"Terimakasih, Jun."
Aisha memberi helmet yang dipakainya kepada Arjun.
"Hm." Arjuna menerima helmet.
"Aku masuk dulu," ucap perempuan itu.
"Aku nggak diajak, Sha?"
Aisha kehilangan kata-kata. Arjuna memasang senyumnya kembali. Senyuman yang tidak pernah Aisha lihat sebelumnya. Senyuman aneh. Perpaduan seringaian, keputus asaan dan kemurkaan. Bahkan ada rasa sinis dan miris. Aisha tidak tahu bagaimana menggambarkan senyuman itu. Kemudian ia tersadar bahwa Arjuna tahu rumah sakit yang ingin dia tuju padahal belum diberi tahu.
Mampus!
Batin Aisha menjerit dalam hati.
"Sha, bilangin ke Adri, kau boleh dia ambil! Aku gak butuh barang bekas."
Saat itu, dunia Aisha serasa runtuh seketika. Melihat ekspresi si perempuan, membuat Arjuna merasa senang dan semakin ingin menyudutkan.
"Ah, aku belum beri tau ya? Aku yang buat dia meregang nyawa. Tapi coba buktikan kalau aku pelakunya. Permainanku secantik dirimu, Aisha Sayang. Tak hanya cantik, tapi juga kotor. Tentu aku membicarakanmu."
Amarah Aisha tiba-tiba menguar. "Kurang ajar! Beraninya kau! Kejahatanmu betul-betul keterlaluan!"
"Sudah tau begitu, kenapa kalian berani main-main, hah?" desis Arjuna penuh penekanan.
Setelah itu, Arjuna memberi ciuman pada pipi si jelita. Ia juga berikan senyumannya pada Aisha.
"Kau benar-benar sakit jiwa!"
"Belum sesakit itu. Jika aku benar-benar sakit jiwa, aku sudah membunuh kalian dengan cara mutilasi."
Arjuna pergi setelah mengatakan itu. Dia tidak menangis karena dikhianati. Ia tersenyum. Sebab, senyum adalah topeng sekaligus obat dari segala kesakitan.
***
Sore di hari Senin, Arjuna ke kost-an Bayu. Dalih ingin mengambil seragam sekolahnya. Namun, kenyataannya ia tak mendapati Bayu di kamar. Bertanya pada teman kost-an Bayu yang lain pun tak bisa. Seluruh kost-an kosong.
"Apa dia betulan sidang hari ini?" Arjuna bertanya pada diri sendiri. "Tapi masa sesore ini belum pulang?"
Ingin bertanya pada ibu yang jualan di depan, ia tak berani karena merasa tak kenal. Menarik napas panjang, ia keluar dari lingkup kost-an dan berjalan kaki menuju markas tempat biasa ia melakukan maksiat. Minum alkohol atau sekadar merokok sambil menonton permainan judi.
Ketika ia melintas di depan Masjid, ia tersenyum karena menemukan sosok yang mungkin saja tahu di mana Bayu. Sayangnya, Arjuna lupa nama si gadis kecil yang disebut Bayu kemarin.
"Adek ... Mbak ... aduh! Aku manggil apa coba? Nama tuh anak juga lupa! Sia—UPS! Ini di depan Masjid, Bodoh!"
Setelah racauan aneh yang entah apa saja isinya, Arjuna memberanikan diri menyapa si gadis kecil.
"Ehem. Halo!"
Dalam hati, Arjuna memaki dirinya sendiri yang payah memulai basa-basi. Gadis berkerudung putih ini menjadi was-was karena sapaannya.
"Bukan halo, Paman. Tapi assalamu'alaikum!"
Arjuna akan mencatat bahwa semua perempuan sama. Cerewet. Berapa pun usia dan apa pun yang berhubungan dengan perempuan hanya satu kesimpulan: cerewet!
Menjaga wibawa, Arjuna tersenyum dan ia mengucap salam yang telah diajarkan Nana.
"Wa'alaikumussalam." Gadis itu tersenyum lebar.
Arjun takjub, kemana perginya malu-malu si gadis yang kemarin itu? Ia menaikkan sebelah alis.
Kemudian gadis tadi tampak terkejut. "Eh, maaf! Paman bukan Islam ya?"
Arjuna menutup mulut. Menahan tawanya. Ekspresi gadis kecil ini benar-benar menggelitik. Namun, lebih daripada ekspresinya, pertanyaan gadis itu lebih menggelitik.
"Adek tau di mana Om Bayu?" Pertanyaan itu sebenarnya bodoh. Mana mungkin anak sekecil ini tahu. Tidak mungkin Bayu melapor padanya juga.
Lihat saja, kini si gadis menggeleng. Tentu saja dia tidak tahu.
"Tapi sekarang, Adek udah jadi Mbak. Paman jangan manggil Adek, tapi Mbak!"
Arjuna mencubit pipi Nana. "Iya, Sayang. Ya udah, nih permen buat ...,"
"Mbak!!"
"Iya, buat Dedek Manis."
Arjuna tertawa. Dalam hati, ia menciptakan candaan sendiri, yakni akan menikahi si gadis jika usia Nana sudah boleh untuk menikah.
"Ih, dibilangin 'Mbak', kok."
Arjuna mengedipkan sebelah mata sembari mencubit pipi si anak gadis di depannya.
"Tapi kan aku lebih tua dari kamu. Boleh manggil Dedek loh."
Nana tampak berpikir. Benar juga.
"Nana pikir Paman itu jahat, rupanya baik. Makasih ya, Paman."
Bersambung ....