Yura mengerjapkan matanya berkali-kali. Ia tersadar akan masa lalunya, masa dimana ia berharap semuanya akan baik-baik saja namun malah membuat luka. Yura melirik ke jendela kelas yang tidak dihalangi okeh gorden. Sudah banyak siswa dan siswi angkatannya keluar dari kelas untuk berkumpul di aula sekolah. Waktunya pengumuman hasil nilai ujian akhir.
"Buruan bangun!" Ujar Naya yang sejak tadi menahan kesal kepada Yura. Bahkan Lisa saja cukup dibuat terkejut dengan kepribadian Yura setiap di sekolah. Yura akan sangat murung jika ke sekolah, bahkan ia akan lebih pendiam.
Yura megangguk dan berjalan bergandengan tangan dengan Naya keluar kelas menuju aula sekolah yang sudah ramai.
Ayuning Anindira Nesta. Atau yang lebih di kenal dengan Yura, gadis yang susah di tebak ini memiliki segudang imajinasi yang bisa saja menjadi kenyataan karena tekatnya yang kuat, namun dibalik arti namanya yang kuat, ia hanyalah gadis yang rapuh. Kepribadiannya yang cepat berubah terkadang membuatnya di cap bipolar. Suatu keadaan yang seharusnya hanya boleh di diagnosis oleh Ahlinya saja. Mempunyai sifat yang netral, terkadang membuat dirinya tidak memiliki banyak teman.
Banyak hal yang ia pikirkan, sifat baik yang tidak dketahuinya membuatnya mudah di bodohi. Ia cukup sabar dalam menghadapi suatu hal, emosinya yang cepat meledak dapat ia tangani walau terkadang itu akan menyakiti dirinya.
Kesukaannya terhadap segala hal, membuatnya memiliki banyak skill yang ia mumpuni. Namun, dibalik hal itu, ia merupakan tipikal yang mudah bosan, sehingga tanpa pikir lama ia akan berhenti melakukan itu dan mencoba hal baru lainnya. Penyesalan memang sudah melekat dalam setiap jiwa manusia, sama halnya dengan Yura. Setelah ia berhenti melakuka aktivitas itu, timbulah rasa menyesal yang membuatnya memaki dirinya sendiri. Aneh.
Tidak ada yang tahu akan kedepannya, yang Yura lakukan hanya mengikuti arus walau sesekali ia akan melawan arus nunjuk menuju suatu tempat yang inginkan.
"Gimana? jadi kagak lo ngomong ama dia nanti?" Naya menyenggol Yura yang hanya diam tanpa minat untuk melihat kedepan, memperhatikan para siswa berprestasi yang sedang menerima piagam dan ucapan selamat langsung dari kepala sekolah.
Yura menatap Naya yang sangat antusias, ia menghela nafas gusar. Mengedarkan pandangannya ke segala arah untuk mencari Galih, seseorang yang selalu ia pikirkan akhir-akhir ini. Ia tersenyum kecil saat melihat Galih duduk di dekat Pilar penyangga aula dengan teman-temannya.
"Doa'in biar lancar, gue takut banget sumpah." Ujar Yura sambil menatap Naya dengan gusar, karena bagimana pun Yura tidak ingin mengakhiri masa SMP nya dengan perasaan yang hampa. Bgaimanapun, ia tetap seorang gadis yang mendambakan kisah layaknya novel-novel yang ia baca. Berakhir dengan romantis.
Dan hal yang ditunggu pun tiba, selepas dari pengumuman itu. Yura lantas ke kamar mandi untuk merapikan pakaiannya, bahkan ia membasahi wajahnya agar terlihat segar. Ia terus menatap pantulan dirinya yang ada di kaca kamar mandi. Dengan senyum yang mengembang, ia kembali menuju kelas menemui, Naya dan Lisa. Mereka sudah menunggu di depan kelas, tentunnya dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya.
"Galih mana?" Tanya Yura yang sudah antusias, sesekali ia melihat jam tangannya, bahkan ia sudah menggunakan tas ranselnya. selepas pengumumann itu, siswa dan siswi sudah diperbolehkan untuk pulang, ditambah lagi itu adalah hari sabtu jadi muris-murid sudah banyak yang pulang dari sekolah, namun tak mengpungkiri masih ada yang di Sekolah.
"Tadi sih gue liat doi ke kantin, beli minum paling." Jawab Lisa sambil menggulung lengan jaketnya sesiku.
"Lo tenang, gue bakalan di sini, lo bisa ngomong ama dia di taman kelas. Inget jangan keliatan lo gerogi." Ujar Naya yang sangat berapi-api.
Perasaan Yura semakin tidak karuan, jantungnya berdegup sangat kencang hingga seluruh badannya gemetar. Ia menahan nafasnya sebentar, saat melihat Galih berjalan dengan meminum sebotol air mineral.
"Buruan!" Pekik Naya dan Lisa berbarengan, memaksa Yura untuk maju dalam medan perang yang sunyi selama 2 tahun itu. Yura menarik nafasnya, dan menghembuskannya. Ia berjalan kearah Galih, dan berdiri tepat dihadapan lelaki tinggi itu yang sontak saja berhenti.
Galih menaikan alisnya, lalu menutup air mineralnya. Terlihat sangat jelas, Galih sangat tidak ingin bertemu dengan Yura dan hal itu seketika membuat Yura mengalami keraguan yang luar biasa.
"Apa?" Datar, sangat datar malah. Ucapan yang dilontarkan oleh Galih sangat datar, bahkan tak ada ekspresi selain tatapan sinis itu.
Yura menoleh ke segala penjuru memastikan tidak ada orang yang melewati mereka, dan barulah arah pandangnya terfokus menatap Galih. Lelaki dengan daya tarik sangat kuat itu.
"Aku mau ngomong sama kamu di taman, bisa?" Tanya Yura.
Galih menatap sekelilingnya, lalu berdehem dan meminum airnya kembali.
"Disini aja." Ujar Galih yang terus menatap Yura dengan enggan, bahkan ia memundurkan langkahnya agar tidak terlalu dekat dengan Yura. Yura menggigit bibirnya, Ini bukanlah tempat yang ia inginkan, berbicara dengan Galih di taman khusus untuk ekstra botania, taman yang ia inginkan bukanlah ini. Terlalu dekat dengan kelas bukanlah solusi yang bagus untuk memulai pembicaraan ini, ia ingin sekali menarik Galih menuju Taman kelas yang berada di dekat kawasan parkir sepeda murid, tidak terlalu jauh dari kelas, namun setidaknya ia tidak akan malu untuk melihat teman sekelasnya jika sesuatu yang menyedihkan terjadi.
"Kalo ga ada yang mau di omongin, minggir." Yura lantas menggelengkan kepalanya, ia harus menanyai hal ini.
"Aku mau nanya, kamu mau lanjut ke SMA mana?" Tanya Yura yang sebenarnya ragu untuk bertanya. Ia menanyai hal tersebut, karena bisa saja kan ia memperbaiki hubungannya dengan Galih di bangku SMA nanti. Setidaknya menjadi teman.
"Penting?"
"Ha?"
"Aku tanya penting?" Tanya Galih kearah Yura yang tak bergeming.
Yura menggaruk telapak tangan kanannya yang tidak gatal "Iya enggak sih, pengen tau aja." Bodoh. Yura merutuki jawaban yang ia berikan, harusnya ia tidak berujar demikian.
"Bagus. Jugaan itu bukan urusan kamu. Minggir!"
'Galih pergi.' Batin Yura. Ia berbalik badan, melihat punggung Galih semakin menjauh. Ia tersenyum, tersenyum akan hilangnya kesempatannya karena respon bodoh yang ia berikan.
Naya dan Lisa yang melihat Galih pergipun lantas saja menghampiri Yura yang tak bergeming. Bahkan Naya dan Lisa menyempatkan diri berbasa-basi sebentar dengan Galih, tentunya karna wajah ceria karena mereka berpikir semua berjalan lancar.
"Gila keren! gimana?" Naya sangat antusias, bahkan ia masih tidak menyadari bahwa Yura tengah menangis dalam diam.
"Astaga dia nagis!" Lisa lantas saja menghapus air mata Yura, bahkan Naya telah merubah mimik wajahnya.
"Yur?"
"Gue ditinggal, bahkan gue belum bilang ke dia kalau gue suka sama dia, hahah bego." Ujar Yura, ia menangis dihadapan 2 teman dekatnya. Bhkan ia menolak untuk dipeluk, sehingga mereka berdua hanya bisa melihat Yura dengan lirih.
"Bahkan gue gagal ngajak dia ke taman kelas."
"Kenapa gue gak bisa kayak kalian? apa karna gue jelek dimata laki-laki? apa karna gue bodo? item? iya?"
"Yur, udah. Jangan sedih, kita makan yuk! lo kan belum makan." Ujar Lisa sebisa mungkin tidak ikut menangis, ini pertama kalinya Lisa melihat Yura menangisi seorang laki-laki.
"Gue kira first love selalu berjalan mulus, nyatanya di gue berbanding kebalik haa." Yura menghapus air matanya, ia melihat sekelilingnya. Mengingat segala hal yang ada disana, suasana bahkan ekpresi dari orang dihadapannya.
"Yura, udah. Lo boleh patah hati tapi jangan terlalu dalam. Mungkin Galih cuma mengajari lo artinya perasaan baru yang gak pernah lo rasain sebelumnya. Anggap aja, Galih orang yang berperan dalam mengajari lo menjadi seorang yang mulai dewasa." Ujar Lisa yang langsung merangkul Yura, menggabaikan penolakan yang diberikan oleh Yura.
Naya menghapus air matanya, ia sedih melihat Yura seperti ini. "Lo boleh benci dengan kenangan lo sekarang, tapi jangan berpikir untuk membenci mereka, Yur hiks." Ujar Naya yang membranikan untuk memegang tangan Yura.
"Gue kesel, masa SMP gue buruk hiks, gak ada yang mau ama gue, bahkan temen kelas menolak gue selain kalian hiks gue gue salah apa ampe selalu diremehkan kayak gini?"
"Gak gak gak! Lo cerdas, Yur!"
"Mereka aja yang gak bisa liat lo selayaknya kita ngeliat lo!"
Yura menghela nafasnya, ia terdiam beberapa detik, sebelum menghapus air matanya. Ia kembali menatap dengan jelas tanpa adanya genangan air mata yang membuat pandangannya buram. Ia tersenyum, ia akan membuktikan bahwa ia pantas untuk dijunjung. Ia pantas untuk disukai.
"Gue mau pulang, nangisin hal bodoh kayak gini cuma buat gue ngehilangin waktu berharga gue." Ucap Yura dengan mantap.
Naya dan Lisa saling pandang dan berteriak kegeringan. Mereka tahu bahwa Yura bukanlah seseorang yang terlalu larut dalam kesedihan. Naya menghapus air matanya, lalu menepuk bahu Yura.
"Makan dulu lah! sedih juga butuh energi keless."
"Betul tuh! KUY KEWARUNG WARTAWAN!!"
"GAS!"