Hari ini sekolah sudah mengijinkan para siswa dan siswi untuk kembali bersekolah, walau dengan keadaan yang masih belum membaik. Jika sekolah terus di tutup, maka akan menimbulkan kecurigaan yang lebih besar lagi, dan media massa pasti akan menerobos masuk ke lingkungan sekolah untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Pagi ini, seperti biasa jam pelajaran di mulai. Para siswa mengikuti pelajaran dengan baik dan tertib, walau beberapa murid ada yang bercanda. "Eh, keadaan cewe yang waktu itu bundir gimana ya? Apa jasadnya udah di autopsi?" bisik salah satu murid ke murid lain. Anak Lelaki yang ditanyai itu hanya diam saja, ia melihat kearah Guru yang sedang menjelaskan materi, dan kembali menatap teman sebangkunya. "Katanya dia koma di rumah sakit, tapi gatau sekarang," ucapnya pelan, yang kembali memperhatikan Gurunya.
Gadis yang disebelahnya berdecak kecil sembari memutar bola mata malas, kemudian ia berkata, "Oh masih hidup? Padahal lebih bagus kalo dia langsung mati aja," ujarnya sinis, dengan gelengan kepala kecil. Anak lelaki tadi lantas menautkan kedua alisnya, mengapa gadis ini mengatakan kalimat sarkas seperti itu? "Hey, bukannya bagus jika dia masih hidup, Casley?" tanyanya, dengan raut wajah curiga. Gadis itu menoleh kearahnya, dan ia kembali berkata, "Maksudku Ren, kalo dia mati, dia engga akan ngerasain rasa sakit lagi," jelasnya singkat.
Yeah, apa yang Casley katakan memang ada benarnya. Tapi, bukan kah tidak baik mendoakan orang agar cepat mati? Walaupun dengan dalih kasihan. Daripada memikirkan hal itu, Rendra lebih memilih kembali fokus pada pelajaran Pak Beny, jika tidak mungkin ia akan kena hukuman seperti teman–temannya. Yah, Rendra kan termasuk murid teladan di sekolah, jadi ia tidak mau membuat para guru kecewa, sekalipun itu Pak Beny. Masalah bunuh diri itu kan, di luar tanggung jawab para murid, seharusnya Rendra juga tidak perlu ikut membahasnya.
"Hey! Kamu yang duduk di pojok kanan!" Teriakan Pak Beny membuat Rendra menoleh ke depan, raut wajah cemas kini tercetak jelas di wajah Rendra, karena ia takut yang di maksud oleh Pak Beny adalah dirinya. "Saya pak?" tanya seorang gadis yang berada di belakang Rendra. "Iya kamu! Memangnya siapa lagi Reyna?!" bentak Pak Beny lagi. Dalam hati yang terdalam, Rendra bersyukur jika yang Pak Beny tunjuk itu bukan dirinya. Tapi, kenapa Pak Beny memarahi Reyn? Padahal kan Reyn dari tadi diam saja, dan ia juga mengikuti pelajaran dengan baik.
Sekarang, semua mata tertuju pada Reyna dan teman sebangkunya. Yang ditatap melempar tatapan sirennya yang tajam, dan gestur tubuhnya masih terlihat santai. Jujur saja, Rendra bingung harus memihak siapa. "Ada apa ya, pak? Kenapa Bapak tiba–tiba berbicara dengan nada tinggi pada saya?" ucapnya tenang, seolah ingin membalikkan keadaan. Pak Beny yang di depan sana menatap Reyna dengan tajam, seolah mempertanyakan apa maksud dari perkataannya itu. "Reyna! Bukannya sudah jelas kam—" belum selesai Pak Beny bicara, Reyna memotong ucapannya. "Jika tidak salah ... di kelas ini ada CCTV, jika saya benar berbuat salah, bukan kah akan terlihat di CCTV?" ucapnya tenang, membuat Pak Beny terdiam.
Sekarang, malah wajah anak–anak kelas yang terlihat khawatir, termasuk Rendra. Karena mereka takut ketahuan jika mereka lah yang berbuat salah. "Ahahahah! Bapak salah liat kali!! Pak udah mulai lagi aja pak pelajarannya!" Ucap ketua kelas. Yang lain bersorak setuju, karena mereka takut jika mereka ketahuan bermain–main ketika Pak Beny menjelaskan. "Gila, Reyna pinter banget muter balik keadaan Ness," ujar teman sebangku Nessa, dan Nessa hanya membalasnya dengan tawa kecil. Haish, kepala sekolah saja tidak berani berbicara pada Reyn, lantas apa masalah Pak Beny sampai melakukan hal tersebut?
"Reyn, pak HokBe* kok sinis banget sama lo? Punya utang lo sama dia?" Tanya Casley yang penasaran. Reyn hanya tersenyum simpul, sembari menggidikan bahunya. Ketika teman sekelasnya segan untuk berbicara pada Reyna, kenapa Pak Beny berani bicara lantang seperti itu? "Udah gausah diomongin lagi, nanti dia makin marah," ucap teman sebangku Reyna.
Di sisi lain, Reyna sedang merayakan keberhasilannya dalam menjebak seseorang, dan sekarang orang itu sudah berhasil masuk ke dalam jebakannya. Ah, masalah hari ini, biarakan saja berlalu seperti biasanya, toh hari–hari ke depannya akan lebih rumit lagi. "Oh ya Rendra, tolong pikirkan ucapan ku hari itu, ya. Karena hanya kamu yang bisa diandalkan." seiring dengan berakhirnya pelajaran, setelah mengucapkan kalimat tadi, Reyn bergegas pergi keluar kelas, dan meninggalkan tanda tanya besar di benak Rendra. Rendra yang lupa ingatan atau bagaimana?
"Ghani, apa kamu engga serem duduk sama Reyna?" tanya Casley, setelah mendengar ucapan Reyna tadi. Ghani teman sebangku Reyna hanya membalasnya dengan gelengan kepala kecil. Toh, untuk apa juga Ghani takut? Reyn kan bukan pembunuh berdarah dingin yang bisa menerkamnya kapan saja. "Daripada sibuk mengurusi Reyna, lebih baik kau urus masalah mu sendiri," ucap Ghani, kemudian meninggalkan Casley, dan berjalan menuju tempat Nessa berada. Yap, mereka pastinya akan menyusul Reyna.
Sekarang, mereka sudah berkumpul di kantin, berada di tengah–tengah kerumunan siswa yang kelaparan. "Walaupun kasusnya sudah di tutup, tetap saja banyak murid yang membicarakannya," ujar Nessa, sembari menaruh jajanan yang ia beli. "Yah, mau bagaimana lagi, Nes? Kasus itu kan bukan kasus yang kecil, pasti masih banyak orang yang peduli dan gamau menutup mata." Nessa dan Ghani membenarkan ucapan Reyna, walaupun bukan yang pertama kali, namun sepertinya ini adalah puncaknya. "Reyn, kamu kan aktif nyelidikin kasus ini, apa kamu udah nemuin pelaku yang sebenarnya?" tanya Ghani penasaran.
Reyn mengangguk kecil, namun ia juga masih belum yakin apakah pelakunya benar mereka atau bukan. Bahkan, gadis ini hampir mengetahui kronologi dan alasannya secara utuh. Padahal, murid di larang ikut campur dalam kasus ini. Catat, murid di larang untuk ikut campur dalam kasus ini. "Kunci utamanya adalah Rendra, jika ia mau membuka mulut, maka kasus ini selesai." Tatapan Reyna menerawang, seolah ia sudah tahu bagaimana akhir dari kasusnya.
"Dasar cewek ganjen, nyudutin Rendra dengan alasan ini itu, padahal lo suka sama dia kan?!" dari belakang tubuhnya, Reyna mendengar suara teriakan seorang gadis yang sangat keras. Sehingga membuat para siswa yang ada di kantin menoleh kearahnya. "Tukang muter balikin fakta! Anak baru kayak lo banyak tingkah banget sih!" teriaknya lagi, dengan suara yang lebih lantang.
Reyna bangkit dari tempat duduknya, dan berbalik kearah gadis itu. Iya menatap wajah gadis itu dengan intens, untuk memastikan apakah Reyna pernah bertemu dengannya atau tidak. "Evelyn, XII IPS 6? Yang kemarin tidak sengaja bertemu sedang memakai seragam kerja?" Mata Evelyn terbuka lebar, di–dia adalah gadis yang kemarin menolongnya dari pelanggan sialan? Oh tidak, jika dia membuka suara lagi, citra Evelyn yang seperti ratu akan hancur! "Hey kau, tolong hentikan bicara mu, ku mohon," lirihnya sembari berbisik.
"Bukannya kau yang memulai duluan?" timpal Ghani yang geram, entah darimana munculnya pria itu, Evelyn tidak memperhatikan keberadaannya. "Aha! Sepertinya tadi salah paham, aku–aku pergi dulu!" Setelah mengucapkan hal itu, Evelyn dan teman–temannya pergi keluar dari kantin. Sudah mereka bilang, jangan cari masalah dengan Reyna.
"Jika Rendra adalah kuncinya, maka Evelyn adalah gemboknya."
Ghani dan Nessa kembali dibuat bingung oleh Reyna, apa maksud dari ucapan gadis ini? Lagi?