"Dunia di mana mahkota dan hati bertemu, ego adalah api yang menyala, mengguncang tahta serta meredam kekaisaran."
Pertemuan di ruang takhta dipenuhi dengan ketegangan yang melekat di udara, menyala-nyala seperti api di malam yang gelap. Seorang pria gemuk dengan rambut keriting yang digulung menyuarakan desakan mendesak, suaranya bergema di dinding-dinding ruang yang megah. "Kita tidak punya waktu lagi. Kita harus segera memanggil Pelancong Astral yang baru!"
Dengan hati-hati, seorang pria dewasa yang diduga sebagai salah satu Acolyte berdiri di samping Hierophant, wajahnya diterangi oleh cahaya pagi yang menyelinap masuk dari sela-sela kaca patri ruangan."Jika Duke Klutz bersedia menjadi pemasok Mana untuk Batu Mana, maka kami bisa mempertimbangkannya," katanya dengan nada rendah, namun penuh keberanian.
Para pengurus kuil yang kami biasa kami panggil Acolyte terlihat saling berbisik, diantara deretan Acolyte duduk juga Paman Arcanis yang merupakan seorang Hierophant juga. Jabatan Hierophant tidak bisa diisi sembarang orang, berbeda dengan Acolyte yang hanya sebagai pengurus kuil yang tidak memiliki wewenang penting seperti Hierophant.
Sebuah argumen protes keras segera menyusul dari sudut ruangan, menyela dengan kerasnya ketidaksabaran. "Apa kalian gila?! Batu itu akan menguras Mana dari belasan bangsawan hingga kering! Bahkan itu saja belum cukup untuk memenuhi kebutuhan benda itu!"
"Itu masalahnya," sahut suara tegas dari sudut ruangan yang gelap, di mana seorang Acolyte pria lain bicara dengan sikap serius. "Kita kekurangan Mana untuk melaksanakan ritual pemanggilan. Kita berada di ujung tanduk." Suara mereka bergema di antara dinding-dinding ruang itu, mencerminkan kegelisahan yang menggerogoti hati mereka.
Dalam keheningan yang terbebani oleh ketegangan, pertemuan di ruang takhta semakin menjadi medan perdebatan yang membara antara para bangsawan yang mendesak untuk segera melakukan ritual pemanggilan dan para anggota kuil yang bersikeras bahwa batu penyimpan Mana belum siap untuk itu.
"Kita tak bisa menunggu lebih lama lagi!" desak seorang bangsawan dengan wajah tegang, matanya melotot dalam ketakutan akan ancaman yang mengintai.
Namun, suara bijak dari paman Arcanis segera menyela, menyoroti kompleksitas masalah yang sedang dihadapi. "Kami memahami keinginan Anda, tetapi kita tak bisa mengabaikan fakta bahwa batu penyimpan Mana belum mencapai kapasitas yang dibutuhkan untuk ritual pemanggilan" ungkapnya.
"Gerbang Gehenna terbuka secara tidak terkendali dalam setahun terakhir," ucapnya, suaranya gemetar oleh ketakutan akan akibat yang bisa terjadi. "dan selama 700 tahun, kekaisaran telah berjuang untuk mengendalikan bencana ini dengan ritual pemanggilan Pelancong Astral setiap tahun. namun kita tidak pernah melihat perubahan yang signifikan, Midgaria masih belum merdeka, bahkan satu tahun ini keadaan semakin memburuk"
Para hadirin menelan ludah, merasakan bobot sejarah kelam yang terkandung dalam kata-kata itu. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka menuju masa depan yang aman dipenuhi dengan ketidakpastian dan bahaya yang mengintai di setiap sudut.
"kita dihadapi oleh beberapa krisis besar selama satu tahun belakangan ini" seseorang yang membuka kisah itu kembali bersuara. "beberapa wilayah di Midgaria telah jatuh ke tangan pasukan Gehenna, sementara itu Midgaria yang selama ini bertahan dengan kekuatan tempur dari pelancong Astral, kekurangan Mana untuk kembali melakukan ritual tersebut"
Orang itu berbicara dengan tenang dan tegas.
Aku menghela napas. Terkadang aku berpikir jika Midgaria terlalu bergantung dengan kekuatan dari para pelancong astral, tidak jarang para pelancong Astral yang datang menolak permintaan tidak logis dari kami. Namun sayangnya tidak banyak yang bisa mereka lakukan, karena setelah datang kesini mereka tidak akan bisa pulang.
Aku mendengus melihat para bangsawan serta pejabat kuil yang masih berseteru tentang ritual tersebut. Kegelapan menyelimuti diskusi di ruang takhta ini saat fakta-fakta yang suram diungkapkan.
"Satu bulan lalu, Gerbang Gehenna terus terbuka secara liar di beberapa wilayah," ungkap seorang ahli sihir dengan suara gemetar. "Tepat ketika kita kehilangan kontak dengan tim ekspedisi penyerang Pelancong Astral yang terakhir."
Ketegangan semakin terasa saat situasi terurai lebih lanjut. "Kondisi semakin kritis," tambah seorang anggota kuil dengan suara yang muram. "selain Beberapa wilayah Midgaria berhasil dikuasai oleh penduduk Gehenna, kita juga hampir kehilangan seluruh populasi Pelancong Astral. Saat ini, hanya enam orang yang masih bertahan dalam kondisi prima untuk bertarung!."
"Belum lagi, kuil baru saja melakukan ritual pemanggilan dua bulan lalu. Batu Mana yang menyimpan pasokan Mana untuk ritual tersebut kini telah kehabisan Mana" sela seorang Hierophant dengan ekspresi tegang.
Permasalahan paling utama saat ini adalah kekurangan pasokan Mana pada batu Mana untuk melakukan ritual. Jika kalian memasuki kuil, terdapat sebuah pintu besar di belakang Podium utama kuil, pintu yang dikunci dengan sebuah Rune sihir. Biasanya dijaga oleh dua pengawal secara bergantian. Butuh proses yang panjang untuk melangkah ke dalam pintu tersebut. di sanalah sebuah kristal yang menjadi penopang besar dalam ritual pemanggilan pelancong astral dijaga ketat, di ujung lorong yang berliku di dalam ruang rahasia nan sakral itu.
Terlihat semua orang di dalam ruangan tahta masih gundah, tantangan yang menghadang terasa semakin besar, dan dengan setiap kata yang diucapkan membuat kecemasan semakin memenuhi ruangan tersebut. Kekaisaran harus bertindak cepat dan hati-hati, jika ingin menghadapi bencana yang semakin memburuk serta memulihkan keseimbangan kekaisaran yang terguncang oleh kekuatan gelap Gehenna.
KLANK!!!
Semua mata tertuju pada kilatan dingin yang dipancarkan oleh pedang Duke Klutz, suara pedang yang dikeluarkan secara kasar dari sarungnya tersebut mengisi ruangan dengan ketegangan yang melampaui kata-kata. Seorang kepala battalion segera berdiri di depan para Hierophant, tubuhnya menegang sebagai perisai hidup, siap melindungi mereka dari ancaman yang nyata. "Harap turunkan pedangmu, Duke! Ini bukan saat untuk pertempuran!" desaknya dengan suara tegas.
Namun, kekesalan yang menggelora memenuhi wajah Duke Klutz. "Pedang ini telah menjaga kekaisaran selama berabad-abad," katanya dengan nada yang penuh dengan keputusasaan yang dalam. "Sekarang, wilayahku menghadapi kehancuran yang tak terhindarkan. Apakah kekaisaran akan berdiri diam menyaksikan ini terjadi?"
"Pertahankan argumenmu sekuat yang kau bisa, Duke!" sahut seorang Hierophant dengan suara yang bergetar namun teguh. "Kami telah berulang kali menyatakan bahwa kuil tidak memiliki cukup Mana untuk melaksanakan ritual itu."
Ruang pertemuan ini dipenuhi dengan kekacauan dan kebisingan setelah Duke Klutz mengeluarkan pedangnya. Suasana saat ini mencerminkan ketegangan yang berdenyut di dalam hati setiap orang.
Di satu sisi, bangsawan-bangsawan yang wilayahnya berada di ambang kehancuran terus mendesak para Hierophant untuk bertindak, sementara di sisi lain, para Hierophant bersikeras bahwa kekurangan Mana adalah rintangan yang tak terhindarkan. Mereka berada di persimpangan jalan yang gelap, di mana pilihan yang mereka buat akan menentukan takdir Midgaria.
Aku melirik ke arah singgasana disebelahku. Seorang lelaki renta duduk dengan anggun, terdiam dalam konsentrasi pada dokumen yang tersebar di hadapannya. Di kepalanya terdapat mahkota emas yang megah memancarkan kekuatan dan keanggunan, dihiasi dengan permata-permata langka yang membingkai benda itu.
"Kau mencukur kumismu, kek?" tanyaku, mencoba menyentuh suasana dengan canda ringan.
Mata kaisar melirik ke arahku, wajahnya mengekspresikan rasa kesal yang tertahan.
"Ah, kau memperhatikannya juga?" gumamnya dengan nada yang ringan. "Apakah aku terlihat lebih tampan tanpa kumis? Salah satu nenek tirimu yang baru memberikan saran itu minggu lalu."
Percakapan yang tak terduga membuatku hampir terkejut.
"yang mana?" desisku, hampir terlalu keras. "atau jangan-jangan kau menemukan selir baru?"
Kaisar tersenyum penuh arti. "Ya, benar sekali! Dan seandainya tidak ada rapat atau masalah yang membuat kepala ini pening, mungkin aku sedang bermesraan dengannya."
Aku menatapnya dengan campuran antara kekaguman dan keheranan. Kaisar memang memiliki kemampuan untuk menarik siapapun ke dalam lingkaran pesonanya, sebuah fakta yang baru saja terbukti lagi dengan kemunculan selir barunya.
"Kekaisaran berada di ambang kehancuran, dan kau masih sibuk memikirkan urusan ranjangmu?" Suaraku terdengar penuh dengan ketidakpercayaan.
"Ayolah, Nio," sergah Kaisar dengan nada santai, "jika kau tidak jatuh hati pada Zura, pasti kau akan terjerumus ke dalam hal yang sama." Aku menggelengkan kepala dengan kejengkelan yang terasa menggelora di dalam diriku.
"Hey, bagaimana menurutmu jika kita mencoba melakukan ritual itu?" tanyanya tiba-tiba.
Situasi agak tidak terduga ketika kaisar yang baru saja mendapatkan selir baru itu menjadi terfokus pada pekerjaan. Biasanya, dia akan menghabiskan tujuh hari tujuh malam dengan si Wanita baru, tanpa mempedulikan urusan kekaisaran.
"Apa kita bisa melakukannya?" Aku mengalihkan pandangan ke arah dua faksi rapat yang masih bertengkar. "Bukankah kuil mengatakan bahwa mereka kehabisan Mana?"
Kaisar meletakkan dokumen yang sedang dipegangnya sejak tadi. "Aku mengadakan pertemuan empat hari yang lalu," ujarnya, memecah keheningan. "Aku, Arca, adiknya, beberapa Hierophant, Kapten Tavon, dan Kapten Esmond."
Aku menatapnya, mengangkat sebelah alis, menunggu kaisar melanjutkan kalimatnya.
"Jangan tersinggung karena tidak kau ajak," lanjut Kaisar dengan nada ramah, "saat itu kau sedang menikmati waktu bulan madu dengan Zura. Aku tidak ingin mengganggu momen indah kalian." Rasanya aku ingin mengguyur wajah pria tua ini dengan air yang memang disuguhkan untuk setiap orang di dalam rapat tersebut.
"Aku masih berusia 15 tahun, Pak Tua!" bentakku, menyela dengan cepat. "Dan malam itu, aku sedang memeriksa pasokan bantuan bersama Zura!" Aku mencoba menenangkan diri, merasa seolah harus membenarkan diri sendiri di hadapan kaisar.
Pria tua itu sedikit terkekeh. "Baiklah, baiklah, rilekslah sedikit," katanya, suaranya kembali serius setelah tawanya mereda. "Nampaknya urat matamu hampir keluar."
"Waktunya cerita serius," sergahnya, kaisar pun melanjutkan dengan informasi yang mengejutkan.
"Arca menemukan sebuah dokumen kuno mengenai kejadian serupa seperti ini" lanjutnya. "500 tahun lalu Midgaria mengalami krisis serupa, batu Mana yang kekurangan pasokan energi karena baru saja digunakan dan gerbang Gehenna yang terus terbuka membabi buta"
Aku menunggu dengan sabar, ingin mendengar lanjutan dari apa yang baru saja diungkapkan oleh kaisar. Namun, pria itu terdiam agak lama, seolah ragu-ragu untuk menyampaikan hal selanjutnya. Akhirnya, dia mengistirahatkan kepala rentanya ke sandaran singgasana, wajahnya terlihat tegang, seakan-akan menimbang-nimbang kata-kata yang akan diucapkannya.
"solusi yang ditawarkan dokumen kuno itu adalah mengisi batu tersebut dengan Mana dari keluarga kekaisaran, mengingat berkah dari darah dari kaisar pertama yang kaya akan Mana, tapi…."
Kaisar terdiam, kelopak matanya tertutup rapat seakan beban berat menekan pikirannya. Aku terdiam menahan nafas, tidak berani memotong kecanggungan yang timbul. Hingga mataku menyorot dalam tubuh renta pria tua itu.
"…tapi konsekuensinya," lanjut Kaisar dengan suara serak, "batu itu akan tetap menyedot setiap tetes Mana dari para pengorban dan hal tersebut tetap berlaku bagi para keluarga kaisar ."
Jantungku berdetak lebih cepat. Kengerian menyergap pikiranku, membayangkan pengorbanan besar yang harus dijalani demi menyelamatkan Midgaria.
Ini bukan masalah sepele. di dunia yang dimana sihir adalah salah satu bagian dalam unsur kehidupan setiap makhluk, Mana tentu menjadi salah satu aspek penopang sebuah kehidupan juga. Singkatnya di dunia ini jika seseorang kehabisan Mana maka tidak diragukan lagi kematian sudah menantinya.
Sebuah penyakit bernama Paralyze menjadi ketakutan utama bagi mereka yang kehabisan Mana, dimana ketika sudah terjangkit penyakit tersebut, seseorang akan dihadapkan dengan dua pilihan hidup setelah kehilangan kemampuan menggunakan sihir atau kematian.
"apa tidak bisa mengumpulkan para bangsawan dan menggunakan Mana mereka, kek?" Aku akhirnya buka suara.
"memangnya berapa jumlah bangsawan yang mau mengambil resiko besar demi kekaisaran?"
Aku terdiam, tidak sedikit bangsawan yang turut berjuang bukan demi kekaisaran, melainkan karena mempertahankan wilayah kekuasaan mereka.
Aku tidak ingin menyetujui solusi dari dokumen kuno itu, tapi tampaknya cara tersebut memang satu-satunya solusi yang logis dalam krisis seperti ini.
Batu Mana memang bisa diisi dari energi sihir seseorang. Dari pada menyebutnya diisi menungkin lebih cocok jika mengatakan batu tersebut bisa menyedot Mana atau energi sihir seseorang, dengan syarat orang itu memang merelakan Mana-nya. Namun dari beberapa eksperimen yang di coba kuil, hanya 2 dari 10 orang yang berhasil bertahan hidup setelah mencoba melakukan pengorbanan Mana pada batu itu, meski begitu 2 orang tersebut terjangkit Penyakit Paralyze dan hampir lumpuh karena kehilangan semua Mana di tubuhnya. Selanjutnya aku dengar dua tahun kemudian mereka berdua meregang nyawa karena penyakit yang tidak diketahui.
Aku masih membisu sembari berfikir.
Melihat itu Kaisar tersenyum sambil mengusap kepalaku, "jangan khawatir, Arcanis juga menemukan solusi pada dokumen itu, solusi yang hanya dimiliki darah keluarga kaisar" aku menikmati rasa hangat dari telapak renta milik kaisar di kepalaku. "seperti layaknya para keluarga kekaisaran yang memohon kepada batu Mana ketika memimpin Ritual pemanggilan pelancong astral, kita juga bisa memohon untuk dapat mengatur berapa banyak Mana yang akan dikorbankan"
"apa ada catatan didalam dokumen kuno itu bahwa cara ini berhasil?" Tanyaku memastikan.
"Tidak ada," Kaisar kembali menyandarkan kepalanya di singgasana. "tapi sepertinya tidak ada salahnya dicoba, bagaimana menurutmu?"
Aku terdiam, merenung sejenak. Ide untuk membiarkan kaisar mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah ide dari dokumen kuno yang tidak memiliki kepastian di tengah krisis seperti ini terdengar buruk. Jika sesuatu terjadi padanya, aku pasti akan naik tahta sebagai kaisar selanjutnya.
Namun, hal itu jauh lebih berbahaya daripada kehilangan beberapa wilayah Midgaria. Banyak yang tidak menyukai diriku, dan membayangkan putra mahkota yang terlahir cacat menjadi penguasa kekaisaran bisa memicu perang saudara di Midgaria. Kaisar pernah berbicara tentang melakukan sesuatu mengenai masalah itu sebelum ia turun takhta, tapi melihat kondisi Midgaria saat ini, sepertinya persiapannya belum cukup matang.
"Mungkin itu ide yang berani di tengah krisis seperti ini," akhirnya aku bicara, "namun kematianmu sekarang bisa memicu perang saudara dengan membiarkanku naik takhta."
"Maka dari itu, cepatlah menikahi Zura," goda kaisar dengan tawa ringan. "Atau Arca akan berakhir menjadi pendamping pengantin-mu."
"Aku masih 15 tahun, Kaisar gila!" seruku, menahan emosi yang mulai memuncak.
"Persetan! Aku menikahi nenekmu saat usiaku 14 tahun!" balas lelaki tua itu, mendekatkan wajahnya ke arahku. "Atau kau mau Zura menjadi nenekmu yang lain di istana selirku?"
"hentikan!" desahku, mencoba menahan frustasi. "Fokuslah pada masalah saat ini, Pak Tua! Intinya, banyak yang ingin menyingkirkanmu. Jika kau kehilangan kekuatanmu, mereka akan dengan mudah melakukannya." Kaisar mengusap kepalaku, mengacak-acar gaya rambut yang baru aku rapikan pagi ini.
"Tavon juga mengungkapkan hal yang sama, tapi sepertinya saat ini kita tidak punya pilihan lain," ucap kaisar, menghela napas dalam-dalam. Wajahnya dipenuhi dengan ekspresi kegelisahan yang tak tersembunyi. "Kita sudah kehilangan beberapa wilayah, bahkan para kesatria terbaik kita telah banyak yang gugur, meskipun beberapa paman dan saudaramu sudah turun tangan."
Aku menunduk, merasa tidak nyaman dengan situasi yang semakin genting. Biasanya, anggota keluarga kaisar akan turut serta dalam pertempuran bersama para kesatria untuk mengatasi krisis semacam ini. Hal itu telah menjadi tradisi turun temurun yang berhasil menghadapi tantangan-tantangan besar selama berabad-abad. Jika saja aku bisa turun kelapangan dan membantu keluarga kekaisaran sebagaimana mestinya mungkin situasi tidak akan serunyam ini.
"Hey, bocah, jangan tunjukkan wajah itu padaku!" tegur kaisar sambil mengusap rambutku lagi. Aku tahu ini bukan kesalahanku, tapi tetap saja, apa tanggapan semua orang? Sebagai putra mahkota, aku harusnya turut serta dalam pertempuran besar ini. Namun, yang bisa kulakukan hanyalah berdiri di belakang dinding kokoh yang dibangun kaisar untuk melindungiku.
Aku memaksakan senyuman untuk kaisar. "Aku paham," ucapku, sebelum memalingkan pandangan kepada para bangsawan yang masih bertengkar dengan Hierophant.
"Bisakah kau menangani mereka terlebih dahulu? Tempat ini terasa lebih seperti medan perang daripada ruang untuk rapat."
Kaisar tersenyum tipis dan menyampaikan beberapa kata kepada seorang pria bertubuh besar yang selalu mengawal di samping takhtanya. Tubuhnya menampilkan kekuatan dan keteguhan, wajahnya yang dipenuhi luka-luka mencerminkan ketegasan yang siap menghadapi siapapun yang menantangnya.
Tavon, ksatria kepercayaan kaisar. Aku tidak mungkin tidak mengenalinya; setiap hari, hidupku terasa seperti neraka berkat semua latihan kejam yang diberikannya. Meskipun niatnya baik untuk membuatku kuat, namun berkali-kali dia hampir menjatuhkanku ke jurang kematian.
"JAGA SIKAP KALIAN DI DEPAN KAISAR!"
Serunya dengan suara menggelegar, berhasil membuat ruangan menjadi hening. Terlihat beberapa orang tidak hanya aku saja yang memiliki kenangan buruk dengan pria itu, dimana saat itu juga mereka langsung terdiam dan berkeringat dingin mendengar teriakan Tavon.
"Para wakil Midgaria," kata kaisar, berdiri dari singgasananya. "Kekaisaran sedang dihadapkan pada krisis besar. Sebagai perisai Midgaria, kita semua harus bertindak menjadi pelindung yang setia."
"Ritual pemanggilan akan tetap dilakukan!" lanjutnya dengan tegas.
Beberapa Hierophant terlihat tidak setuju, mereka berbisik-bisik dengan gelisah. Disisi lain, beberapa bangsawan yang sebelumnya berseteru dengan Hierophant tampak menghela napas dengan lega.
Seorang Hierophant, mengenakan baju yang serupa dengan Paman Arcanis, bangkit dari tempat duduknya sambil menaikkan kacamatanya. "Yang Mulia! Bagaimana dengan pasokan Mana-nya?" tanyanya, napasnya terengah-engah. "Pasokan Mana belum pulih sejak ritual dua bulan lalu. Kita tidak bisa melaksanakan ritual tersebut tanpa pasokan Mana yang belum mencukupi!"
Paman Arca berdiri sambil membetulkan kacamatanya.
"keluarga kaisar akan bertanggung jawab untuk memenuhi pasokan untuk ritual" terdengar suara tercengang dari seluruh hadirin yang ada.
Paman Arca berdiri, menatap para bangsawan, Hierophant, dan petinggi militer yang memenuhi ruangan. Cahaya dari jendela kaca patri di belakangnya menciptakan siluet yang tampak hampir seperti patung. Dalam genggamannya ada dokumen kuno yang baru ditemukan itu, catatan yang telah terlupakan selama ratusan tahun.
"Dokumen ini," ujar Paman Arca, suaranya tenang namun membawa otoritas yang tak terbantahkan, "mencatat salah satu rahasia terbesar Kuil Agung. 500 tahun lalu ritual pemanggilan pelancong astral yang dilakukan pada masa-masa tergelap, pernah tidak bergantung hanya pada satu sumber energi yang dihasilkan batu Mana, melainkan pada tahun-tahun tersebut Seluruh keluarga kekaisaran, diwajibkan menyumbangkan kekuatan mereka untuk mengisi Batu Mana. Hanya dengan begitu, ritual ini dapat dilakukan dengan aman."
Para peserta rapat terdiam. Beberapa wajah menunjukkan kejutan, yang lain ketakutan. Paman Arca melanjutkan.
"Namun, pengorbanan ini tidak tanpa risiko," katanya, sambil membuka lembaran dokumen tersebut. "Pelepasan Mana dalam jumlah besar dari inti tubuh dapat mengakibatkan apa yang disebut sebagai Efek Paralize. sudah menjadi rahasia umum efek ini bukan sekadar kehilangan kekuatan biasa. Paramedis kita mencatat bahwa kondisi ini dapat menyebabkan hilangnya kemampuan sihir secara permanen, bahkan kemunduran fisik yang signifikan. Bahkan dulu ketika ritual ini dilakukan beberapa anggota keluarga kekaisaran pada masa itu tidak pernah pulih serta meninggal dunia."
Suara gemerisik memenuhi ruangan. Seorang Hierophant, dengan wajah tegang, berkata, "Apakah tidak ada alternatif? Jika semua anggota keluarga kekaisaran terlibat, bagaimana jika sesuatu yang lebih buruk terjadi?"
Paman Arca mengangguk perlahan. "Alternatif itu ada, tetapi tidak sempurna. Dokumen ini juga menyebutkan bahwa pelaksanaan ritual dengan kehati-hatian tertentu dapat mengurangi risiko. Alih-alih mengorbankan seluruh Mana secara serampangan, kami para anggota keluarga kekaisaran dapat mengarahkan energi tersebut melalui proses sinkronisasi. Dengan cara ini, Batu Mana akan menyerap energi yang diperlukan secara bertahap, memungkinkan kita menjaga cadangan Mana yang tersisa."
"Dan bagaimana caranya?" tanya salah satu bangsawan dengan nada skeptis.
"Dengan melakukan apa yang disebut sebagai Pengikatan Perjanjian, sebuah proses magis yang memungkinkan kita menakar jumlah Mana yang akan dilepaskan setiap individu. Proses ini, meskipun berat, memungkinkan para peserta mempertahankan sebagian dari kekuatan inti mereka dan proses ini hanya bisa dilakukan oleh anggota keluarga kekaisaran dengan batu Mana tersebut."
Seorang bangsawan yang duduk sedikit lebih jauh darinya mengangkat pandangan dengan suram. "Jika kita melakukan ini, apakah cukup untuk mengisi Batu Mana tanpa ada korban jiwa?"
Paman Arca menatap ke arah bangsawan itu. "Risikonya tetap ada. Namun, saya percaya ini adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan Midgaria. Batu Mana harus diisi, dan hanya keluarga kekaisaran yang mampu memberikan energi sebanyak ini. Kita adalah inti dari kekuatan kekaisaran, dan tanggung jawab ini tidak dapat kita hindari."
Keheningan menyelimuti ruangan. Semua peserta rapat seolah berpikir.
"aku tidak setuju!" seorang lelaki tua dengan kumis keriting mengangkat tangan dan berdiri dari kursinya, perutnya yang buncit sedikit menjadi hambatan pria itu berdiri "itu membahayakan keluarga kekaisaran?!"
"Viscount Dregg apa ada yang ingin disampaikan?" paman Arca memberi gesture mempersilahkan berbicara.
"apakah keluarga kekaisaran harus menanggung resiko sebesar itu?!" wajahnya terlihat marah, kumis serta perut pria itu terlihat bergoyang karena Gerakan-gerakan tubuhnya. "menempatkan seluruh keluarga kekaisaran dalam resiko yang semengerikan itu tidak ada bedanya dengan penumbalan manusia yang selama ini kalian tentang?!"
Ruangan kembali hening, namun kali ini ketegangan terasa lebih berat. Beberapa bangsawan saling pandang, sementara aku menatap Viscount Dregg. Entah mengapa, ada sesuatu yang terasa akrab tentangnya, meski aku tidak bisa langsung mengingat apa.
"Viscount Dregg," Paman Arca mencoba menenangkan suasana, "tanggung jawab ini tidak bisa dielakkan. Jika kita tidak bertindak, Midgaria akan jatuh."
Aku, yang duduk di sisi kaisar, menundukkan kepalaku. Rasa tak asing yang membekas sejak Viscount Dregg angkat bicara terus mengganggu pikiranku. Aku melirik kaisar yang duduk di sebelahku, wajahnya yang lelah tetap memancarkan wibawa. Dengan hati-hati, aku berbisik agar hanya dia yang mendengar.
"kakek," aku bertanya dengan suara rendah, "siapa sebenarnya Viscount itu?"
Kaisar menoleh perlahan, matanya menelusuri wajahku sebelum dia menjawab dengan nada hampir tak terdengar. "Cedric Dregg… dia bukan asli Midgaria. Dia adalah seorang Pelancong Astral, datang ke sini bersama istri dan anaknya tiga belas tahun lalu. Karena berhasil mengatasi krisis pangan akibat perang di wilayah timur aku memberikannya gelar Viscount, dan menikahi putrinya"
Ada dua hal yang membuat bola mataku hampir keluar dari tempatnya, yang pertama bahwa duke itu adalah seorang pelancong astral dan yang kedua adalah pengakuan dari pria tua ini yang menikahi putrinya.
Aku menatap kakekku dengan mulut ternganga. "Tunggu sebentar..." kataku dengan suara tertahan. "Apa tadi Kakek bilang? Menikahi putrinya?"
Kaisar hanya mengangguk ringan, seolah hal itu adalah perkara biasa. "Ya. Putrinya cantik, pintar, dan—"
"Tapi, Kakek!" Aku berbisik keras sambil melirik Viscount Dregg yang masih berbicara penuh emosi di tengah ruangan. "Bukankah itu berarti... Viscount itu... ayah mertuamu?"
Kakek mengangkat alisnya, tampak berpikir. "Ya, secara teknis begitu. Aku rasa aku lupa menyebutkan hal itu sebelumnya."
"Lupa?" Aku hampir terlonjak dari kursi, tapi buru-buru menahan diri. "Kakek, itu bukan hal kecil yang bisa dilupakan! Lihat ayah mertua mu sekarang dengan sekuat tenaga menentang satu-satunya solusi yang ditawarkan."
Kaisar terkekeh kecil, senyumnya nyaris licik. "ya, aku rasa itu karena istrinya meninggal beberapa tahun ini dan putri semata wayangnya harus masuk kastil sebagai selir dan sekarang cucu satu-satunya harus bertaruh nyawa untuk melakukan pengorbanan bagi Batu Mana tersebut."
Aku memandang kakekku dengan mata penuh kemarahan dan kebingungan. "Jadi, seluruh kemarahan Viscount itu—ledakan emosinya di tengah rapat ini—berasal dari fakta bahwa kau memanfaatkan keluarganya tanpa ampun?"
Kakek memiringkan kepalanya, seolah mempertimbangkan perkataanku. "Itu salah satu sudut pandang," katanya, nada suaranya nyaris terlalu ringan. "Namun, aku lebih suka menyebutnya... strategi. Semua yang dia miliki sekarang, termasuk gelarnya, adalah berkat kekaisaran. Itu adalah tanggung jawabnya untuk memberikan timbal balik."
Aku hampir meledak mendengar kata-kata itu. "Timbal balik?" bisikku tajam. "Itu nyawa orang, Kakek! Kau tidak bisa memperlakukan manusia seperti bidak catur!"
Kakek menatapku, kali ini dengan tatapan yang lebih serius. "Elenio, dunia ini tidak peduli pada idealisme. Hanya tindakan yang memberikan hasil yang dihormati. Jika aku tidak membuat keputusan sulit, kekaisaran ini sudah lama runtuh. Apakah kau mengerti?"
Aku ingin membantah, tapi sebelum aku bisa berkata apa-apa, suara pintu besar berderit menghentikan percakapan kami. Kami berdua menoleh serempak, hanya untuk melihat Viscount Dregg terus melontarkan argumen dengan wajah penuh amarah, tetapi matanya—entah bagaimana—juga terlihat putus asa.
Aku mendesah panjang, mencoba menenangkan diri, tetapi satu hal lagi membuat rasa kesalku memuncak. "Dan, apa kau benar-benar kekurangan selir sampai setiap wanita yang kau temui diharuskan menghiasi istana selirmu itu?"
Kaisar terkekeh lebih keras kali ini, suaranya rendah tapi penuh godaan. "Pernah dengar pepatah, 'semua wanita punya rahasia'?"
Aku mengerutkan dahi. "Apa hubungannya pepatah itu dengan masalah istana selirmu, Kakek?"
Senyumnya melebar, membuatku bergidik. "Semakin misterius rahasia seorang wanita, semakin menarik untuk diungkap. Hobiku adalah mengumpulkan berbagai macam misteri tersembunyi itu—" Dia mendekat sedikit, suaranya merendah seperti konspirator, "—sambil mengungkapnya perlahan. Bisa dibilang, itu seni dalam seni, Elenio."
Aku memijat pelipisku. "Jadi, istana selirmu itu lebih mirip... galeri rahasia?"
Kakek tertawa kecil, tampak puas dengan kesimpulanku. "Kau bisa menyebutnya begitu. Setiap wanita di sana punya rahasia, dan aku—sebagai kaisar sekaligus penikmat misteri—menyimpan dan melindungi rahasia mereka."
Aku memandangnya dengan tatapan tak percaya. "Kakek, kau membuat istana selirmu terdengar seperti perpustakaan rahasia, dan kau penjaga bukunya."
Dia mengangguk bangga. "Perumpamaan yang indah, bukan? Kau memang cucuku yang cerdas."
Aku menatapnya, bingung antara ingin tertawa atau menangis. "Kakek, aku bahkan tidak yakin aku ingin hidup cukup lama untuk mulai memahami cara berpikirmu."
"Kau akan mengerti suatu hari nanti," katanya sambil menepuk bahuku. "Untuk saat ini, fokus saja pada tugasmu. Oh, dan jangan lupa, Viscount Dregg itu pria baik. Dia hanya terlalu emosional karena kehilangan istrinya. Dia pasti akan memaafkanmu jika kau tersenyum dan terlihat polos."
Aku menatap kakekku dengan penuh keraguan. "Terakhir kali aku mendengarkan saranmu aku berakhir diculik keluarga bansawan yang menentangmu, kek"
Kaisar tertawa kecil, suara rendahnya terdengar ringan tapi penuh kelicikan. "Ah, itu memang insiden yang kurang menyenangkan. Tapi, lihat sisi positifnya, Elenio. Kau belajar cara kabur dari ruang bawah tanah tanpa bantuan siapapun. Itu keterampilan yang tidak semua pangeran punya."
Aku menatapnya dengan datar, mencoba menahan amarah yang muncul. "Kakek, aku nyaris tidak makan selama tiga hari waktu itu. Dan aku hampir dimakan oleh serigala peliharaan mereka!"
"Oh, ya," jawab kakek sambil mengangguk. "Serigala itu memang bagian dari taktik mereka untuk menakutimu. Aku mendengar kau berhasil menenangkannya dengan sisa roti basi. Itu adalah langkah yang sangat cerdas."
"Fokuslah pada masalah yang ada, kek" Aku mendengus. "kau selalu bisa merubah arah sebuah pembicaraan"
Kaisar hanya tertawa, menanggapi pernyataan-ku barusan, tawanya berhenti hingga sebuah suara kembali menggelegar.
"aku tidak akan membiarkan cucuku melakukan hal membahayakan nyawanya!" mata Viscount Dregg menatap tajam kearah kaisar yang tertawa, seolah ingin melobangi kepala kaisar dengan tatapanya tersebut.
Kalimat tersebut membuatku dan kaisar menoleh kepadanya, menghentikan interaksi cucu dan kakek sebelumnya. Namun tidak berselang lama, kami kembali menoleh ke arah lain.
Brakk!!
Suara gebrakan sebuah meja mengalihkan percakapan yang ada di ruang tersebut "ck" Finnian dengan wajah kesalnya siap untuk meledak "satu lagi pria tua yang menyayangi cucunya"
Finnian tidak berdiri dengan lagaknya, lelaki itu meletakan kakinya di atas meja, aku berani bertaruh suara gebrakan tadi berasal dari kakinya yang menghantam meja.
Seorang gadis yang kukenal duduk di sebelahnya menarik tipis ujung baju Finnian untuk menghentikan sikap congkak lelaki itu, gadis itu adalah Zura. Tidak heran, Zura adalah wakil kapten dari batalion yang sama dengan Finnian, terlihat dari warna jubah yang mereka kenakan, hijau terang sewarna dengan Mata Finnian.
"dengar pak tua! Cucumu itu adalah anggota keluarga kaisar, dia mendapatkan fasilitas serta perlakuan layaknya keluarga kaisar maka dari itu dia juga harus setidaknya menjalankan salah satu tugasnya sebagai keluarga kaisar" mata Finnian beralih menatapku.
"setidaknya cucumu punya sesuatu yang bisa dia lakukan untuk berkontribusi dalam krisis ini" lanjutnya.
Aku tau kalimat tersebut ditujukan untuk menusukku, salah satu keluarga kaisar yang tidak bisa berkontribusi apapun. Dalam hal pasokan Mana sekalipun, aku hanya menjadi maskot kaisar yang akan berdiri di samping kaisar selagi sepupuku yang lain bertaruh nyawa untuk mencukupi pasokan Mana tersebut.
"yaaa! Itu benar! Bagaimana dengan Putra Mahkota?!" tatapan tajam Viscount Dregg kini mengarah kepadaku bersama dengan amarahnya. "apa yang akan dilakukan putra mahkota untuk berkontribusi dalam krisis ini?!"
Aku diam tidak berani buka suara karena aku yakin saat ini apapun yang keluar dari mulutku pasti memicu amarah mereka. Rasanya aku juga ingin melubangi kepala pria tua di sebelahku ini, apanya yang '
Viscount Dregg terus menatapku, matanya seperti dua bara api yang menyala-nyala. Di hadapan tatapan itu, aku merasa seolah-olah dinding istana pun bisa mencair. Para bangsawan yang hadir di ruangan itu kini memperhatikanku dengan tatapan yang sama, seolah-olah mereka ingin melihat keajaiban yang akan aku perbuat. Sementara itu, kakek, sang kaisar, hanya duduk dengan wajah datar, seolah-olah dia sudah lelah dengan drama ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Bagaimana mungkin aku bisa menyangkal kebenaran bahwa aku tidak memiliki kekuatan apa-apa? Aku hanyalah bayangan dari keluarga kerajaan, seorang putra mahkota cacat tanpa kemampuan yang berarti.
"S-saya... Saya akan melakukan yang terbaik untuk mendukung kalian semua," kataku akhirnya, meski suara ku terdengar lebih lemah daripada yang aku harapkan. "Saya akan mencari cara untuk membantu mengatasi krisis ini."
Viscount Dregg mendengus dengan penuh kebencian. "Kata-kata kosong!" serunya. "Kami membutuhkan tindakan, bukan janji-janji kosong!"
"S-saya pa-paham," kataku, mencoba tetap tenang meski dadaku bergemuruh. "Saya akan mencari cara untuk berkontribusi. Saya berjanji."
Suasana ruangan semakin mencekam. Aku bisa merasakan tekanan dari setiap sudut, dari tatapan-tatapan penuh harap dan kekecewaan. Namun, di balik semua itu, aku tahu bahwa ini adalah saatnya untuk berubah. Aku harus menemukan cara untuk membuktikan diriku, untuk menunjukkan bahwa aku layak menjadi putra mahkota dan bukan sekadar simbol kosong belaka. Setidaknya jangan sampai para rakyat meragukan keputusan kaisar.
"dari sekian banyak kemenangan kita, sebagian besar strategi tersebut dipikirkan oleh putra mahkota" Tavon angkat bicara dengan suara beratnya. "putra mahkota juga ambil andil dalam krisis pangan yang melanda beberapa wilayah pada dua tahun terakhir ini"
"tugas putra mahkota adalah turun ke medan pertempuran bersama kaisar dalam melindungi kekaisaran ini!" seorang bangsawan yang lain angkat bicara. "bukan malah berperan sebagai sarjana perang atau petani!"
Suasana ruangan semakin memanas. Tavon, yang selama ini menjadi kapten batalion serta pengawal setia kaisar, mencoba membelaku, namun kata-katanya justru memicu reaksi lebih keras dari para bangsawan. Aku bisa melihat beberapa dari mereka mengangguk setuju dengan pernyataan bahwa tempatku seharusnya berada di medan perang, bukan di balik meja dengan peta dan buku.
"Apakah kalian semua lupa siapa yang menyelamatkan kota-kota kalian dari kehancuran?" Tavon melanjutkan dengan suara yang tegas. "Putra Mahkota telah memberikan sumbangsih besar dalam mempertahankan kekaisaran ini, meskipun itu tidak selalu dilakukan dengan pedang di tangan."
Namun, Viscount Dregg dan yang lain tidak mau mendengarkan. "Kekaisaran ini tidak membutuhkan seorang putra mahkota yang hanya bisa berpikir. Kami butuh seorang pemimpin yang bisa berdiri di garis depan, memberikan teladan bagi prajurit-prajurit kita!" teriak seorang bangsawan lain dengan marah.
Aku merasakan getaran kemarahan dan kekecewaan mengalir di dalam diriku. Mereka tidak tahu betapa beratnya beban yang kupikul, betapa sulitnya menanggung beban kekaisaran serta cemooh mereka. Aku tidak pernah berharap untuk terlahir seperti ini, aku juga ingin turun kelapangan dan bertarung dengan gagah berani seperti saudara atau pendahuluku.
"Cukup!" suara kaisar akhirnya bergema di ruangan itu, memotong keributan yang terjadi. Semua orang langsung terdiam, memperhatikan kakek yang kini berdiri dengan wibawa yang tidak terbantahkan. "Putra Mahkota telah membuktikan dirinya dalam berbagai cara. Setiap orang memiliki peran yang berbeda dalam mempertahankan kekaisaran ini. Tidak semua perjuangan dilakukan di medan perang. Tanpa strategi yang matang, tanpa solusi untuk masalah-masalah dalam negeri, kita tidak akan bertahan."
"tetap saja itu tidak sebanding dengan saudaranya yang bertaruh nyawa di medan perang!" Viscount Dregg kembali meledak.
Cekcok di ruang rapat terus mencekik, kakek memijat pelipisnya. Otakku terus berputar berusaha mencari cara untuk menengahi perseteruan, jika beruntung mungkin aku juga bisa sedikit membuktikan diri. Namun sebelum mulutku bergerak untuk angkat bicara, Paman Arcanis buka suara.
"Yang Mulia," katanya, suaranya bergetar menahan emosi. "Aku tidak akan membiarkan cucuku dikorbankan untuk ritual ini. Jika itu yang diperlukan, maka carilah kanidat lain, biarkan cucuku yang masih belia mendapatkan hak yang sama dengan putra mahkota. Aku telah kehilangan cukup banyak—istriku, kehidupan di dunia lamaku, dan sekarang kalian ingin mengambil cucuku juga?"
Kisar berdiri, sikapnya berubah lebih tegas. "Viscount, ini bukan keputusan yang aku buat tanpa pertimbangan. cucumu adalah salah satu kandidat yang memiliki darahku dengan Mana yang cukup untuk menyalakan Batu Mana dan menyelesaikan ritual ini."
Viscount Dregg menatap kaisar dengan mata berkilat. "Jika anda ingin menyelamatkan kekaisaran, maka gunakanlah cucu yang kau agungkan menjadi putra mahkota itu, jangan cucuku!" Dia menunjuk ke arahku dengan tajam, membuat dadaku berdebar. "Dia! yang harusnya juga ikut ambil andil menjadi tumbal di rencana gila ini, malah mendapat perlakuan khusus hanya karena dia lemah. Mengapa bukan dia yang menjadi pengorbanan?"
Aku tersentak, merasa tubuhku membeku. Semua mata di ruangan kini tertuju padaku, termasuk milik kakekku, yang wajahnya berubah menjadi dingin seperti es.
"Viscount," ujar kaisar perlahan, suaranya seperti pisau tajam. "Jaga lidahmu. Elenio adalah pewaris tahta, bukan alat tawar-menawar."
"Tapi dia juga seorang yang tidak memiliki sihir!" sergah Viscount dengan nada getir. "Apa artinya dia sebagai pewaris, jika tidak mampu menggunakan sihir yang bahkan rakyat jelata pun miliki?"
Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang kubayangkan. Aku ingin menjawab, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku hanya bisa berdiri di sana, tubuhku terasa kecil di tengah percakapan yang penuh tekanan ini.
Kisar mengambil langkah maju, suaranya semakin tegas. "Aku memutuskan siapa yang maju dan siapa yang dilindungi, Viscount. Jika kau menolak, kau tahu konsekuensinya."
Viscount Dregg tampak ingin berteriak, tetapi dia hanya mengepalkan tangannya terlihat emosinya akan kembali meledak namun sebuah suara menghentikan sulut dari emosinya tersebut.
"jika kalian begitu menginginkan putra mahkota berkontribusi di lapangan…" pria berambut gondrong itu membuka kacamatanya yang berembun karena keringat. "maka saya memberi usulan agar putra mahkota masuk kedalam tim ekspedisi menyerang pelancong astral berikutnya"
Kata-kata paman Arcanis membuat suasana ruangan menjadi hening. Mata kaisar membelalak Marah, giginya menggeretak namun pria tua itu seolah berusaha menahan amarahnya.
Beberapa bangsawan mulai berbisik-bisik.
"apa anda gila?!" sebuah suara menggelegar pecah dari Finnian. "ekspedisi penyerang merupakan ekspedisi berbahaya! Dan tim sudah ditentukan sejak beberapa hari yang lalu! kita juga sepakat jika bayi besar itu tidak akan ikut"
Aku merasakan getaran di tubuhku saat Finnian mengeluarkan kata-kata tajamnya. Keheningan yang tadi terasa tegang kini kembali dipenuhi dengan bisikan-bisikan tidak percaya dan protes. Para bangsawan mulai saling pandang, beberapa di antaranya terlihat cemas sementara yang lain tampak marah.
Paman Arcanis berdiri tegak, menatap Finnian dengan tatapan penuh keyakinan. "Putra Mahkota bukan bayi," katanya dengan tenang namun tegas. "Dia adalah pewaris tahta dan sudah saatnya dia belajar menghadapi risiko di medan perang."
"anda terlalu berpikir besar tentangnya!" balas Finnian dengan nada marah. "Kita tidak bisa mengambil risiko dengan memasukkannya ke dalam ekspedisi yang berbahaya. Ini bukan permainan!"
Wajah kaisar terlihat marah, entah karena tidak setuju dengan sarang paman Arcanis atau tidak suka ketika Finnian menyebutku bayi besar.
Melihat amarah kaisar yang hampir meledak, untuk pertama kalinya aku merasa sedikit berani, setidaknya aku tidak bisa membiarkan kaisar meledak demi membelaku dan menurunkan martabat pria tua itu.
Meskipun selama ini, mereka semua melihatku sebagai simbol, bukan sebagai seseorang yang bisa berkontribusi nyata. Meskipun takut, aku tahu inilah saatnya untuk membuktikan diriku.
"Sudah cukup!" kataku, suaraku lebih keras dari yang aku harapkan. Semua mata beralih kepadaku. "Saya mungkin belum pernah berada di medan perang, tetapi itu bukan berarti saya tidak mampu belajar. Jika kita menghadapi krisis yang besar, maka saya harus turut serta dalam perjuangan ini. Bukan sebagai bayi yang perlu diurus, tapi sebagai putra mahkota yang siap melindungi rakyatnya."
Kaisar menghela napas berat, menatapku dengan campuran kekhawatiran dan kasih sayang yang mendalam.
"Elenio," katanya dengan suara yang lembut namun penuh otoritas, "Kamu tidak perlu membuktikan apapun kepada siapapun. Tanggung jawab sebagai pewaris tahta bukan hanya tentang keberanian di medan perang, tapi juga tentang kebijaksanaan untuk mengetahui kapan harus menarik diri."
Ada semburat keraguan di mata pria tua itu.
Aku berdiri dengan gugup di tengah ruangan, menyadari bahwa ini adalah kesempatan langka untuk menunjukkan keteguhannya. Menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, suaranya terdengar lebih mantap dari yang ia pikirkan.
"Kakek," aku menatap Kaisar penuh tekad. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, dan saya tahu bahwa saya belum berpengalaman. Namun, saya merasa ini adalah saat yang tepat untuk belajar dan membuktikan diri. Saya ingin memahami apa yang dihadapi oleh rakyat kita dan menunjukkan bahwa saya siap untuk mengambil tanggung jawab ini."
Kaisar menatapku dengan campuran kasih sayang dan keraguan. "Elenio, medan perang bukanlah tempat untuk belajar dari kesalahan. Risiko terlalu besar, dan kita tidak bisa memaksakan keberanianmu pada situasi yang belum siap kau hadapi."
Aku mengangguk, menunjukkan bahwa aku mengerti kekhawatiran itu. "Saya tidak meminta untuk berada di garis depan, Kakek. Namun, saya ingin ikut serta dalam ekspedisi ini untuk belajar dari para ksatria dan memahami apa yang kita hadapi. Saya ingin membuktikan bahwa saya bisa lebih dari sekadar simbol, bahwa saya bisa menjadi pemimpin yang Anda semua harapkan."
Paman Arcanis menambahkan dengan lembut, "Elenio telah menunjukkan keberanian dan keinginan untuk belajar. Kita bisa memberinya peran di mana dia bisa mengamati dan memahami tanpa harus terlibat langsung dalam pertempuran."
Aku merasakan bulu kudukku berdiri ketika melihat Finnian, matanya yang penuh angkara murka seolah berusaha ingin melubangi kepalaku dengan tatapan itu.
Finnian menatapku dengan ketidaksetujuan yang jelas di wajahnya. "Elenio, ini bukan tentang membuktikan diri. Kehadiranmu di ekspedisi hanya akan menjadi beban bagi tim. Kami harus fokus pada misi, bukan mengurus seorang pewaris tahta yang belum siap menghadapi risiko semacam ini."
Aku menelan ludah, merasakan tekanan dari tatapan tajamnya. "Saya mengerti kekhawatiran Anda, Finnian," kataku dengan suara mantap, meski hatiku berdebar kencang. "Tapi saya yakin bahwa saya bisa belajar dan tumbuh dari pengalaman ini. Saya ingin memahami sepenuhnya tantangan yang dihadapi oleh rakyat kita dan menunjukkan bahwa saya lebih dari sekadar simbol."
Paman Arcanis mendengarkan dengan seksama, ekspresinya masih penuh pertimbangan. "yang mulia kaisar, Finnian, saya mengerti kekhawatiran kalian, dan memang keselamatan Elenio serta keberhasilan misi adalah prioritas utama. Namun, mungkin ada cara untuk membiarkannya mencoba"
Aku mengangguk, menunjukkan bahwa aku menghargai nasihat mereka.
"Saya paham, dan saya berjanji tidak akan menjadi beban. Saya akan belajar dari pengalaman ini dan memastikan untuk mendengarkan arahan dari para ksatria yang sudah dipilih sebelumnya."
Wajah Finnian masih terlihat tidak suka, namun lelaki itu seperti memilih diam karena dia yakin bahwa tidak akan menang jika Paman Arcanis telah menetapkan sesuatu.
Begitupun kaisar, pria tua itu terlihat menghela napas.
"baiklah jika kau memang menginginkan hal itu" Kaisar kembali menatap ku tegas. "namun dengan syarat, Elenio akan ditempatkan dalam posisi yang aman, aku menginginkan cucuku kembali dengan selamat"
Aku mengangguk berterimakasih, merasakan campuran antara ketakutan dan determinasi. Ini adalah saatnya untuk mengubah pandangan mereka. Dengan keyakinan yang tumbuh di dalam diriku, aku bertekad untuk membuktikan bahwa aku bukan hanya simbol, tapi seorang pemimpin yang sesungguhnya.
Terdengar nada tidak ikhlas dari napas kaisar, namun sepertinya hal ini menjadi satu satunya cara untuk menghindari perang saudara di tengah krisis ini.
Jika kaisar terus bersikeras untuk tetap melindungiku, mungkin faksi yang menentang kaisar akan mencoba mengambil keuntungan dari beberapa bangsawan yang memiliki keraguan atas kepemimpinan pria tua itu, dan jika itu terjadi perang saudara tidak akan bisa terhindari.
Saat ini mengikuti keinginan para bangsawan sebisa mungkin adalah hal yang paling aman.
Finnian menatapku dengan tajam, seolah-olah berusaha mencari celah dalam keputusanku. Aku tahu sebelumnya dia sudah memperingatkanku tentang bahaya Ekspedisi Penyerangan yang melibatkan Pelancong Astral ini, namun saat ini, situasiku tidak dalam kondisi baik jika aku mengikuti ancamannya. Aku harus melangkah maju, meski risiko yang menghadang di depan sangat besar.
"Baiklah," Finnian akhirnya berkata, suaranya dingin. "Kami akan melihat apakah kata-katamu hanya sekadar omong kosong atau kau benar-benar siap menghadapi kenyataan perang."
Para bangsawan yang lain tampak terkejut dengan keputusan ini, namun mereka tahu bahwa tidak ada jalan lain. Krisis yang dihadapi kekaisaran ini membutuhkan tindakan nyata, dan aku harus membuktikan diriku di medan perang. Mereka kembali berbisik dengan berbagai ekspresi di wajah mereka—ada yang penuh harap, ada yang skeptis, dan ada yang khawatir.
Aku menghela napas panjang, merasakan beban di pundakku semakin berat. Kakekku menghampiriku, menepuk pundakku dengan lembut. "ini pertama kalinya aku melepasmu. Aku percaya padamu, cucuku. Jangan biarkan mereka meremehkanmu."
Aku tau, terkadang pria licik ini terlalu melindungiku. Entah apa yang membuat kaisar begitu enggan aku terluka, dan begitu berjuang demi semua yang terbaik untukku. Bahkan hal seperti itu tidak ditujukan untuk anak-anak atau cucunya yang lain, yang lebih berkontribusi kepada kekaisaran.
Ini pun pertama kalinya kaisar menyetujui usulan yang membuatku turun ke medan perang, wajahnya masih memancarkan kekhawatiran namun pria tua itu mencoba menutupinya dengan senyuman untuk menyemangatiku.
"Aku tidak akan mengecewakanmu, Kakek," jawabku, meski hatiku masih dipenuhi dengan keraguan.
Ketika kondisi ruangan sedikit lebih tenang, aku menatap Tavon yang masih berdiri di sampingku. "Kita harus bersiap," kataku padanya. "Ekspedisi ini bukan hanya tentang membuktikan diriku, tapi juga tentang menyelamatkan kekaisaran."
Tavon mengangguk. "Aku akan membantu anda, putra mahkota. meski tidak ikut terjun ke dalam ekspedisi saya akan menyiapkan beberapa hal agar perjalanan anda aman."
Aku hanya mengangguk. Setelah keputusan itu dibuat rapat kembali berjalan, lebih tenang daripada sebelumnya. Beberapa hal diluar ekspektasi diputuskan, membuat beberapa wajah tegang para bangsawan sedikit melembut. Sebaliknya wajah kakek kini semakin tegang, seolah masih belum rela untuk melepaskanku.
Hatiku berdebar-debar ketika teringat keputusan untuk menghadapi tantangan terbesar dalam hidupku itu. Ekspedisi penyerangan melibatkan pelancong Astral, sebuah misi yang penuh dengan risiko dan ketidakpastian. Namun, aku tidak punya pilihan lain selain menunjukkan bahwa aku mampu mengambil tanggung jawab ini.
Dengan tekad yang semakin kuat, aku melangkah keluar dari ruangan itu setelah rapat dinyatakan selesai, meninggalkan bayangan keraguan dan ketakutan di belakang. Aku tahu bahwa perjalanan ini akan berbahaya, tapi aku juga tahu bahwa inilah saatnya untuk menunjukkan siapa aku sebenarnya. Sebagai putra mahkota, sebagai pemimpin masa depan, dan sebagai pelindung rakyatku.
Hidupku seolah baru saja dimulai, dan aku akan memastikan bahwa aku tidak hanya menjadi simbol, tapi juga seorang pemimpin yang sejati.