Hari itu tidak seperti biasanya. Rasanya seperti menjadi siswa baru lagi untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama, tetapi tidak kembali sebagai seorang murid berseragam putih-biru, namun sebaliknya yaitu melepas masa pubertas untuk menyambut masa remaja. Hari dimana, mereka akan mendengar pengumuman hasil nilai ujian yang mereka dapatkan setelah hampir 2 mingguan berpacu dalam lembar jawaban, soal ujian, pensil, penghapus, pemarut, dan jangan lupakan waktu yang terasa sangat singkat ditambah guru pengawas yang sangat enggan memberi celah untuk mencontek. Berada dibangku kelas 3 SMP bukanlah perkara waktu 3 tahun yang banyak murid merasa bahwa itu adalah waktu yang singkat. Namun menurut Yura, 3 tahun bukan'lah waktu yang singkat! ia harus melawan segala ketakutan, keraguan, dan kebodohan yang malah membuatnya seperti manusia tidak mempunyai akal.
Ia melirik sekali lagi kearah gerbang sekolah yang masih ramai dengan para orang tua yang mengantarkan anaknya sekolah. Ia menarik nafas, lalu meyakinkan dirinya bahwa masa suramnya akan berakhir hari itu juga, ya walau ia tahu masih ada beberapa minggu ia di akan cap sebagai murid SMP Negri itu. Ia berjalan kembali masuk ke dalam sekolahnya, ia menyempatkan untuk membeli susu kotak rasa cokelat untuk menenangkan dirinya yang dilanda rasa gusar sejak pagi tadi. Masuk Kedalam kelasnya, semakin membuat jantungnya berpacu sangat cepat. Langkahnya semakin cepat, dan lantas saja ia menenggelamkan wajahnya diatas bangkunya dalam lipatan tangannya, bahkan tas punggung yang sangat ringan itu tidak dilepasnya.
Yura sesekali melirik kearah bangku yang ada di sebrangnya, sudah terhitung 2 tahun ia tidak pernah berbicara dengan temannya itu, kalaupun mereka berbicara, itupun hanya kalimat ketus saja yang akan keluar.
Ia berkedip beberapa kali sebelum membuang muka kearah teman duduknya yang terus mengajaknya berbicara sejak tadi. Yura tidak mendengarkan sama sekali apa yang diucapkan oleh temannya itu, yang ada di pikirannya itu hanya orang di sebrang sana itu. Seseorang yang hanya terfokus pada entah buku apa itu sejak tadi, bahkan ia tak menghiraukan suara berisik layaknya pasar di kelas mereka.
"YURA!!!"
"Ha?" Hanya itu, hanya itu saja yang terus dikeluarkan oleh Yura. Arah pandangnya sekarang sudah mengarah ke temannya.
"Hehehe, lo ngomong apa tadi?" Tanya Yura tanpa adanya rasa bersalah di wajahnya.
Naya, yang tak lain adalah teman sebangkunya hanya mengehala nafas saja. Ia sangat tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Yura.
"Ga jadi! lupa sudah gue mau ngomong apaan!" Ujar Naya ketus sembari berdicih dihadapan Yura yang hanya mengercapkan mata layaknya orang bodoh.
Suasana ribut kelas lambat laun menjadi hening. Semua mata tertuju kearah jam dinding yang sudah mengarahkan pukul 9 pagi. Namun berbeda dengan Yura, ia kembali menatap kearah sebarangnya. Senyum kecil dibibir Yura tanpa polesan lain selain lip balm itu seakan memberi tahu semua bahwa ia telah lelah dengan rasa egois yang terus melanda. Ingatannya kembali dihari pertama sebagi murid SMP yang duduk di kelas 2 semsester pertama. Kelas nya di Rolling dan Yura tetap berada di kelas F karena ia memiliki nilai bahasa asing yang cukup tinggi. Di sekolahnya, kelas A dan B adalah kelas billingual yang berisi murid-murid ber-iq tinggi. Lalu untuk kelas C dan D adalah murid-murid yang bisa digolongkan pintar namun tidak kebagian di kelas A dan B. Dan untuk kelas D sampai I adalah kelas reguler, yang di kelompokkan berdasarkan nilai yang setiap murid unggulkan. Dan setiap angkatan akan memiliki metode pembagian kelas yang berbeda.
Saat itu, ia baru saja menyelesaikan jam olahraga nya, dan masih teringat jelas saat Yura dan Naya memasuki kelasnya, betapa terkejutnya dirinya yang mendapati tas miliknya sudah dipindahkan dan bangkunya sudah di duduki dengan murid laen yang tidak dikenalnya. Dan Yura baru mengetahui ternyata ada beberapa murid yang baru dipindahkan lagi karena adanya murid baru di sekolahnya saat itu.
Waktu terus berlalu dan Yura sama sekali belum berkenalan dengan murid baru tersebut yang ada di kelasnya. Murid baru dalam artian pindahan dari sekolah lain yang membuat Yura harus duduk di bangku selatan dekat jendela. Ada 3 wajah asing yang lumayan cepat bersosialisasi. Dan Yura cukup risih saat ia harus berkelompok dengan ke-3 lelaki itu karena di kelompok oleh guru mata pelajaran IPS sekaligus wali kelasnya.
Yura duduk diantara Naya, Lisa a.k.a teman rumahnya yang juga satu kelas dengannya, Dan Mara. Dan jangan lupakan 3 murid baru yang duduk saling berhadapan di hadapan 4 gadis ini.
Kelompok tersebut memilih duduk di bangku paling utara dan memilih pojok belakang untuk menjadi bangku kelompok mereka.
Yura berdecak pada wajtu pertama kali mereka berkelompok. Bahkan Lisa yang memang dari kecil berteman dengan Yura hanya bisa menahan tawa, karena Lisa tahu, Yura tidak suka bertemu dengan orang baru.
"Hai ladies." Sapa salah satu murid baru tersebut yang memiliki hidung paling mancung, yang duduk tepat di depan Mara. Yura tetap fokus membaca buku LKS nya tanpa niat untuk melirik sekilas kearah orang tersebut.
"Kenalan dulu'lah kita, kuy! Kenalin nama gue Ditto, gue pindahan dari sekelah yang ada dibelakang sekolah kalian ini." Ujarnya. Yura hanya berdehem saja untuk memberikn respon. Lalu berlanjutnya perkenalan tersebut.
"Hai, kenalin namaku Bagaskara Danendra Asora, panggil aja Galih hehehe." Yura menatap murid baru tepat di depan nya itu dengan alis terangkat.
"Jauh juga ya." Ujar Naya sambil cekikikan menurutp mulutnya dengan tangan.
"Hehehe iya, itu nama panggilan aku dari rumah." Ujar murid baru tersebut yang dijawab dengan 'ouh' ria dari para gadis.
Yura melirik kearah kanan nya, tepat dimana murid yang paling berbeda diantara 2 murid baru tersebut. Badannya lebih kecil ketimbang 2 orang tersebut.
"Nama saya Lucas Mahendra, panggil aja Lucas. Salam kenal, girls!" Ucap nya.
Yura menatap 3 orang didepnnya itu dengan teliti dan mengulang nama panggilan mereka dalam hati sebelum mengangguk karna sudah mengingat mereka.
"Kenalin nama gue Naya Adelina, panggil Naya." Ujar Naya, lalu ia menyenggol Yura untuk memperkenalkan dirinya yang sejak tadi hanya diam saja. Tentunya Naya mengetahui mengapa temannya itu diam saja.
"Kenalin diri lu, diem mulu."
Yura membenarkan posisi duduknya "Yura, panggil aja Yura." Ujarnya dan tanpa peduli decakan dari Mara, ia kembali sibuk dengan buku miliknya.
Hari itu sangat melelahkan bagi Yura, dimana ia harus berbaur dengan 3 manusia baru yang ia kenal, bahkan ia mendapatkan oembagian materi dengan 2 murid baru yang menurutnya paling tidak beres dilihat dari wajahnya. Karena bagaimanapun, Yura masih seorang gadis yang baru saja pubertas, dan selalu menilai orang dari penampilannya.
"Hmm, yura?"
Yura menatap Galih dengan tatapan bingung "Napa?" Tanyanya.
"Hmm, boleh minjem catatan kamu yang kelas tujuh? Aku lupa bawa hehehe." Ujar Galih sambil menggaruk belakang telinganya. Ia salah tingkah karena tatapan Yura yang tajam walaupun matanya minimalis. Tetapi Galih berani bertaruh antara mata-mata kalau tatapan Yura sangat tajam, tegas dan susah untuk dibaca. Tetapi, Galih berpikir mungkin karena ia murid baru jadi belum mengerti tatapan dari Yura.
Yura mengangguk, dan memberikan buku catatannya ke Galih yang tersenyum tipis.
"Kalau ngerti aja sih lo ama tulisan gue." Ujar Yura dan memberikan LKS nya ke Lucas yang mengisyarakan dengan tangan untuk meminjam.
"Ngerti lah! Cewe kan tulisannya walaupun jelek tetep bisa dibaca sih biasanya." Ujar Galih dengan percaya dirinya. Naya yang mendengar hal itu hanya terkekeh dan kembali berdiskusi dengan Lisa .
Posisi duduk mereka sudah mereka ubah agar memudahkan untuk berdiskusi, karena pada BAB 1 itu terdapat 4 Sub. BAB.
Naya dan Lisa mendapat nomor undian yang sama, dan mereka berdiskusi di bangku samping dari bangku kelompok mereka. Mara mendapatkan nomor undian yang sama dengan Ditto, dan mereka duduk di belakang Yura. Dan yeah, karena mereka bertiga jadilah mereka membahas 2 Sub. Materi sekaligus.
Kembali lagi dengan Galih yang seketika menyesal berkata demikian, karena tulisan Yura benar-benar sangat susah di baca, hampir mendekati tulisan aksara. Namun, ia tetap berusaha memahami tulisan tangan Yura.
Yura hanya tersenyum kecil sembari menggaris bawahi kalimat yang menurutnya penting dengan pensil.
"Yur, saya rasanya pernah liat kamu deh." Celetuk Lucas.
Yura menaiki alisnya, "Masa? Dimana?"
"Saya'kan dulu sekolah di belakang, setiap olga saya sering liat kamu rasanya ya cuma gatau juga sih." Ujar Lucas dengan mimik wajah seperti mengingat-ingat.
Yura terkekeh kecil, "Jangan sampe salah orang lo, Lucas. Malu sendiri tau rasa hehehe."
"Hehehehe tapi saya yakin itu pasti kamu!"
"Iya iya serah anda."
"Aku sih yakin kamu masa depan ku."
Yura dan Lucas langsung saja menoleh kearah Galih yang diam karena kikuk.
"Udah gue bilang jangan gombalin dia, malu kan lo! Hahaha." Ujar Lucas yang seperti sudah mengenal Galih terlebih dahulu.
Yura tertawa mendengar hal tersebut, bahkan ia tertawa cukup keras hingga membuat semua mata tertuju pada mereka. Bayangkan saja, kelas yang dipenuhi murid-murid super fokus diganggu dengan suara gadih dari bangku paling belakang.
"Maap." Ujar Yura, lalu menatap kembali Galih dan Lucas.
"Bawa santai aja, lo santai ya gue santai juga kok."
"Iya sayang." Dan satu pukulan di dapatkan oleh Galih dari Lucas yang sudah menahannya sejak tadi.