Happy reading!
"Papa," panggil Riesa. Merasa terpanggil, pria bertubuh jakung dengan balutan pakaian formalnya menoleh ke arah Riesa dan tersenyum. Ya dia adalah Papa kandung Riesa, Ramajaya namanya. Panggil saja ia Rama.
"Eh Riesa. Ayo pulang," ucap Rama.
"Pulang?" tanya Riesa memastikan.
"Iya. Papa akan antar kamu pulang. Tapi sebelum itu kita makan dulu ya," jawab Rama.
Riesa pun hanya mengangguk dan masuk ke dalam mobil Rama. Perasaannya saat ini campur aduk. Senang? Tentu saja, siapa yang tidak senang saat Papa kalian menjemput kalian untuk pulang. Bagi Riesa hal itu sangat membuatnya senang. Bingung? Saat ini ia juga merasakan hal tersebut. Mengapa tiba-tiba Papanya menemuinya.
Tak lama kemudian, mobil Rama berhenti di sebuah cafe bernuansa klasik dengan tema American.
Riesa pun masuk bersama Papanya. Riesa memesan latte macchiato dan Makaroni Schotel.
"Papa tumben jemput aku. Pake ngajak makan juga," ucap Riesa memecah keheningan.
"Sebenarnya ada yang Papa omongin sama kamu," ucap Rama.
"Kenapa Pa?" tanya Riesa dengan nada penasarannya.
"Jadi sebena-"
"Ini pesanannya," ucap sang pelayan memotong perkataan Rama.
Riesa pun mengucapkan terima kasih dan meminum macchiato miliknya.
"Jadi ada apa Pa?" tanya Riesa lagi.
"Papa berencana mau menikah lagi Riesa," jawab Rama membuat Riesa terdiam seketika.
Pikirannya langsung dipenuhi berbagai pertanyaan dan kekhawatiran yang tak menentu. Riesa menatap Rama seksama. Mengapa Papanya memutuskan untuk menikah lagi?
Memang Mila menikah lagi dengan pria brengsek yang sekarang entah kemana. Pada saat itu, Mila menikah saat umur Riesa masih 4 tahun. Masih belum mengerti apa-apa.
Tapi sekarang? Rama lah yang akan menikah lagi. Riesa tidak ingin egois. Papanya bukanlah orang yang dengan mudahnya jatuh ke dalam pesona wanita. Riesa tau Rama pasti telah menemukan wanita yang benar benar mengerti Rama.
Namun tetap saja, ada banyak perasaan tidak rela pada hatinya. Riesa tidak ingin egois, ia juga ingin melihat Papanya bahagia.
Riesa menghela nafasnya sejenak. Ingin rasanya ia menangis dan berteriak sekencang mungkin.
"Papa yakin?" tanya Riesa yang sudah mati-matian menahan suaranya agar terlihat baik-baik saja.
"Papa yakin sayang. Kamu juga mau kan ngelihat Papa bahagia," jawab Rama meyakinkan Riesa.
"Ngelihat Papa bahagia dan aku menderita? Ini gak adil Pa," ucap Riesa dalam hati.
Riesa tersenyum miris, menutupi segala rasa kecewanya.
"Riesa bisa apa Pa? Kalo emang Papa bahagia dengan itu dan Papa udah yakin. Riesa setuju aja kok. Apa pun yang penting Papa atau pun Mama bisa bahagia. Walau harus ngorbanin perasaan Riesa," ucap Riesa.
"Riesa, Papa gak bermaksud un-"
"Iya Pa. Riesa tau kok," ucap Riesa memotong perkataan Rama.
"Ya udah aku pulang dulu ya Pa. Aku tunggu undangan dari Papa," ucap Riesa.
"Biar Papa antar," ucap Rama.
"Gak usah Pa, Riesa bisa sendiri kok. Lagi pula Riesa lagi pengen sendiri Pa," ucap Riesa dan mencium tangan Rama.
Riesa berjalan keluar dari cafe dan melangkahkan kaki entah kemana. Pikirannya campur aduk, perasaannya tak menentu.
Akhirnya Riesa memutuskan untuk berhenti di sebuah taman yang cukup sepi. Riesa duduk di sebuah kursi taman tersebut. Tak sadar sedari tadi ada yang memgikutinya sejak ia keluar dari cafe tadi.
Tak lama kemudian orang tersebut sudah berdiri di belakang Riesa. Ia hendak menepuk pundak Riesa. Namun, melihat punggung gadis itu bergetar. Orang tadi mengurungkan niatnya. Terdengar isakan kecil keluar dari bibir Riesa. Isakan kecil yang terus menjadi sebuah isakan yang menyayat hati.
Arga sudah tidak tahan. Ya, orang yang mengikuti Riesa adalah Arga. Arga pun duduk di samping Riesa. Untuk sesaat Riesa berhenti menangis dan menatap ke arah Arga.
"Lo ngap-"
"Udah gak usah nanya nanya dulu. Lanjutin aja nangisnya dada gue siap buat jadi sandaran," ucap Arga memotong perkataan Riesa.
Riesa menatap Arga dengan ragu. Tentu saja ia masih terisak. Isakannya terus bertambah. Melihat hal itu, Arga menarik Riesa dalam dekapannya. Arga tau saat ini Riesa membutuhkan pelukan. Tangisan Riesa terdengar lebih hebat dari yang tadi. Ia terus terisak dan meracau tidak jelas.
Entah kenapa hati Arga merasa sakit melihat gadis itu menangis seperti ini. Seperti ada perasaan tak rela melihat Riesa sedih. Arga mengelus elus punggung Riesa, berusaja untuk menenangkan gadis itu.
Tak lama kemudian, tangisan Riesa mulai mereda. Arga pun melepaskan pelukannya.
"Gue tau lo lagi gak baik baik aja," ucap Arga saat Riesa hendak mengeluarkan suaranya.
"Gue gak maksa lo buat cerita ke gue," lanjut Arga.
Riesa menatap Arga, ah rasanya Arga tidak tahan menatap mata yang penuh dengan luka tersebut.
"Pulang?" tanya Arga. Dan Riesa hanya menjawab dengan gelengan kepala.
Dan Arga hanya mengangguk sembari menatap lurus ke depan. Tiba-tiba Riesa menyenderkan kepalanya di bahu Arga. Tentu saja Arga terkejut, namun ia membiarkan. Arga merangkul bahu Riesa dan mengelus elus pelan. Berusaha untuk memberikan ketenangan pada gadis yang tengah terluka tersebut.
"Ga," panggil Mera dan dibalas dengan deheman singkat oleh Yoga.
"Gue ngerasa gak ada orang yang peduli sama perasaan gue. Gak ada yang bisa ngertiin perasaan gue. Sama sekali gak mentingin keberadaan gue," ucap Mera.
"Gue peduli sama lo. Walau gue gak ngerti apa yang lagi lo rasain. Tapi keberadaan lo penting bagi gue," ucap Yoga.
"Kenapa? Apa karena lo kasihan sama gue jadi ngomong gitu?" tanya Mera dengan senyum miris.
"Gue gak kasihan. Gue cuma ngungkapin apa yang gue rasa. Gue tau lo itu cewek yang kuat, lo ngga butuh belas kasih dari orang lain. Gue ngomong kayak gitu karena emang itu faktanya. Lo itu berharga buat gue, entah sejak kapan. Gue gak suka lihat lo sedih. Hati gue gak terima lihat air mata netes dari mata lo," jawab Yoga.
"Tapi kenapa?" tanya Mera lirih, namun tidak dijawab oleh Yoga.
Yoga malah kembali memeluk erat gadis itu. Menyalurkan kekuatan agar Mera mampu menghadapi masalahnya.
"Karena gue sayang," jawab Yoga akhirnya.
to be continued...