***
Brian baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih setengah basah. Ia berjalan sambil membawa leptop dan beberapa berkas untuk melanjutkan pekerjaanya yang tertunda tadi.
Dengan secangkir kopi panas Brian membuka leptopnya dan mulai mengerjakan pekerjaan. Beberapa dokumen yang sudah dibuat pegawainya kembali ia cek agar tidak ada kesalahan yang terlewatkan.
Suasana sangat sunyi dan sedikit gelap karena Brian sengaja tidak menyalakan semua lampunya. Ia lebih nyaman dengan keadaan seperti ini, padam dan sunyi. Ini sama seperti sedang mengisi sebuah baterai ponsel yang habis dimana daya dimatikan total.
Tapi tiba-tiba bel rumahnya berbunyi yang membuatnya heran karena ini sudah hampir tengah malam. Brian pun beranjak dari tempatnya dan melihat monitor yang sentak membuatnya heran karena orang yang datang tengah malam seperti ini adalah Fathan.
" kenapa lama banget buka pintunya " eluh Fathan saat pintu terbuka.
" ngapain lu tengah malem kesini ?" tanya Brian dengan ketus merasa enggan menerima Fathan untuk bertamu.
" bisa nggak gue masuk kedalam dulu ?" tanya Fathan tampak terlihat kelelahan.
Hanya bisa menghela nafas sambil mengelengkan kepala Brian pergi masuk kedalam dengan membiarkan pintu terbuka agar Fathan masuk sendiri.
Brian duduk dengan melipatkan kedua tangannya sambil memandang sinis kearah Fathan yang masih berjalan kearahnya hingga duduk dihadapannya.
" lu nggak punya makanan buat dimakan ?" tanya Fathan dengan wajah memelas.
" pergi ! pergi sana !" usir Brian sambil menunjukkan kearah pintu menyuruh Fathan yang bertingkah aneh padanya. Dan Fathan tampak panik saat Brian mulai kesal padanya.
" huff .. lu itu .." Fathan tidak bisa berkata-kata pada Brian yang tak pernah bersikap ramah padanya.
" ini .." Sambil menyodorkan sebuah map berwarna putih dengan berlogo SBC Grup diatas pada Brian yang tampak binggung tapi ia langsung mengambil untuk memeriksanya.
" Pak Presdir yang memberikannya .. gue harus kasih ini langsung, karena besok gue harus ke Jepang buat mengurus beberapa urusan .." ungkap Fathan sambil bersandar disofa karena kelelahan.
" gue nggak tanya " ketus Brian seketika ekspresinya tampak terkejut saat membaca berkas yang ada didalam map tersebut. Itu adalah sebuah berkas saham yang diberikan Ayahnya untuk Brian.
" ini apaan ?" tanya Brian merasa tidak yakin dengan apa yang ia lihat.
" saham, itu saham milik almarhum Ibu lu, Presdir menyuruh guw karena menurutnya lu nggak bakal mau bertemu dengan dia jadi gua yang disuruh mengantarkannya buat lu .." jelas Fathan sambil berjalan kearah dapur untuk mengambil minuman karena ia merasa haus.
" kenapa memberikan ini ke gue ? gue nggak membutuhkan ini " ucap Brian sambil kembali memasukan berkas itu dan meletakkannya diatas meja.
Sambil menghela nafas melihat sikap keras kepala Brian " huff .. udah gua duga".
" gue nggak bakal ikut campur masalah keluarga kalian, silahkan kalian bicarakan dengan baik-baik, Presdir sangat ingin bertemu sama lu .. urusan gue udah selesai .." ucap Fathan sambil beranjak dari tempatnya.
" ohh ya, gue nggak tahu apa yang lu pikirin, tapi tetap aja lu itu satu-satu keluarga yang dia punya .. gua pergi" ucap Fathan kemudian berjalan pergi keluar.
Brian terdiam sambil memandangi berkas saham dihadapannya dan mikirkan perkataan Fathan tadi. Ia tidak menyangka bahwa Ibunya masih memiliki sejumlah saham di SBC Grup. Ini sudah hampir lebih dari 15 tahun hubungannya dengan Ayahnya tidak baik. Ia salalu menghidar dan tidak ingin memiliki urusan lagi dengan Ayahnya karena kebencian dan amarah yang begitu membesar didalam lubuk hatinya.
Luka yang Ayahnya tidak semudah itu Brian lupakan. Ini memang sebuah kesalahpahaman antara Ibu, Ayah dan juga dirinya. Entah ini hanya harga dirinya yang sudah terlalu jauh membenci Ayahnya hingga tidak bisa kembali atau memang ia hanya mencoba berpura-pura karena tidak ingin merasa bersalah pada mendiang Ibunya. Brian tidak bisa memisahkan antara keduanya.
Waktu terus berjalan hingga menjelang fajar. Raut wajah Brian tampak tidak begitu baik, seperti orang yang ketakutan hingga tampak keringat berecucuran dikeningnya. Matanya terpejam dalam keadaan tidur, tapi mulutnya terus memanggil seseorang yang ada didalam mimpinya.
" jangan pergi .. aku mohon .. Mama .. MAMAA ...!!!!".
Brian berteriak hingga terbangun dengan nafas yang terengah-engah. Sebuah ingatan yang begitu mendalam hingga membuat Brian selalu merasa ketakutan saat ia tertidur.
Ia selalu memimpikan dimana Ibunya meninggal 15 tahun yang lalu. Mimpi yang menghatuinya disaat kodisinya sedang tidak baik-baik saja. Mungkin selama di Kadana dia sering memimpikan Ibu, ia pikir mimpi itu tidak akan muncul lagi saat ini datang ke Indonesia tapi ternyata mimpi buruk itu kembali datang.
Wajahnya pucat dan sangat lemas saat Brian melangkahkan kaki berjalan menuju dapur untuk mengambil air didalam kulkas. Brian menengguk sebotol air dingin untuk mengembalikan rasa hausnya. Kemudian terdiam dengan tatapan kosong.
Rasa sesak didada tidak kunjung menghilang hingga tubuhnya semakin terasa lemas. Semua sedi didalam tubuhnya terasa seperti tertusuk jarum yang membuatnya semakin merasa tidak bisa menopang tubuhnya sendiri.
Dengan sisa tenaganya Brian mulai melangkahnya kakinya dengan perlahan kembali menuju tempat tidurnya. Berbaring lemas dibawah selimut dan memejamkan matanya.
Arin baru saja sampai di Cafe dan langsung melambaikan tangan pada Mina yang juga menyapanya dari meja kasir setelah memberikan pesanan pada salah satu pelanggannya.
" kok jam segini udah balik ? gimana seru nggak tempat lesnya ?" tanya Mina.
" mana katanya ada yang mau ditititpin ? sekalian gue pesen ice chamomile sama Classic Dark chocolate Cake yahh dibungkus aja " ucap Arin
" tumben .. okke, sana duduk biar gue anterin ..." ucap Mina tampak heran Arin mengubah menu kesukaannya yang biasannya memesan chessecake dan juga ice latte.
" okke .." ucap Arin sambil memberikan kartu pada Mina untuk membayar, setelah itu ia berjalan untuk mencari tempat duduk yang masih kosong.
Saat melihat disekitarnya bahwa meja tampak sudah bersisi penuh. Tak lama salah satu pelanggan meninggalkan cafe dimana meja yang baru saja kosong itu adalah meja yang sering ditempati oleh Brian.
Arin masih terdiam beberapa saat sambil memikirkan apa yang dipikirkan Brian kenapa begitu menyukai tempat itu dan kenapa kebetulan sekali ia mendapatkan meja itu dari sekian banyaknya meja.
Perlahan Arin berjalan mendekati meja yang baru saja selesai dibersihkan dan duduk menghadap langit dimana tampak matahari yang mulai berubah wajah menjadi warna senja yang entah mengapa membuat Arin begitu terpesona melihat matahari yang perlahan telenggelam. Tenang dan hangat begitu masuk kedalam hatinya.
" kenapa ngeliatnya begitu banget ? liat apa ?" tanya Mina yang heran melihat ekspresi Arin sambil meletakan pesanan Arin dan sebuah kotak bekal berukuran cukup besar dan bertumpuk tiga.
" nggak kok, bukan apa-apa .." ucap Arin yang sentak binggung melihat kotak bekal yang dibawa Mina. " Kenapa sebanyak ini ?" tanya Arin.
" biarin .. biar dia makan banyak, dia itu kekurangan gizi makanya sikapnya kaya gitu .." ucap Mina tampak khawatir sekaligus menyindir. " tapi kenapa dia di chat nggak bales yaa .. apa dia sibuk ?" ucap Mina.
" iya mungkin dia masih sibuk .. ya udah gue langsung pulang ya" ucap Arin sambil meranjak membawa pesanannya dan kotak bekal hingga kedua tangannya terlihat penuh dengan barang bawaan.
" emm .. hati-hati yaa, kalau udah sampai bilang" ucap Mina sambil berjalan mengantarkan Arin sampai dengan pintu cafe.
" emm .. bye bye .." saut Arin sambil berjalan dan melambaikan tangannya.
Mina masih terdiam menunggu Arin hingga cukup jauh, sambil tersenyum lega melihat temannya benar tampak terlihat bahagia. Kemudian Mina berjalan masuk kedalam Cafenya.
Arin baru saja keluar dari lift apaterment dan berjalan menuju rumah Brian untuk mengantarkan titipin milik Mina. Kemudian Arin menekan bel rumah Brian beberapa kali tapi tidak ada jawaban dari dalam.
" apa dia belum pulang ?" tanya Arin dengan wajah binggung, padahal titipan ini harus segera ia berikan karena besok ia berencana untuk pergi ke Bandung menemui Ibunya.
Saat Arin hendak ingin membalikkan badannya terdengar suara dari monitor depan pintu yang membuat Arin tidak jadi membalikkan badannya.
" siapa ?" saut Brian dari dalam.
" ini gue Arin .. Mina nyuruh gue buat kasih titipinnya buat lu " ucap Arin.
" ohh, sebentar "
Kemudian pintu pun mulai terbuka. Tampak tubuh lesu dengan wajah yang pucat tampak jelas, Brian bahkan tidak berdiri dengan tega karena lemas membuat Arin kebinggungan.
" Mana sini !" ucap Brian sambil mengulurkan tangannya dengan suara yang sedikit bergemetar.
" lu nggak apa-apa kan ? lu sakit ?" tanya Arin yang mulai merasa khawatir melihat Brian yang terlihat tidak baik-baik saja.
" nggak".
Secara tiba-tiba tubuh Brian dengan lemas terjatuh kearah Arin yang spontan langsung mendekap Brian yang bahkan badannya lebih besar dari pada tubuhnya sendiri.
" Brian .. Brian .. Brian .. lu kenapa ? Hya ! Brian ..!" saut Arin beberapa kali mencoba membangunkan Brian yang tak kunjung merespon sautannya.
Arin mulai tidak bisa menopang tubuh Brian yang sangat berat baginya dan mulai kehilangan keseimbangan hingga akhirnya terduduk dibawah bersama Brian yang masih tidak sadarkan diri.
***