Waktu terus berganti, banyak hal yang berubah selama 1 tahun ini. Menjadi kepribadian yang baru merupakan salah satu alasan untuk beberapa orang melupakan segala kenangan buruk, ataupun menunjukan ke dunia bahwa ia bukanlah seseorang yang lemah seperti sebelumnya.
Hal itu sama dengan yang dilakukan oleh Yura saat ini. Menjadi siswi SMA bukanlah hal yang mudah menurutnya. Memasuki tahun ajaran baru, semakin membuatnya berpikir arti hidup yang sebenarnya.
Ia masuk kedalam kelas barunya, XII IPA 3. Suasana kelas sudah ramai, hampir semua bangku sudah terisi oleh teman-temannya. Semua mata menatap kearahnya yang baru saja menutup pintu kelas. Berat rasanya melangkah keluar rumah dan menerima kenyataan kalau hari libur sudah berakhir.
Ia mengehela nafas, lalu berjalan menuju bangku paling selatan mencari Naya yang ternyata sudah bersama temannya yang lain. Ia berjalan menuju bangku di belakang Naya. Yup! Naya dan Yura 1 kelas dan otomatis ia berada di sekolah yang sama. Sebenarnya Naya mendapat Sekolah Negri yang ada di kampung halamannya, tetapi ia lebih memilih bersekolah di sekolah yang sama dengan Yura. Sekolah Swasta yang cukup terkenal di daerahnya, ditambah lagi sekolah ini berada di pusat kota, tidak terlalu dekat dengan pusat kota.
"Berangkat sama siapa?" Tanya Naya sambil menghadap kebelakang, menatap Yura yang sudah menenggelamkan kepalanya di lipatan tangan.
"Sendiri." Yura mendongak menatap Naya, lalu melihat 3 temannya yang cukup dekat dengan dirinya namun tidak lagi. Dia merasa janggal, ada sesuatu yang aneh.
Yura mengehala nafas menepis pikiran buruknya terhadap teman-temannya. Ia tahu apa yang terjadi, mungkin karena itulah ia memilih diam. Terlalu banyak omongan yang berdampak negatif. Istilahnya ia menyadari kalau dirinya dibicarakan. Bahkan hubungan pertemanan Yura dan Naya tidak terlalu dekat semenjak kelas sepuluh (X) semester dua (II), dan penyebabnya adalah teman duduk Yura saat kelas sepuluh, yang menjadi udang dibalik batu. Tokoh dari segala perusak reputasi Yura.
Yura kembali melihat kearah samping kirinya lalu ke belakang, melihat sekumpulan teman-temannya laki-lakinya sudah menatap Yura dengan tatapan nakal. Tatapan itu adalah salah satu tatapan yang sering dilihatnya dari siswa-siswa di kelasnya. Ia menghela nafas, meggerutu situasi dan menggerutu kesal karena teman dekatnya pindah sekolah di tahun ajaran kedua ini. Ingin rasanya ia berteriak jengah saat itu.
Yura berdiri kembali menggendong tasnya dan memilih untuk pindah duduk, sehingga para ciwi-ciwi bertanya heran dan mulai saling menuduh. Ia menghela nafasnya, berjalan menuju bangku paling Utara dekat dengan jendela dan pintu masuk. Kawasan itu masih sepi, baru 4 orang memilih duduk di kawasan sana.
"Wahyu, gue duduk sini ya ama lo, boleh?" Tanya Yura ke temannya, yang duduk di bangku nomor 2 dari depan.
Wahyu adalah perantau demi pendidikannya. Wajahnya bulat, badannya berisi, kulitnya putih namun tidak terawat. Ia tidak terlalu akrab dengan Wahyu, tetapi menurut Yura Wahyu cocok menjadi teman duduknya.
"Bole aja." Wahyu tetap fokus ke ponselnya.
Yura mengangguk dan duduk di samping Wahyu yang sedang bermain dengan Hendra yang duduk di belakangnya dan sedang bersender di tembok.
Ia kembali menoleh ke bangku di belakangnya, yaitu bangku Hendra yang masih kosong disebelahnya. Keributan itu kembali di dengarnya.
"Hend, gue duduk sini ya!"
"Gue duluan!"
"Minggir lo semua!"
"Anjing gue duluan!"
"GUE MAU DUDUK SENDIRI, PERGI LO SEMUA!!" Bantah Hendra yang sudah kesal karena terganggu. Hendra cukup akrab dengan Yura saat kelas sepuluh, jadi ia mengetahui mengapa cowo-cowo di kelas ini sangat ingin berada di dekat Yura.
Yura memiliki badan yang lumayan seksi walaupun ia gemuk layaknya gitar spanyol, belekok. Ditambah lagi kulit Yura yang sawo matang namun berkilau, seperti ia rutin merawat kulitnya. Rambutnya yang hitam bergelombang itu diikat kelabang dari atas hingga ujung rambutnya. Wajahnya memang tidak secantik teman-temannya, namun jika ditatap lama tidak membuat bosan. Ia manis dengan hidung pesek, mata yang tidak terlalu sipit, bibir yang sedikit tebal dan pipi chubby, bahkan alisnya terlihat rapi dan akan lebih bagus jika ia merapikan alis tebal nya itu.
Bahkan hendra dan Wahyu pernah menaruh rasa suka ke gadis bar-bar itu, namun ia menyadari Yura tidak akan pernah membalas rasa suka mereka. Banyak yang berkata selera Yura cukup tinggi, hal itu lah yang membuatnya jomblo. Padahal nyatanya, Yura hanya tidak ingin menjadikan lelaki sebagai pelarian sakit hatinya.
"Loh napa pindah, Yur?" Tanya gadis yang bersender di bangku depannya itu. Yura masih ingat gosip yang pernah dia dengar dari teman duduk bermuka dua nya saay kelas sepuluh.
"Risih disana, plus juga pengen aja deket jendela sih, Git." Jawab Yura sembali meletakkan tasnya diatas meja.
Gita. Gadis itu bernama gita. Ia memiliki tinggi yang terbilang pendek untuk usianya, kulitnya sama seperti Yura, sawo matang. Hidung mancung, bibir mungil, mata bulat dan rambut berwarna cokelat kemerahan.
Yura berbincang-bincang dengan Gita yang merubah persepsi buruk di otak Yura. Gita bukanlah seperti apa yang dibicarakan oleh teman-teman Naya, Gita jauh dari itu. Bahkan ia berasal dari kampung halaman yang sama hanya saja berbeda desa.
Yura cukup dibuat terkekeh saat mengetahui bahwa Gita sejak dulu memang ingin berteman dengan Yura karena Yura pernah mendengarkan musik bersama dengan Gita saat kelas sepuluh dulu, bahkan ia bisa menerima obrolan berat dari Gita seputar politik. Iya, Gita sangat menyukai berita-berita berkaitan dengan Politik namun anehnya ia mengambil IPA bukan IPS.
Gita duduk dengan salah satu murid dari asrama yang berkerja sama dengan sekolahnya, Cempaka. Cempaka berumur 2 tahun diatas Yura yang akan berumur 16 tahun sekitar 2 bulan lagi. Tubuhnya ideal, dan memiliki logat layaknya perempuan kemayu dari desanya, seberapa lamapun ia tinggal di pusat kota, logat yang ia miliki tidak pernah hilang.
"Lo ga risih terus di intilan mereka? Dari kelas sepuluh lho.." ujar Gita sambil mengarahkan pandangannya ke kerumunan siswa-siswa yang tiba-tiba memilih duduk di bangku utara.
Yura menghela nafas, jengah akan semua ini.
"Keknya lho dulu inceran juga yak! Spill mantan lah hehehe." Imbuh Gita dengan cengirannya.
Yura terkekeh lalu menggelengkan kepalanya.
"Enggak, dulu pas masih SMP gue gak akrab ma cowo-cowo di kelas gue, istilahnya gue gak dianggep karena yaaa karna bagia mereka gue jelek banget pokonya, hihihi."
"Eh tapi lo pinter staga!"
"Percayalah ama gue, saking seringnya dulu gue di bully ampe gue gak berani ngomong di kelas dan di cap bodoh hahahaha syukurnya ada Naya yang bodonya setingkat ama gue."
Mereka hanya tertawa, Yura kembali mengingat masa SMP nya yang terbilang tidak menyenangkan.
"Yura, kamu pernah ditanyain tau sama temen panti ku." Ujar Cempaka sambik memasukan kripik pedas kedalam mulutnya.
"Apaan?"
"Temen-temanku kaget pas tau aku sekelas sama kamu."
Yura menaikan alis kanannya, merasa bingung akan ucapan Cempaka.
Cempaka tersenyum kecil dan menganggukkan kepalanya "Iya, kamu ga nyadar ya?"
"Astaga cempaka, apasih?!" Gerutu Yura yang mulai jengah dengan ucapan Cempaka yang tidak i mengerti.
"Lo niat ngomong gak sih, Cem?" Imbuh Gita yang sama penasarannya dengan Yura.
"Masih inget gak sih pas itu, pas kamu ada masalah ma OSIS? Nah itu bener-bener buat temen-temen panti aku kesel juga-"
"JANGAN BILANG TEMEN PANTI LO JUGA IKUT NGELABRAK OSISNYA KARNA GUE?!" Kaget. Yura cukup dibuat kaget, ia masih ingat kejadian itu yang membuat hampir semua warga sekolahnya menyerang OSIS di sekolahnya.
Ia tau apa yang ia lontarkan saat itu salah, namun anehnya hanya Yura saja yang di labrak oleh 42 OSIS di sekolahnya, dan tentunya Yura di temani oleh Naya. Bahkan Naya sempat menaruh rasa dendam kepada Kepala IT SMA, yang membuat surat DO tanpa persetujuan Kepala Sekolah.
Berita itu menyebar luas, bahkan Yura tidak ada bercerita selain Ke Naya dan temannya Yurika-Yang merupkan salah satu anggota OSIS di kelasnya-
Masalah itu juga selesai dengan kekeluargaan, dengan kenyataan Yura merupakan salah satu Anak Komite dari Sekolahnya, dan syukurnya saat salah satu OSIS sekolahnya mengelak akan fakta, Yura memberikan bukti Voice Note yang ia rekam, karena maju ke medan pertempuran jangan sampai dengan tangan kosong.
"Iya, mereka sayang banget sama kamu Yur. Padahal kamu tau mereka aja gak hehehe katanya sih kamu sering makan di meja kantin bareng mereka disaat anak panti gak dianggep disini." Suara Cempaka Melemah.
Gita mengangguk "Dont be sad, Cempaka."
"Anak SMP tuh bukan sih? Yang namanya kek nama-nama bunga gitu, iya?" Tanya Yura memastikan.
Sekolah Yura ini adalah Sekolah yang lapangan Upacaranya menjadi satu dengan Tk hingga Kampus. Namun, gedung SMA dan SMP bersebrangan dengan di batasi lapangan hijau sekolahnya. Kebayang kan?
Untuk gedung SMP berada di samping TK Yayasan Sekolahnya dengan di batasi tembok dan pagar.
Tentunya kantin SMA dan SMP menjadi satu. jadi saat jam istirahat, kantin akan menjadi lautan manusia yang saling berdesakan. Oleh katena itu, istirahat di sekolahnya ada sebanyak 3x.
Dan hal itu lah mengapa Yura kadang memilih makan dengan Meja SMP, karena sangat Jarang meja SMP digunakan, selain tidak muat untuk berbanyak, di Sekolahnya juga masih kental akan Senioritas dan Junioritas antara SMP dan SMA.
"Iyap! Kamu sering banget ditanyain sama mereka. Jasmine, Dahlia sama Senma nama mereka." Ujar Cempaka dengan semangat.
"Karena mereka dah yang ngebuat kamu dikenal di panti."
Yura memgangguk, berusaha mengingat nama-nama yang diucapkan oleh Cempaka.
"Oh yang dari Panti, cuma mereka aja yang SMP disini?" Tanya Gita sambil memakan kripik yang ada di tangan Cempaka.
"Enggak, semua anak-anak panti sekolah di yayasan ini. Tapi yang paling sering ketemu langsung sama Yura ya mereka bertiga doang."
"Oh hehehe." Yura kikuk, ia tidak tahu harus merespon apa. Ia bingung.
"Gue gak tau mereka anak panti, soalnya mereka makan tuh pojok banget mana bertiga kan." Ujar Yura.
"Iya mereka kalo di sekolah suka menghindar dari kerumunan gitu, makanya pas kamu duduk sama mereka, mereka rada takut gitu." Jawab Cempaka masih dengan semangat yang bertambah.
"Gue gak ngerti, kenapa coba ya kita harus ada batasan kek gitu dalam pertemanan? Kan gak adil~"
Dan begitulah perteman itu dimulai di tahun ajaran baru itu. Yura tersenyum, merasa mendapatkan teman yang cocok untuknya. Setidaknya masa SMA nya tidak terlalu buruk.