***
Ibu .. dia sudah menjadi seorang singel single parent saat aku duduk dibangku SMP. Saat itu aku belum tahu apapun tentang cara bertahan hidup, yang aku tahu aku hanya terluka karena Ayah pergi meninggalkanku. Rasa iri yang memenuhi saat teman-teman kelasku memamerkan kebahagian mereka dengan Ayah mereka, yang aku tahu aku hanya ingin uang jajajan ku ditambahkan saat itu hingga akhirnya aku melihat Ibu menangis sendiri dimalam hari.
Bahkan saat pemakaman Ayah Ibu hanya meneteskan air mata tanpa menangis keras, tapi hari itu aku melihat Ibu memangis ditaman belakang rumah sendirian. Saat itu hujan turun, bahkan aku tidak berani menghampirinya untuk memberikan payung. Aku hanya berbalik dan berjalan pulang kerumah.
Ririn yang saat itu masih kecil sudah terbiasa tinggal sendirian dari pagi hingga sore hari. Terkadang ia melewatkan makan siang menunggu hingga aku pulang. Aku merasa Ririn lebih bersikap dewasa dibandingkan aku yang bahkan umurkan kami berbeda 9 tahun.
Aku membuka pintu kamarnya dan melihatnya sedang duduk ditempat tidurnya sambil membaca buku.
" Rin udah makan ?".
" udah, tadi aku makan dirumahnya Ana, hari ini ulang tahunnya Ana, jadi tadi aku ditraktir banyak makan" jelasnya dengan nada datar, tapi memang seperti itu gaya bicaranya seperti orang dewasa.
" ohh yaudah, udah malem cepet tidur !".
" iya, abis selesai ini aku tidur ".
Perlahan Aku menutup pintu dan berjalan kekamar untuk mandi dan ganti baju.
Setelah mengganti baju, Aku berjalan menuju ruang tamu melihat Ibu yang baru saja datang dengan tubuh yang basah kuyup.
" Ibu kenapa hujan-hujanan ?".
" Ibu lupa bawa payung, Arin udah makan ? Ririn udah tidur ?" tanya yang tersenyum melihat kearahku.
" emm, udah".
" Ibu mandi dulu yaa" ucapnya sambil berjalan melewatiku menuju kamar mandi. Aku masih terdiam memadangi punggu Ibu, kenapa Ibu terlihat baik-biak saja padahal tadi dia menangis. Hatiku terasa sakit melihatnya.
Saat itu aku merasa seperti aku telah menutup mataku melihat keadaan Ibu yang juga terluka karena Ayah. Ibu bukan benar-benar baik-baik saja atau tidak pernah memperhatikanku. Sekarang hidupku dan aku hanya bergantung pada Ibu, kini dia yang harus menghidupi kami.
Menyerahkan semua kehidupannya pada kami dan terpaksa harus menjadi kuat. Mungkin saja jika Ibu saat itu membenci kami dan pergi membuang kami demi kehidupannya. Tapi ia memilih untuk tetap bersama kami dengan mengubur luka dalam-dalam dan menangis jika tidak ada yang melihatnya hanya karena tidak ingin terlihat lemah.
Rasa bersalah membuatku menangis ditengah ruang tamu yang gelap. Menangis tanpa suara ditengah hujan petir yang besar. Aku menangis sejadi-jadinya sambil memukul dadaku yang terasa sakit, aku membenci diriku yang hanya berpura-pura tidak ingin mengetahui kesulitan Ibu dan hidup dalam keegosisan. Aku hanya memikirkan Ayah yang bahkan lebih egosi karena meninggalkan kami.
Aku merangkul tubuhku yang mulai terasa dingin. Tapi rasa dingin itu entah kenapa menjadi hangat saat aku mendengar suara panik Ibu yang menghampiriku.
" Arin .. Arin kamu kenapa nangis ? kenapa ? ada yang sakit ? Arin .." tanyanya yang mencoba memelukku yang terus menangis. Aku bahkan tidak tahu cara berhenti menangis. Rasanya lebih sakit dibandingkan saat itu aku melihat Ayah pergi.
" udah jangan nangis ? nggak-nggak .. Ibu disini !".
Malam itu aku terus menangis dipelukan itu tanpa mengatakan apapun. Bahkan esokkan harinya aku masih terdiam saat Ibu menanyakan keadaanku. Aku terduduk diepan pintu sambil memakai sepatu.
" ohh iya, uang SPP sekolah udah ibu masukin ketas kamu, maaf ibu telat kasih ? ohh iya, Ibu izin aku buat les kok, Ibu bakal usahain buat bayar uang les itu, jadi jangan marah lagi yaa .." bujuk Ibu yang entah mengapa membuatku malah semakin membenci diriku dan rasa sakit didadaku membuat mataku kembali meneteskan air mata. Aku langsung menghapus air matanya yang hentak mengalir, menghela nafas panjang dan mengatakan.
" Ibu .. aku nggak apa-apa nggak ikut les, aku bisa kok masuk SMA yang bagus, aku bakal berusaha ningkatin nilaiku tanpa les, jadi ..." Aku menghentikan perkataanku karena merasa suaraku mulai getaran dan sekuat tenaga aku menahan tangisku.
" Huff .. Ibu .. maafin aku" ucapku langsung beranjak pergi meninggalkan Ibu.
Sejak saat itu sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menyakati perasaan Ibu dan menjaganya. Tapi apa yang aku lakukan saat itu, aku mengingkari janjiku sendiri.
Setelah pergi kekampus untuk mengajukan perpanjang cuti sekolah karena ingin focus kerja dan menambah pekerjaan baru karena aku sangat membutuhkan uang saat ini.
Aku uduk direstoran cepat saji, sambil mentransfer uang dari tabunganku untuk membuat salon. Seharunya uang ini tidak boleh dipakai, tapi karena tidak ada sisa ditabungannya, dengan terpaksa aku memakainya.
Tapi entah mengapa hal ini membuat hatiku terasa begitu berat saat melihat uang tabungannya berkurang. Bukan masalah rela tidak rela, ikhlas tidak ikhlas, hanya saja ia merasa hati ikut menghilang seperti uang yang menghilang dari tabungannya.
" Ibu aku sudah mentransfer uangnya kerekening" aku mengetiknya, ada sebuah kata-kata yang ingin sekali aku ketik tapi aku merasa ragu itu akan menyakiti Ibu.
" Kenapa hidupku seperti ini ?". " kenapa aku tidak terlahir dari anak orang kaya ?". Sepertinya rasa iri mulai menggerogoti tubuhku saat melihat orang-orang yang terlihat tampak tersneyum seakan dunia ini mudah.
Seperti ada dorong besar dari rasa amarah yang tak terkendalikan olehku. Tanganku tanpa sadar terus mengetik kata-kata yang selama ini aku tahan.
" Lalu memang kemana uang Ibu selama ini, bukahkan Ibu juga bekerja, aku susah payah bekerja untuk menabung tapi semuanya gagal hanya karena Ibu ? Emangnya Ibu pikir aku nggak stress memikirkan uang, aku capek aku lelah ..!!" - Terkirim-
Saat pesan itu terkirim dan langsung terbaca oleh Ibu aku terdiam dan pikiranku kosong. " Apa yang udah gue lakuin ..??".
" Ibu minta maaf udah merepotmukanmu selama ini, maaf Ibu nggak tahu kamu juga lagi kesusahan, maafkan Ibu ".
Perasaan bersalah dan amarah mulai mengerogotiku. Aku merundukkan kepalaku saat melihat Ibu sudah membaca pesanku. Hanya bisa menghela nafas seperti ingin lari dari dunia ini, air mata yang tak tertahankan aku menangis tanpa suara dan terus menyalahkan diriku yang bersikap bodoh dan jahat pada Ibu, padahal aku sendiri sudah berjanji tidak akan menyakiti Ibu, tapi sekarang apa ? Aku menyakitinya.
Setelah mengantar Mina pulang, hanya tinggal Arin dan Ibunya yang sedang merapihkan mencuci piring.
" biar aku aja bu .." ucap Arin sambil berjalan menghampiri Ibunya.
" udah biarin, udah sana istirahat ! jangan lupa minum obat sebelum tidur " ucapnya.
Arin terdiam sambil memikirkan kesalahan yang sudah ia perbuat terhadap Ibunya. Sejak kejadian itu Arin sama sekali tidak menghubungi Ibunya bahkan saat ia dirawat dirumah sakit, karena merasa bersalah. Tapi ia binggung bagaimana cara untuk meminta maaf, rasa malu dan sungkan pada dirinya menimbulkan perasaan canggung dalam dirinya.
" kenapa malah berdiri disitu ? udah sana masuk kamar !" ucap Ibu yang membuat Arin terkejut dan perlahan membalikkan badannya karena tidak bisa membuka mulutnya.
Terus bertarung dengan pikirannya sendir. Keraguan dan keyakinan yang tidak bisa ia pisahkan membuatnya merasa kesulitan. Sambil menghela nafas, kini Arin merasa yakin ia harus mengatakan hal yang sejujurnya dan membuang rasa canggung itu.
Sambil berbalik. " Ibu ..".
" emm ..".
" Besok mau aku temenin beli hp baru ?" tanya Arin.
" engga usah, Ibu bisa pake hp lama, kayanya masih bisa dipake yah walau agak sedikit boros" ucap Ibu.
" yaudah, besok anterin aku aja, ada yang pengen aku beli .." ucap Arin.
" kamu masih sakit juga, nggak usah kemana-mana istirahat lusa kan kamu harus kerja " tolak Ibu membuat Arin tak menyerah untuk membujuknya.
" okke, besok kita pergi jam 11 biar makan siang disana, aku tidur yaa " ucap Arin sambil tersenyum melihat Ibu yang tampak terkejut karena perkataannya tidak didengarkan oleh anaknya yang pergi meninggalkannya.
" dasar anak itu !".
***