Chereads / Sexy Woman / Chapter 10 - Hasrat Biologis

Chapter 10 - Hasrat Biologis

"Memang! Aku sudah gila dengan wanita lain. Dia lebih segalanya daripada ibu kamu! Yang jelas, dia sangat cantik, seksi, dan tentunya sehat!"

Ucapan pahit yang terus saja terlontar dari mulut Arif membuat hati Dika terkoyak. Pria yang punya rahang tegas itu tak terima kalau sang Ayah akan menikah dengan wanita lain. Bila mengetahui hal ini, tentu saja sang Ibu akan jauh sakit hati daripada dirinya. Dika terus membantah dan menolak keinginan ayahnya itu.

"Aku yakin, itu bukan cinta melainkan hanya nafsu semata! Ingat, Yah, yang menemani Ayah selama ini adalah Ibu. Bukan yang lain!" sergah Dika dengan menunjuk-nunjuk jari telunjuknya ke wajah Arif.

"Aku gak peduli sama kalian lagi! Terpenting aku ingin menikah dengan wanita lain. Titik!" Arif mendorong tubuh Dika hingga terbentur daun pintu.

Pria itu masuk ke dalam rumah dengan langkah seribu. Menaiki anak tangga dengan cepat dan ingin bertemu istrinya di kamar. Dika mengekor di belakangnya, tapi tak ingin mempedulikan sang anak sama sekali.

Brak!

Arif membuka pintu dengan kasar hingga mengejutkan sang istri di dalam. Wanita yang berselimut syal di leher, tampak menatap sang suami dengan tatapan sendu.

"Akhirnya, Mas pulang juga," ucapnya sesekali terbatuk-batuk.

"Dasar istri penyakitan! Kenapa gak mati aja, sih, sekalian!" Arif bicara dengan ketus kepada istrinya. Seolah-olah tak peduli lagi dengan kondisi wanita itu yang sekarang sedang sakit.

"Mas, nyebut! Gak boleh ngucapin hal seperti itu."

"Memang aku pengen kamu mati aja, Rani! Aku sudah muak menjalani rumah tangga sama kamu!" Arif mendaratkan bokongnya ke tepi ranjang, bersisian di sebelah wanita yang bernama Rani itu.

Wanita yang dipanggil Rani itu tampak menangis tersedu-sedu. Hatinya tercabik-cabik saat sang suami malah menginginkan kematiannya. Sementara dirinya harus berjuang mati-matian untuk bisa sembuh dari sakit yang diderita.

Mendengar ucapan sang Ayah yang kasar, Dika langsung mencak-mencak. Tak terima kalau sang Ibu didoakan seperti itu. Wanita paruh baya yang selalu berjuang untuk kehidupannya.

"Ayah ini apaan, sih! Bisa-bisanya bicara seperti itu sama Ibu. Gak punya hati!" Dika langsung menghampiri sang Ibu.

Ingin sekali Dika menghantam ayahnya sendiri, tapi ia menjaga perasaan ibunya yang sedang menatap mereka. Ia tak mau membuat sang Ibu malah tambah sakit dan kepikiran dengan ini. Walaupun ia sangat kecewa pada Arif, tapi pria itu masih menjadi Ayah kandungnya sendiri.

"Hmm, biar ibumu dengar dari ucapanku sendiri." Arif menunjuk-nunjuk ke arah Arif, lalu menoleh ke arah Rani. "Aku ingin menikah lagi, Ran!. Kamu setuju atau tidak, terserah!"

Dika geleng-geleng kepala mendengar ucapan sang Ayah yang memang tak punya hati. Arif rupanya memang sengaja ingin membunuh Rani dengan perlahan. Terbukti kini sang istri yang menangis dan sering kali terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya sendiri.

"Ibu!" Dika langsung menghampiri Rani. "Ayah keterlaluan!"

Dika murka pada ayahnya sendiri. Arif langsung ke luar dari dalam kamar dengan menghentak-hentakkan kedua kaki dan ingin pergi entah ke mana. Dika dan Rani hanya membiarkan saja kepergiannya.

"Ibu istirahat, ya. Tidur lagi."

"Ayahmu kenapa seperti itu, sih?" tanya Rani.

"Gak usah mikirin Ayah, Bu. Sekarang Ibu tidur saja, istirahat."

Anggukan kepala dari Rani menunjukkan bahwa dirinya menurut pada sang anak. Pria yang sudah berusia dewasa itu tak pernah meninggalkannya sedikit pun. Dika selalu berada di samping Rani.

Tak ingin melihat kesedihan terpancar terus dari mimik wajah sang Ibu, Dika berniat akan membalas perbuatan ayahnya. Ia tak akan pernah membiarkan Arif menikah dengan wanita lain. Tak akan pernah!

***

Sinar matahari menembus masuk ke celah-celah jendela kamar Leony. Wanita itu masih meringkuk di balik selimut tebal. Masih tak ada sehelai kain pun di badan. Ia enggan berpakaian.

Di bawah lantai, masih bercecer dress mini serta pakaian dalam miliknya. Rambut masih terurai dan acak-acakan sedikit. Leony memutuskan akan segera mandi saja.

Dengan langkah gontai dan masih merasakan nyeri di pangkal pahanya, Leony meringis. "Aww!"

Akhirnya, ia sudah berada di dalam kamar mandi. Leony menatap dirinya sendiri di sebuah kaca. Menampilkan bayangan dirinya yang bertubuh polos, serta buah dada yang padat nan berisi. Memang bentuk tubuhnya saat ini digilai para pria. Namun, ini merupakan petaka baginya.

Tak enak menjalani hidup seperti ini. Hidup yang penuh dengan keterpaksaan belaka. Melakukan hubungan seks dengan berbagai macam pria hanya untuk kebutuhan biologis mereka.

"Bagaimana aku bisa lolos dari Mami Mira?" tanyanya di depan cermin.

Leony melangkah dan memutar kran shower. Ia berdiri di bawah sana sambil menikmati guyuran air. Menikmati tetes demi tetes yang menyentuh kulit putihnya. Ia bersihkan dirinya sendiri dengan perasaan hancur.

Walaupun demikian, Leony masih tak bisa ke luar dari tempat hina ini. Penjagaan terhadap dirinya masih sangat ketat. Ke luar sedikit saja dari kamar, anak buah Mira stand by menjaga. Hingga membuatnya tak habis pikir, harus sampai kapan berada di sini.

"Apa aku selamanya akan tetap berada di sini?" Leony geleng-geleng kepala, membayangkan hidupnya berada di sini dalam waktu yang lama. "Gak! Aku harus bisa ke luar dari sini. Bagaimanapun caranya!"

***

Hari ini tak ada tawaran untuk melayani para pria hidung belang. Leony bisa bernapas lega dan bebas. Andai saja selalu seperti ini setiap harinya.

Kini, ia duduk bersama dengan Mira di ruang depan. Tempat terkutuk ini juga menyediakan pijat khusus dewasa untuk para pria. Tampilan depannya memang seperti gedung biasa, agar tersamarkan dari pihak kepolisian. Leony berdoa agar tempat ini segera digeledah, agar Mira bisa ditangkap dan ditahan di sel penjara.

Tiba-tiba, Mira menoel lengan Leony. "Eh, eh, gimana sama Arif semalam?" tanyanya.

"Mi, jujur aku gak mau sama dia lagi. Aku kasihan sama anak dan istrinya."

"Alah! Gak usah dipikirin mereka itu. Yang penting, Arif suka sama kamu. Dan, kamu bisa punya uang yang banyak dari dia."

"Tapi, Mi–"

Ucapan Leony dipotong dengan cepat oleh Mira. "Udahlah, gak usah mikirin hal begituan. Yang penting fokus sama pekerjaan kamu sekarang."

'Apa? Pekerjaan? Aku hampir setiap malam harus melakukan hal seperti itu.'

Leony tak habis pikir. Mira menganggap semua ini adalah pekerjaan yang harus dilakukan secara rutin. Andai saja, pria-pria itu tak memakai pengaman sebelum berhubungan seks atau bahkan memuntahkan cairan kental mereka ke dalam rahimnya, mungkin saja Leony akan hamil.

"Ya sudah, Mami mau ke luar sebentar. Baik-baik ya di sini," ujarnya sambil menepuk pundak Leony dengan pelan.

"Iya, Mi."

"Jangan berusaha kabur, ya. Ingat itu. Kamu bakalan tahu akibatnya!"