebuah kristal magis yang dapat menyimpan energi sihir atau Mana dalam jumlah besar serta sebuah mantra pemanggilan. Setelah melakukan beberapa percobaan, Kuil berhasil memanggil seorang yang berasal dari luar dunia mereka, seorang laki-laki dengan jumlah Mana yang tidak tertandingi, laki-laki yang berhasil menyatukan kelima Ras di dataran ini dan berhasil memukul mundur pasukan Gehenna, Kaisar pertama yang memberi nama dataran dengan lima Ras ini Midgaria.

Namun era perdamaian itu tidak bertahan bahkan satu tahun, pasukan Gehenna kembali mendapatkan kekuatannya dan bangkit. Mengatasi hal itu kuil kembali melakukan pemanggilan kembali berharap mereka bisa mendatangkan pahlawan yang sama kuatnya dengan kaisar pertama, dan benar saja ritual tersebut sukses, tiga orang yang berasal dari luar dunia ini datang dengan Mana dan kekuatan tempur yang tidak tertandingi.

Sayangnya hal tersebut belum cukup, Midgaria berhasil bertahan, namun tidak merdeka. Seolah belum cukup dengan kekuatan para pendatang dari dunia lain, kuil dan kekaisaran terus melakukan ritual pemanggilan setiap tahunnya sambil berharap suatu saat salah satu dari pendatang dunia lain yang mereka panggil pelancong astral tersebut akan ada yang membawa perdamaian di tanah Midgaria.

 Midgaria adalah tempat yang sebenarnya indah, tanpa perang dan pertumpahan darah. Di tempat ini sihir yang merupakan elemen kunci kehidupan.

Mana, energi yang mengalir dalam setiap makhluk, menjadi fondasi dari eksistensi mereka dan digunakan untuk memanggil sihir. Meskipun kapasitas Mana setiap individu berbeda, contohnya rakyat biasa biasanya memiliki keterbatasan dalam penggunaannya, sering kali hanya memanfaatkannya untuk sihir sederhana dalam kegiatan sehari-hari.

Di puncak hirarki kekuasaan di Midgaria, terdapat prajurit kekaisaran yang bertugas sebagai penjaga keamanan. Kapasitas Mana mereka berada di antara yang terbatas dan yang besar. Di atas mereka berdiri kesatria sihir, kaum bangsawan, dan para Hierophant atau petinggi kuil, yang memiliki kapasitas Mana yang besar namun masih belum mampu menyaingi kekuatan Keluarga Kekaisaran.

Dan Aku Elenio, seorang putra mahkota dari kekaisaran yang kini berada di ambang kehancuran. Bencana telah menghantam Midgaria tanpa henti selama tujuh abad terakhir.

Kapasitas Mana yang besar diwariskan dari kaisar pertama kepada keturunanya, menjadikan garis darah keluarga kaisar kaya akan Mana.

Namun aku, salah satu keturunan Pelancong Astral pertama, tetapi nasibku malang sebagai anomali dalam hierarki dunia ini. Sementara semua orang dilahirkan dengan kekuatan sihir, aku adalah pengecualian. Sebagai putra mahkota dari keluarga yang kaya akan Mana, aku terlahir dengan kutukan; tidak memiliki sedikitpun Mana, membuatku tak mampu menggunakan sihir apa pun.

Aku mendesah, menatap langit gelap di depan mataku.

Malam ini, aku kembali terhanyut dalam mimpi yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Di hadapanku, terbentang bangunan kuno yang usang, tanpa atap, dan telah dirusak oleh waktu. Sebuah altar kosong tegak berdiri di depan deretan bangku-bangku kayu yang rapuh, beberapa bahkan telah hancur menjadi serpihan-serpihan kecil yang berserakan di lantai berdebu, menandakan bahwa tempat ini dulunya adalah sebuah kuil yang agung.

Kaki ku melangkah mendekati altar tersebut, sebuah bau anyir menyengat hidungku, dengan ekspresi datar kakiku terus melangkah melewati bau darah segar tersebut. Ya… bau darah, sebentar lagi kalian akan tau bagaimana aku bisa seyakin itu tentang bau tersebut.

Dalam keheningan malam yang terasa mencekam, tubuh gemulai seorang gadis tergeletak tak bernyawa di altar, meranggas dalam genangan darah yang memercik. Pedang tajam menusuk dadanya, menciptakan luka yang menampakkan tragedi yang tak terucapkan. Aku, hanya mampu menyaksikan pemandangan yang menyesakkan itu, seolah sudah terbiasa dengan mimpi yang sama ini.

"Zura…." Aku bergumam.

Dulu sekali saat pertama aku mendapat mimpi ini, aku meraung dan hampir kehilangan kewarasan ketika melihat Zura tergeletak tragis seperti itu.

Aku berlutut dan menyentuh pipi gadis itu dengan lembut. Kazura Soratha, begitulah namanya—hadiah ulang tahunku yang ke-6, kata kakek. Kaisar tua itu membeli Zura dan membungkusnya seperti barang, memasukkannya ke dalam jeruji dengan pita merah sebagai hiasan. Kebejatan kakek memang tak terperi. 

 Selain mencetak rekor sebagai kaisar pertama yang berhasil memenuhi seluruh kamar di istana selir, beliau juga punya hobi mesum dengan menyamar sebagai rakyat biasa dan berkeliling pasar gelap untuk membeli budak.

Zura adalah salah satu budak yang diperlakukan khusus oleh kaisar tua itu dan sudah selalu berada di sampingku sejak sembilan tahun lalu. Aku menghela napas ketika merasakan dingin tubuhnya.

Namun seperti biasa heningku terganggu oleh hembusan angin malam yang dingin, dan dari sudut Kuil yang tidak terjangkau mata, sebuah asap hitam mulai berkumpul, membentuk siluet mengerikan yang mengintimidasi. Entitas gelap itu, seperti roh kegelapan yang terlahir dari bayang-bayang, menatapku dengan mata yang menyala merah, menyiratkan ancaman yang tak terduga.

"Ah, sudah berapa lama aku tak melihatmu meneteskan air mata untuk gadis bekas budak itu, khakhakhakha!" Tawa seraknya bergema di ruang gelap, memenuhi udara dengan kehadiran yang menciptakan rasa muak. Dia, setiap malam, hadir dalam mimpiku tanpa kenal lelah, seperti bayangan yang tak pernah beranjak.

Dia menyebut dirinya anak dari kehancuran pengikut kematian yang paling setia, sementara aku menyebutnya iblis. Setiap kali dia muncul di mimpiku, dunia seakan terhempas ke dalam jurang kegelapan yang tak berujung. Iblis ini, dengan kekuatan gelapnya, terus merayap ke dalam mimpiku setiap malam.

"memangnya salah siapa aku mulai terbiasa dengan semua ini." Aku menunduk sembari bergumam pelan, menghindari tatapannya untuk menyembunyikan rasa takut dalam raut wajahku.

"tidak perlu berbisik-bisik seperti itu bocah. Kau tau bahwa aku bisa mendengar semuanya di alam mimpi ini, bahkan suara hatimu yang sekarang tengah ketakutan" ucapnya dengan suara yang menusuk, membuat bulu kuduk merinding.

"kenapa selalu di dalam mimpiku? Kenapa harus setiap malam? Dan kenapa harus gadis ini?" mataku mengernyit, karena sudah lelah dengan malam-malam yang ku habiskan bersama iblis ini dan kematian Zura yang diperlihatkannya.

Tawa bayangan itu mereda, berganti dengan bisikan yang menusuk. "jawabanya masih sama dengan malam-malam sebelumnya" desis suara serak yang terdengar melalui asap yang membentuk tubuhnya. "aku adalah mimpi buruk yang ditinggalkan masa lalumu, dan gadis itu adalah mimpi buruk yang ditinggalkan takdir untuk masa depanmu"

Aku mengangkat wajahku, menatap bayangan hitam yang terus memutar di atas altar, matanya yang merah menyala memaku pandanganku. Setiap gerakan yang dilakukannya seolah terbuat dari kepulan asap yang berputar, namun semakin lama aku melihatnya, semakin nyata ia terasa, seolah bukan sekadar bagian dari mimpi.

Tanpa aba-aba, gumpalan asap yang menjadi tubuhnya makin pekat dan membesar seolah berusaha mengurung tubuhku di dalam kegelapan.

Aku sudah tidak punya keberanian untuk berlari, sama seperti malam-malam sebelumnya tubuh ini membeku dalam ketakutan. Belum sempat aku berekspresi, tangan hitam yang terbentuk dari gumpalan asap iblis itu telah melingkari tubuhku.

Seperti belitan ular tak berujung, tangan itu membelit dengan kekuatan yang menghimpit napasku. Aku berjuang untuk menarik napas dalam keterbatasan gerakan, tetapi rasa tercekik semakin terasa. Hingga disinilah aku berdiri, terjebak dalam pertarungan antara mimpi dan kenyataan, dihadapkan pada iblis yang menguasai bayangan-bayangan malam.

"Khakhakhakha! Seperti biasa kau selalu terlihat menyedihkan! Tidak seperti saudara-saudaramu, kau terlahir lemah dan menyedihkan" cemoohan iblis itu memenuhi keheningan malam, menyerang hatiku dengan kejam.

"b-bukan salahku terlahir tidak memiliki Mana, a-aku bahagia terlahir sebagai pecundang di antara mereka!" meski berusaha menahan tangis, tetapi tetap saja raut frustasiku terlukis jelas.

Iblis itu meledakan sebuah pilar tua di dalam kuil itu dari jarak jauh dengan kekuatanya. 

Mendengar suara ledakan yang tiba-tiba, aku tersentak dan mengernyit menutup mata. Iblis itu tersenyum, memperlihatkan deretan taring yang menghiasi seluruh isi mulutnya.

"manusia adalah mahluk menarik, mencoba terlihat kuat ketika mereka merasa bisa mengontrol situasi" ucapnya dengan suara yang menusuk, membuat bulu kuduk merinding. "mari bernegosiasi lagi, jika kau setuju untuk bersekutu dan melakukan perintahku, aku bersedia meminjamkan sedikit kekuatan untuk melangkahi saudara-saudaramu"

Aku terdiam. Tubuhku gemetar namun tekadku bulat, apapun yang terjadi aku tidak akan terlibat lebih jauh dengan iblis ini. Tidak akan ada hal baik yang akan terjadi jika aku menerima tawarannya, dan lebih buruk lagi aku bisa-bisa menyeret Zura dan Kaisar kedalam masalah yang tak berujung.

Aku tersenyum getir, menutupi raut takut yang masih terlukis di wajahku. "T-tidak, terimakasih. S-setelah kakakku n-naik menggantikan posisiku sebagai putra mahkota, a-aku akan pindah ke wilayah lain dan hidup tenang dengan Zura"

Namun, cengkraman iblis itu semakin menguat, membuatku merasa seperti diremukkan oleh kekuatan yang tak terbendung.

"aah Zura? Gadis itu" si iblis melingkarkan tangan hitamnya yang lain ke arah Zura. Melihat hal itu tubuhku spontan memberontak mencoba melepaskan cengkramannya.

"ZURA"

"Khakhakhakha" tawanya semakin memekakan telinga "gadis ini akan mati mengenaskan seperti ini" tubuhku menegang "entah itu karenaku, kaummu atau dia akan mati di tanganmu sendiri"

"HENTIKAN! APA SAJA ASAL JANGAN DIA!" Hatiku berdenyut-denyut dalam kebencian yang membara, entah sejak kapan ketakutanku berubah menjadi amarah. Zura, gadis yang aku cintai, menjadi sasaran keganasan iblis ini. Aku bersumpah dalam hati bahwa aku tidak akan membiarkan iblis ini keluar dari mimpi burukku dan menyakiti Zura.

"khakhakhakha! untuk itulah kau butuh kekuatan bocah" Senyum iblis itu semakin lebar, bisikan benar-benar menggoda jiwaku. "jual jiwamu kepadaku, akan ku berikan kau kekuatan yang dapat melangkahi saudaramu"

"Tidak!" Jawabku tegas, meski suaraku bergetar namun hatiku teguh.

"keras kepala juga" Iblis itu mendekatkan wajahnya kepadaku, seolah menyelam kedalam jiwa terdalamku. "suatu saat kau akan menerima tawaran ini, dan ketika kita benar-benar terikat, aku akan menyeretmu dalam keputusasaan yang tak berujung"

Tubuhku bergedik namun tetap membatu ketakutan. 

"tapi sepertinya tidak malam ini, sampai disini dulu bocah" lanjutnya, bayangan tubuhnya semakin membesar "cahaya Solstara dari timur sudah terbit! Mari bertemu di kegelapan selanjutnya"

"kenapa?" aku meremas buku jariku frustasi. "kenapa harus aku yang kau ganggu? aku mohon hentikan ini! aku benci malam-malam yang harus ku lewati bersamamu! aku mohon hentikan! pergilah untuk selamanya!" teriakku dengan keputusasaan yang menggelegar, mencoba menolak kehadiran yang menghantui pikiranku.

Namun, iblis itu hanya menghilang seperti asap di udara, meninggalkan aku dengan rasa frustasi yang tak terucapkan. Tubuhku terasa seolah tercekik dan hampir kehabisan napas, tapi sesuatu seperti mencoba menarikku keluar hingga aku mendengar sebuah suara yang aku kenali.

"Nio…." Sebuah suara lembut seperti menarikku dari mimpi buruk itu, membangunkan dari kegelapan tanpa ujung dan menyeretku ke sisi terang dan hangat.

Aku terduduk di tempat tidur dengan keringat membasahi sekujur tubuh. Rasa pening yang melanda, membuatku hampir tidak mampu bergerak. Namun, aku tetap memaksa diri untuk menoleh ke arah pemilik suara tersebut.

Seorang gadis duduk di sebelah ranjang, rambutnya seputih awan serta Wajahnya bak porselen yang dihiasi dengan kehalusan ukiran di setiap lekukannya. Kazura Soratha, gadis tercantik di Battalion Kesatria Midgaria, ya dia Zura.

 "Nio? Apa kamu baik-baik saja?" Zura menempelkan tangannya di dahiku, merasakan suhu tubuhku dengan penuh kekhawatiran.

Dengan senyum yang terpaksa, aku menyembunyikan ketakutan yang terus menghantui itu setiap malam. Aku berusaha menjauhkan Zura dari rasa khawatir yang berlebihan,

"Aku baik, Zura. Hanya mimpi buruk biasa" jawabku, mencoba meremehkan kecemasan dalam suaraku. "Aku bermimpi jatuh dari ketinggian pagi ini" tambahku dengan suara yang agak terbata-bata.

Zura mengangkat alisnya, menunjukkan ketertarikannya pada ceritaku. "Benarkah? bukankah kamu terlalu sering mendapat mimpi yang membuatmu terbangun dengan keringat dingin?" tanyanya sambil mengelap peluh di dahiku dengan sapu tangannya, seperti seorang ibu yang merawat anaknya.

Aku memundurkan kepala menjauhkan tangannya dari dahiku, bersikap seolah tidak menyukai perhatiannya yang berlebihan. Bukan tidak suka, terkadang perhatian Zura membuatku terlihat seperti bayi besar yang akan segera mati jika tidak digandeng pengasuhnya.

Terdengar helaan napas dari Zura, mungkin dia juga merasa kecewa dengan reaksiku. Tetapi aku butuh sedikit ruang untuk diriku sendiri, bahkan di tengah kehangatan perhatiannya.

"Jadi?" Zura kembali menoleh "apa yang membuat kekasih cantikku ini kemari pagi-pagi?" tanya ku untuk memastikan kedatangannya.

Zura tersenyum simpul, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan sesuatu.

"sebuah rapat penting diadakan mendadak pagi ini, kaisar memanggilmu untuk segera ke ruang takhta dan mengikuti rapat"

"begitukah? Aku akan segera bersiap dan pergi ke sana, kau bisa duluan jika sudah siap" kataku sambil memberi isyarat padanya untuk pergi terlebih dahulu.

Zura mengangguk sekali lagi sebelum meninggalkan kamar dengan langkah yang cepat menuju ruang takhta. Aku memperhatikan kepergiannya dengan perasaan campur aduk.

Lagi lagi aku harus kembali mengemban tanggung jawab besar dari kaisar pertama. Aku mendengus, andai saja aku bisa mewarisi salah satu keahlian kaisar terdahulu, mungkin aku tidak akan segugup ini untuk mengikuti setiap rapat.

Aku memang selalu gugup menghadapi apapun, mungkin memang kepribadianku. Bahkan untuk sekedar berbicara dengan orang asingpun sering kali aku terdengar gagap karena saking gugupnya. 

Disamping kepribadianku yang penakut, tatapan semua orang yang berada di ruang rapat juga mempengaruhi ketakutanku hari ini. Hampir semua mata di dalam rapat tersebut menusuk punggungku seolah menginginkan agar aku secepatnya mati hingga saudaraku yang lebih pantas dapat naik.

Andai saja mereka tahu, bahwa ribuan kali aku memohon pada kaisar untuk menyerahkan jabatan tersebut pada saudara yang lain, namun terus di tolak oleh pak tua itu.

Tapi sepertinya mau bagaimana lagi, Kaisar telah menunjukku sebagai putra mahkota, meskipun seluruh kekaisaran menentangnya. Setidaknya hari ini aku tetap harus menghadiri rapat itu, semoga saja kecacatanku tidak membuat kakek malu, dan setidaknya aku punya sedikit tekad untuk membuktikan nilai dan keberhargaan ku, meskipun cara pandang orang lain mungkin berbeda.

~~~

 Aku menghela napas berkali, langkahku cepat dan pasti agar tidak terlambat untuk memasuki ruang tahta dan mengikuti rapat tersebut. Dari lorong-lorong megah kastil berdiri beberapa bangsawan serta orang-orang penting lain yang sepertinya akan mengikuti rapat hari ini juga.

Langkahku terhenti saat merasakan seseorang mendekat dari belakang. Tanpa perlu melihat, aku tahu siapa orang tersebut. Aura kebencian yang kuat terasa hingga membuat bulu kuduk berdiri.

Aku memutar leher memastikan orang tersebut, seorang laki-laki dengan rambut merah yang memiliki perawakan lebih tinggi dan postur yang lebih berotot darik, mata hijau gioknya yang sewarna dengan kaisar menatapku dengan sinis.

Aku tidak mengenalnya, tapi aku tau dia anggota keluarga kaisar dari rambut merah dan mata gioknya, entah dia paman atau sepupu ku. Kalian tidak bisa menyalahkanku jika tidak mengenalnya. Kakek atau kaisar yang sekarang punya banyak sekali selir. Lelaki tua itu membuat rekor besar dalam sejarah Midgaria, dimana selama masa kekuasaanya dia berhasil memenuhi seluruh kamar dalam istana selir.

"aku tidak tau jika Kaisar masih menyimpan kotoran di istana utamanya" lelaki itu menyeringai.

Aku menatapnya dengan gugup berusaha menghindari sorot matanya yang begitu tajam.

"h-hay selamat siang, kamu juga ikut rapat?" suaraku gemetar, kalimat yang terucap bahkan terbata-bata.

"hentikan basa basi gagap mu itu!" nadanya tinggi, dari sudut mataku terlihat wajah kesal lelaki itu. "dengar, aku hanya menyapa untuk memperingatimu"

Tanpa sadar aku menggesekan ujung jari secara bersamaan, serta masih menunduk menghindari mata lelaki itu.

"Aku yang akan menemani si Pelancong Astral melakukan perjalanannya, jadi jangan mengacau ataupun hingga mengajukan diri!" suaranya tegas dan penuh emosi.

"ha..ha..ha… ti-tidak mungkin aku mengajukan diri….em.. kakak? Atau paman?" tanyaku gugup sembari memastikan siapa identitas laki laki tersebut.

"aku Finnian! Adik dari kak Arcanis! Setidaknya ingatlah silsilah keluargamu sendiri"

Maaf saja, bukanya sombong tapi aku bisa gila jika berusaha mengingat jumlah seluruh pangeran serta putri yang dihasilkan kaisar tua itu. Menghadapi tatapan tajam mereka saja sudah hampir membuatku putus asa. Semua orang di kekaisaran ini membenciku, dan terima kasih kepada kakek itu semua berkat dirinya.

Tapi, aku tau paman Arcanis. Dia adalah satu dari beberapa orang kepercayaan kakek, seorang paman yang begitu menyayangi semua keponakan dan saudaranya, bahkan aku.

Aku berhutang banyak kepada pria berambut yang memiliki rambut sepunggung itu, bahkan ketika setiap rapat yang begitu banyak kalimat cemooh untukku, pria itu selalu pasang badan untuk membelaku.

"be-begitu? Salam kenal Finnian, se-senang bertemu denganmu" aku berusaha tersenyum dan menyodorkan tangan. Namun sebaliknya Finnian malah menepis tanganku.

"dengar cacat! Pada akhirnya kaisar mempercayaiku dalam sebuah misi! Tapi semuanya akan berantakan jika aku harus menjalani misi itu sambil mengasuh mu!" jemarinya menunjuk dadaku dengan keras seolah memberi peringatan.

Dahiku tegang, namun aku tetap memaksakan untuk tersenyum.

"ha..ha..ha.. itu tidak mungkin Finnian, aku hanya akan menjadi penghambat jika ikut ke dalam misi itu" tawaku masih getir karena gugup. "lagi pula kakek tidak akan mengizinkan"

"kak Arca lebih pantas menjadi putra mahkota"

Kalimat itu menciptakan lonjakan emosi yang tak terduga di dalam diriku. Lagi dan lagi, harusnya aku terbiasa dengan kalimat itu, namun sepertinya tidak. Tapi bukanya membalas, aku tetap menekan emosiku seperti pecundang.

"Finny!" sebuah suara menggelegar tegas dari belakang, seorang pria dengan rambut gondrong sepunggung tengah menggunakan jubah putih panjang dengan ukiran emas di setiap sisinya yang kain tersebut hampir menyentuh mata kaki. Paman Arcanis, berjalan dengan tegap ke arah kami.

"rapat akan dimulai sebentar lagi, kenapa masih belum masuk?" tanyanya tegas namun bijaksana.

"hanya berjalan sebentar kak, aku baru saja akan masuk" Finnian mundur satu Langkah menjauhiku.

Paman Arca terlihat mengangguk seraya berjalan mendekati kami.

"kau yakin tidak merundung Elenio?" lelaki itu meletakan tanganya di kepalaku sembari mengusap lembut.

"HaHaHaHa…. Tentu saja tidak kak, kalau begitu aku masuk dulu" Finnian tertawa getir dan segera memasuki ruang rapat dengan terburu buru, meninggalkan aku dengan paman Arca.

Tangan pria itu terus mengusap lembut kepalaku seolah mengetahui kegusaran dalam diri ini.

"maaf jika dia mengganggu" paman Arca tersenyum lembut "anak itu memang mulutnya pedas tapi percayalah dia anak yang baik"

Aku hanya mengangguk menanggapi kalimat serta senyuman paman Arca.

"ayo masuk, rapat akan segera dimulai"

Aku sedikit tenang jika masuk beriringan dengan paman Arca, namun hal tersebut tetap tidak mengusir rasa takutku sepenuhnya. Paling tidak hari ini, aku tidak akan mengacau atau mempermalukan kakek di depan para bangsawan itu. Semoga saja.