Salsha sedang mondar mandir di teras rumahnya menunggu kedatangan Aldi. Ia sudah mempersiapkan beribu pertanyaan yang ia lontarkan kepada Aldi mengenai gadis tadi siang.
Sedari tadi siang, rasa penasarannya belum juga terjawab, ia tak ingin mendengar apapun dari mulut Steffi. Ia ingin Aldi sendiri yang menjelaskan siapa gadis itu. Bisa saja gadis itu memiliki hubungan spesial dengan Aldi. Atau bisa saja mereka berdua telah berpacaran.
Tak ingin menerka-nerka Salsha lebih baik menunggu kehadiran Aldi dan menanyainya langsung kepada Aldi. Namun, selang setengah jam dari waktu yang Aldi janjikan, lelaki itu belum juga datang. Membuat Salsha resah menunggu kehadirannya.
"Kok Aldi belum datang juga, ya? Apa dia lupa? Apa macet kali, ya?"
Salsha masih berusaha berfikir positif tentang keterlambatan Aldi. Ia duduk di bangku yang ada di teras rumahnya. Meraih buku yang tergeletak di meja samping bangku dan mulai membacanya. Mengisi kekosongan yang mulai mendera hatinya.
Satu jam berlalu, namun Salsha belum menemukan tanda-tanda kedatangan Aldi. Salsha kembali meletakkan buku yang sudah ia baca sejak satu jam yang lalu. Ia berdiri dan melangkah ke pagar rumahnya. Menelisik jalanan yang tampak sepi. Menunggu kedatangan Aldi.
Sampai akhirnya Salsha tersadar. Bisa saja Aldi tak jadi datang kerumahnya karena memiliki kesibukan lain atau pergi berdua dengan gadis di cafe tadi. Ia bukan prioritas Aldi lagi.
"Bodohnya gue. Kenapa gue terlalu berharap Aldi bakalan datang? Bisa aja itu cuma alasan dia biar gue cepat pergi dari tempat itu."
Salsha memaksakan senyumnya, walaupun hatinya teriris, "Lo nggak berubah, Ald. Dua tahun berpisah, nggak bisa bikin lo berubah jadi Aldi yang lebih baik."
***
Aldi memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah Kezia. Ia segera keluar dari mobilnya sembari menentang bungkusan yang berisi sate untuk Kezia. Kezia yang menunggu Aldi di rumahnya tersenyum bahagia melihat kedatangan Aldi, bisa Aldi lihat dari cara Kezia yang langsung berdiri dan menghampiri Aldi dengan antusias.
"Akhirnya lo datang juga, Ald. Gue takut banget tadi. Sini, duduk." Kezia memegang tangan Aldi membawa lelaki itu untuk duduk di bangku teras.
Aldi mengikuti, ia duduk di kursi yang berhadapan dengan Kezia, "Mama lo belum pulang?"
Kezia menggeleng, "Belum. Mama emang suka gitu, suka keasyikan kerja sampai lupa anaknya juga butuh dia disini," ungkap Kezia sembari mengerucutkan bibirnya.
"Hey," Aldi mencolek hidung Kezia, "Nggak usah sedih gitu. Kan ada gue. Gue yang bakal selalu nemenin dan jagain lo."
"Tapi 'kan gue juga butuh sosok Mama yang selalu ada buat gue. Jadi tempat gue berkeluh kesah."
Aldi tersenyum manis, ia mengacak rambut Kezia, "Mama lo kerja buat lo juga kan? Buat menuhin semua kebutuhan. Lagian, kalo lo butuh teman curhat, ada gue kok. Gue akan selalu ada buat lo."
Kezia meraih tangan Aldi dan mengelusnya, "Makasih karna selalu ada buat gue, Ald. Gue nggak punya siapa-siapa lagi kecuali lo."
Aldi mengangguk, ia segera melepaskan tangannya dari genggaman Kezia, "Sekarang makan dulu. Udah gue bawain sate kesukaan lo."
****
"Baik anak-anak. Cukup sekian pertemuan kita pada siang hari ini. Sampai jumpa minggu depan."
Kezia dan Aldi bertos ria kala dosen paling killer di kampus ini memberikan nilai A+ kepada kelompok mereka. Ternyata, perjuangan mereka mengerjakan makalah itu tak sia-sia. Di saat dosen itu telah berlalu dari ruangan, Aldi memasukkan buku-bukunya ke dalam tas dan menentengnya
"Kalo gini sih, di jamin, IP gue bakal naik semester ini." Aldi berseru.
"Karena siapa, tuh?" Kezia terkekeh.
"Karna elo, Kez," Aldi mengacak rambut Kezia, "Karena gue satu kelompok sama anak paling pintar ini."
"Yoii, dong." Kezia membanggakan diri sembari terkekeh, "Ingat, masih ada proposal yang jadi tugas akhir kita. Kerjain itu."
Aldi mengangguk, "Tapi bantuin, yaa. Lo kan pintar."
Aldi pertama kali mengenal Kezia saat mereka ospek. Gadis itu amat sangat tertutup kepada siapapun. Membuat Aldi penasaran dan berusaha mendekati gadis itu.
Satu bulan setelah perkuliahan dimulai, mereka berdua menjadi dekat. Mereka berdua selalu bertukar pikiran mengenai tugas kampus. Kezia selalu mengajari Aldi tentang mata kuliah yang Aldi tak mengerti.
Di kampus ini, Aldi dan Kezia sudah selayaknya seperti pasangan kekasih. Dimana ada Aldi disitu pasti ada Kezia. Seperti sudah hukum alam. Aldi juga tak terlalu dekat dengan gadis lain kecuali Kezia. Membuat persepsi jika mereka berdua adalah sepasang kekasih memang betul.
"Habis ini lo mau kemana?" tanya Kezia. Mereka berdua telah berjalan beriringan melewati koridor kampus.
"Nggak tau. Palingan ke basecamp." jawab Aldi.
Kezia merasakan ini adalah kesempatan yang bagus untuk membuat Salsha cemburu. Membuat gadis itu berfikir jika Aldi sudah memiliki penggantinya.
"Gue boleh ikut?" Kezia berkata dengan ragu, "Nggak ada teman dirumah. Mama pasti belum pulang."
Aldi diam sejenak, menimbang-nimbang apa yang akan terjadi jika Kezia ikut. Hanya sesaat, selanjutnya Aldi mengangguk mengiyakan, "Iya."
Kezia bersorak riang di dalam hati. Rencananya akan semakin mudah untuk mendapatkan Aldi.
****
"Jadi Aldi nggak datang kerumah lo tadi malam? Dia boong?"
Salsha menghela nafas lelah. Tadi malam Aldi memang tak jadi datang kerumahnya. Salsha menunggu Aldi di teras rumahnya sampai jam 10 malam. Dan lelaki itu tak menunjukkan batang hidungnya.
"Nggak usah di bahas, ya." Salsha lelah. Ia tak ingin membahas topik ini, tetapi Steffi lah yang mengumbarnya kepada Bastian dan Iqbaal.
"Emang benar-benar tuh si Aldi. Bisanya cuma php in anak orang," Iqbaal tak habis pikir.
"Pliss deh. Nggak usah di besar-besarin. Gue juga gapapa kok."
Steffi berdecih, "Mulut lo ngomong gitu. Tapi hati lo? Sakit kan?"
"Gak usah sok tau." Salsha berdiri dari bangkunya, "Mending kalian belanja, biar gue masakin." Salsha pun pergi menuju dapur. Mungkin memasak bisa menenangkan pikirannya.
Bastian dan Iqbaal saling pandang, sedangkan Steffi mengangkat kedua bahunya. Merasa aneh dengan tingkah Salsha. Tak mau ambil pusing, Steffi menarik tangan Bastian.
"Yuk, temanin gue belanja. Biar gue masakin makanan kesukaan lo."
Tanpa berpikir dua kali lagi, Bastian mengangguk. Mereka berdua pun meninggalkan Iqbaal sendiri di ruang tamu itu.
Selang setengah jam dari kepergian Bastian dan Steffi, Aldi dan Kezia masuk ke ruang tamu itu.
"Heh, yang lain mana?" tanya Aldi sembari menepuk kaki Iqbaal dan duduk di samping sahabatnya itu. Sementara Kezia duduk di depan mereka.
Iqbaal memandang sinis Kezia. Ia memang tidak suka melihat Kezia. Malahan ia menamai Kezia sebagai gadis penganggu.
"Ada tuh, Salsha lagi di dapur. Masak," sahut Iqbaal malas. Ia memainkan game di ponselnya.
"Masak?" ulang Aldi, Iqbaal mengangguk.
Suasana hening, tak ada yang membuka topik pembicaraan lagi. Sampai akhirnya Kezia mengeluarkan suaranya, "Salsha lagi masak 'kan? Gue boleh bantuin Salsha masak?"
"Nggak boleh," sahut Iqbaal cepat.
Aldi menggeleng, ia menepuk kaki Iqbaal lagi dan berkata, "Boleh kok, Kez. Bantuin aja."
Iqbaal membelalakkan matanya sedangkan Kezia tersenyum senang. Tentu saja ada yang ia rencanakan. Ia pun melangkahkan kakinya menuju dapur.
"Kenapa lo bolehin?" Tanya Iqbaal sepeninggal Kezia.
"Salah?"
"Bodoh!" Iqbaal memaki, "Kezia dan Salsha itu belum saling mengenal. Dan mereka berdua sama-sama dekat sama lo. Lo nggak mikirin perasaan Salsha? Lo nggak takut mereka bakal berantem?"
Aldi terkekeh, "Mereka udah sama-sama dewasa. Nggak mungkin sampe berantem segala la. Udah saatnya Salsha tau siapa Kezia."
Iqbaal tak habis pikir dengan cara berfikir Aldi. Tak mau terlalu memikirkan, Iqbaal kembali fokus dengan game di ponselnya.
Sementara itu, Salsha sedang berkutat dengan kegiatan dapurnya. Untung saja, masih ada persedian sedikit bahan-bahan untuk membuat makanan kesukaan Aldi, capcay.
Salsha mulai memotong sayuran kecil-kecil dan menyiapkan bahan-bahan yang di perlukan. Hingga tiba-tiba suara Kezia membuat Salsha menghentikan aktifitasnya.